Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan tenang. Hari-hari sejak pernikahan mereka dipenuhi dengan kehangatan, meski juga diiringi berbagai adaptasi yang kadang tidak mudah. Naya, meskipun semakin dekat dengannya, terkadang masih menunjukkan sikap yang sulit ditebak. Namun, Gadis memahami bahwa proses adaptasi bagi Naya mungkin lebih menantang, terutama dengan kenangan ibu kandungnya yang masih sangat melekat.Suatu pagi ketika Gadis sedang menyiapkan sarapan, Naya mendekatinya. Gadis tersenyum dan mengusap kepala gadis kecil itu. “Selamat pagi, sayang. Mau bantu Kakak Gadis buat sarapan?”Naya mengangguk antusias, dan mulai membantu Gadis menyiapkan bahan-bahan di meja. Saat mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, Naya tiba-tiba bertanya, “Ibu Gadis, boleh Naya cerita sesuatu?”Mendengar panggilan "Ibu Gadis" dari Naya, hati Gadis bergetar bahagia. Ia segera berjongkok agar sejajar dengan mata Naya. “Tentu saja, sayang. Ibu Gadis akan selalu ada untuk mendengarkan.”Naya tampak ragu seje
Setelah melewati malam pernikahan yang penuh kebahagiaan, Gadis dan Arya kini siap memulai kehidupan baru mereka sebagai suami istri. Namun, Gadis sadar bahwa peran barunya bukan hanya sebagai istri bagi Arya, tetapi juga sebagai ibu sambung bagi Naya, putri Arya dari pernikahan sebelumnya. Gadis tahu bahwa membangun hubungan dengan Naya adalah langkah penting untuk menjadikan keluarga mereka utuh.Naya adalah seorang gadis kecil berusia enam tahun, cerdas dan memiliki senyum manis yang mewarisi wajah Arya. Namun, di balik keceriaannya, Gadis bisa merasakan bahwa Naya adalah anak yang cukup sensitif dan penuh perasaan. Gadis tahu bahwa Naya mungkin masih memiliki perasaan rindu pada ibunya dan perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran orang baru dalam hidupnya.Beberapa hari setelah mereka resmi tinggal bersama, Gadis mencoba mendekati Naya dengan cara yang lembut. Suatu pagi, Gadis menyiapkan sarapan kesukaan Naya, yaitu pancake dengan potongan stroberi dan sedikit sirup m
Malam itu, Gadis duduk sendiri di depan cermin, memandang bayangannya. Cermin besar di kamarnya memperlihatkan sosok yang, entah mengapa, terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Pikirannya melayang ke masa-masa lalu, merenungkan bagaimana hidupnya berubah sejak Arya datang. Ia merasakan kombinasi emosi yang kompleks; ada kebahagiaan, namun di balik itu, tersimpan pula kecemasan yang sulit dijelaskan.Cahaya lampu kamar menyinari cincin di jarinya, menciptakan kilauan kecil yang mengingatkannya pada percakapan mereka di kafe beberapa waktu lalu. Bayangan wajah Arya, dengan senyum tenangnya dan sorot mata yang penuh ketulusan, terlintas di benaknya. Betapa tenangnya Arya ketika berbicara, selalu tahu kata-kata yang tepat untuk meredakan kecemasan. Gadis tersenyum kecil, seolah baru menyadari betapa beruntungnya ia memiliki seseorang seperti Arya.Namun, Gadis tahu bahwa pernikahan bukan sekadar janji yang diucapkan dalam upacara. Ia tahu, kehidupan bersama Arya nanti akan membawa banyak
Malam itu, Gadis tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali ia memandangi cincin di jarinya, merasakan beban sekaligus harapan yang terkandung dalam berlian kecil itu. Ia tahu, perjalanan di hadapannya takkan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.Keesokan harinya, Gadis dan Arya kembali bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi saat berbincang hal-hal serius. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, suasana kali ini lebih santai. Arya datang membawa senyum yang menenangkan, dan Gadis merasakan jantungnya berdetak lebih stabil melihat pria di hadapannya itu tampak lebih rileks.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Arya, membuka percakapan setelah keduanya memesan minuman.Gadis tersenyum kecil. “Cukup baik. Aku merasa sedikit lega setelah akhirnya membuat keputusan.”Arya mengangguk mengerti. “Aku tahu ini tidak mudah, Gadis. Aku bersyukur kamu bersedia mencoba bersamaku, meski mungkin masih ada keraguan di hatimu.”Mendengar ketulu
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan campur aduk. Keputusan yang akan dia buat hari ini adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dia masih bisa merasakan hembusan angin segar yang menyambutnya di taman pusat kota beberapa hari lalu, dan pertemuan dengan Rina masih segar dalam ingatannya. Namun, hari ini adalah hari di mana dia harus memberikan jawaban kepada Arya.Setelah sarapan cepat dan membuang waktu dengan berpikir, Gadis akhirnya memutuskan untuk menuju restoran kecil yang sering mereka kunjungi. Dia memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, memastikan dia terlihat tenang dan percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kegugupan yang mendalam.Di restoran, Arya sudah menunggu di meja pojok, tampak seperti seseorang yang sedang menunggu berita penting. Gadis merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali dia melihat Arya. Dia menghela napas dan melangkah menuju meja tersebut, berusaha menenangkan diri."Selamat pagi, Arya," kata Gadis, mencoba me
Minggu-minggu berlalu, dan Gadis masih belum memberi Arya jawaban. Setiap kali mereka bertemu, hubungan mereka terasa canggung. Bukan karena Arya tidak berusaha, tetapi karena ada sesuatu yang Gadis rasakan di balik setiap ucapan dan tindakan Arya. Meskipun Arya terbuka mengenai rencana pernikahan dan perusahaan, Gadis selalu merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.Suatu sore, ketika Gadis sedang duduk di kafe favoritnya, menikmati teh hangat sambil mencoba merenungi perasaan yang campur aduk di hatinya, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Gadis ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya."Halo, ini Gadis Anastasya?" Suara seorang wanita yang tidak dikenal terdengar dari seberang telepon."Ya, saya Gadis. Siapa ini?" Gadis bertanya dengan nada hati-hati."Aku Rina. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pikir kita harus bicara." Ada nada tegas dalam suaranya, seperti seseorang yang tahu sesuatu yang penting.Gadis merasa curiga. "Bicara soal apa?""