Share

7. Kembali ke Dunia Malam

Setelah berpamitan pada ibunya, Disti dan Arjuna pergi dengan Yasa. Di butik, Shalimah menyambut kedatangan Disti dan Arjuna penuh sukacita. wanita cantik berhijab itu seperti mendapat mainan baru dengan hadirnya Arjuna. Ia tampak sangat bahagia. Sementara itu, dari tempat duduknya Yasa bersedekap sambil tersenyum puas melihat wajah semringah istrinya.

"Sudah waktunya aku pergi ke kantor." Yasa bangkit dari duduk, kemudian mengenakan jas abu-abunya yang tersampir di punggung kursi.

Shalimah mengecup punggung tangan Yasa saat pria itu berpamitan. Wanita itu pun meminta Arjuna melakukan hal yang sama. Untuk kesekian kalinya Disti harus menahan napas dan membuang jauh-jauh rasa sakit yang berkelebat di hatinya menyaksikan kemesraan Yasa dan Shalimah. Bukan karena iri, melainkan pemandangan itu mengingatkan Disti pada masa-masa bahagianya bersama Varen. Pemandangan itu membuatnya selalu ingin tenggelam ke sungai es. Ia bahkan tidak bisa lebih lama menikmati kebahagiaan bersama Varen dan Arjuna sebagai keluarga yang utuh. Namun, Disti hanya bisa menelan semua perasaannya di dalam hati.

"Disti, nanti Arjuna biar sama aku saja ya di sini. Aku akan panggilkan Nana, stafku yang paling berpengalaman sekaligus manajer butik ini. Dia akan mengajarkanmu cara menjahit kebaya berbahan brokat," tutur Shalimah sambil menuntun Arjuna. Anak itu terlihat nyaman di dekat Shalimah yang memperlakukannya dengan sangat lembut.

"Iya, Mbak." Disti lalu membelai pipi Arjuna. "Juna jangan nakal, ya. Bunda kerja dulu."

"Iya, Bunda." Arjuna mendongak memandang Shalimah. "Bude, nanti Juna boleh melihat Bunda kelja?"

Shalimah tersenyum. Tangan halusnya mengusap puncak kepala Arjuna dengan lembut. "Tentu saja boleh, Sayang."

Shalimah memperkenalkan Disti pada staf profesionalnya, Nana. Lalu, Nana membawa Disti ke gedung produksi di belakang butik mewah tersebut bergabung bersama dengan beberapa penjahit lain. Nana dengan sabar menjelaskan dan mengajarkan Disti cara menjahit potongan-potongan kain kebaya berbahan brokat jenis Prada. Tidak sulit mengajarkan Disti karena ia sudah mempunyai dasar menjahit.

"Bu Nana, sudah lama kerja di sini?" tanya Disti berbasa-basi.

"Sudah tujuh tahun, Mbak. Sejak butik ini berdiri," jawab wanita bertubuh subuh yang mengenakan gamis sutra ungu dan hijab senada. "Mbak, istri adiknya Pak Yasa ya? Kenapa baru sekarang bergabung di sini?"

"Iya, Bu Nana. Aku istri almarhum adiknya Mas Yasa. Aku dulu kerja di pabrik garmen, Bu. Begitu berhenti bekerja di sana, Mas Yasa menawariku untuk bekerja di sini," jelas Disti sedikit berbohong menutupi jejak pekerjaannya dari tempat karaoke plus-plus itu.

"Aku lihat tadi, Mbak Disti membawa anak Mbak ke sini."

"Iya. Mbak Shali yang memintaku mengajak anakku. Padahal, aku takut anakku akan mengganggunya. Yang namanya anak kecil kan suka nggak bisa diem, Bu." Bibir Disti melengkungkan senyuman.

"Bu Shalimah tidak mungkin terganggu, apalagi sama keponakannya sendiri. Meskipun belum punya momongan, tapi Bu Shalimah itu sangat menyayangi dan piawai sekali menangani anak-anak."

Penjelasan Nana menyengat Disti dengan keterkejutan. Apa yang diduganya, ternyata benar. Shalimah dan Yasa belum dikaruniai anak. Rasa bersalah karena sudah menyinggung perasaan Shalimah kemarin kembali datang dan menghantuinya.

○○○

Seperti pagi-pagi sebelumnya, awan mendung menggelayut di atas bumi Jakarta. Titik-titik kecil air yang jatuh ke bumi dan suasana dingin yang menyelimuti membuat sebagian penduduknya lebih memilih menarik selimut dan melanjutkan tidur. Namun, tidak untuk Disti. Ia sudah berpakaian rapi dan menyiapkan diri untuk menghadapi seseorang yang mungkin akan marah dengan keputusannya. Pagi ini Disti sengaja tidak membangunkan Arjuna dan ia tidak berniat pergi ke butik milik Shalimah. Setelah beberapa hari bekerja di sana, Disti memutuskan untuk berhenti saja karena suatu alasan.

"Maafkan aku, Mas, aku tidak bisa kembali membantu Mbak Shali di butik," jelas Disti dengan suara tertahan dan hampir tersekat di tenggorokan ketika Yasa seperti biasa menjemputnya dan juga Arjuna.

Wajah Yasa memberengut. Nada tidak setuju terdengar dari pertanyaannya. "Kenapa? Apa ada yang salah dengan Shali atau gaji yang ditawarkan Shali kurang?"

"Tidak, Mas. Mbak Shali sangat baik, juga gaji yang ditawarkan melebihi ekspektasi saya. Tapi, aku punya alasan untuk berhenti dan aku tidak bisa mengatakannya pada Mas."

"Kamu akan kembali ke tempat kerja kamu yang lama?" pertanyaan dengan nada merendahkan terlontar dari mulut Yasa.

Disti tidak punya alasan untuk berbohong. Ia mengangguk dan Yasa pun dibuatnya geram.

"Perempuan kayak kamu memang pantas berada di sana," tutur Yasa sinis. Susah payah ia mengeluarkan wanita itu dari tempat yang hina itu, tetapi tidak mendapatkan penghargaan secuil pun, pikirnya.

Tanpa berkata panjang lebar, Yasa meninggalkan rumah kontrakan Disti. Disti marah pada dirinya sendiri lantaran membiarkan Yasa membentuk opini negatif tentang dirinya. Namun, Disti punya alasan yang tidak bisa ia katakan pada pria itu. Pria itu sudah cukup membantunya. Ia hanya bisa menatap punggung Yasa yang basah oleh terpaan hujan pagi itu sampai bayangannya menghilang di kejauhan.

***

Disti kembali duduk di sofa single dengan kaus ketat berleher rendah yang memperlihatkan belahan dadanya dan rok mini menutupi setengah bagian paha yang mengekspos kaki jenjangnya. Make up tebal yang menutupi wajahnya tidak mampu menyembunyikan kilat sedih di matanya. Terjebak lagi dengan dunia malam dan segala gemerlap serta kepalsuannya membuat Disti semakin terperosok ke lubang penyesalan. Ia harus kembali duduk di sana dengan senyuman yang sangat manis meski itu dipaksakan, melayani pengunjung pub dan karaoke yang sudah memesan dirinya sebagai pemandu lagu dengan seramah mungkin, dan yang paling parah ia harus siap diajak ke tempat tidur oleh pengunjung tempat itu. Disti bukan pelacur, tetapi ia tidak punya pilihan. Ia tidak mau mengambil risiko lagi. Ada Arjuna dan ibunya yang bergantung padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status