Aku duduk termenung di kamar hotel tempatku menginap. Tadi pagi kami sekeluarga sudah sampai di Kota Surabaya. Malam ini aku merasa sangat gusar sekali. Hatiku gamang luar biasa, karena besok pagi aku akan melamar seorang gadis gendut yang tak pernah masuk dalam kriteriaku sama sekali.
Segala bentuk persiapan sudah ibu lakukan semaksimal mungkin sebelumnya. Bahkan ibu terlihat sangat antusias melamar menantu idamannya. Bahkan tak segan-segan ibu menyiapkan seserahan lamaran yang banyak sekali. Ibu memesannya beberapa hari yang lalu pada teman ibu di Surabaya yang kebetulan menyediakan jasa hias seserahan, karena tak mungkin juga kami membawa barang banyak ketika di pesawat kalau pesan seserahan di Jambi.Barang seserahan sudah tertata rapi di kamar hotel ini. Beberapa jam yang lalu teman ibu mengirimkannya kesini. Dering ponsel membuyarkan lamunanku."Rindy? Ngapain malem-malem telpon.""Assalamu'alaikum, Rind. Kenapa?"""Wa'alaikumsalam Masku yang ganteng. Gimana perasaannya nih sebelum besok melamar Mbak Amira?""Nggak gimana-gimana." jawabku sekenanya."Ciiee mau ketemu yang empuk-empuk." Terdengarnya suara tawa di ujung telpon sana. Adikku satu ini memang hobi meledekku."Apasih Rind.""Pokoknya atur napas yang bagus biar besok nggak gagap waktu ngomong sama ayah ibunya Mbak Amira.""Iya iya. Udahkan itu doang yang mau kamu bilang? Udah Mas tutup telponnya. Assalamu'alaikum." Aku mendecak kesal.Aku tahu adikku ini pasti akan terus-menerus meledekku kalau tak segera aku akhiri percakapan kami ini. Sungguh, kalau bukan teringat dia adalah adikku sudah aku bejek-bejek pake cobek, aku uleg pake cabe rawit, garam, asam jawa, dan gula merah. Lah, sambel rujak dong?Aku kembali menatap seserahan itu. Aku dilanda kegelisahan malam ini. Ini baru lamaran, bagaimana kalau nanti aku mengucapkan ijab Qabul di hadapan para saksi?"Aaarrgghhhh!! Kenapa harus di situasi sulit seperti ini sih?" Gerutuku sungguh kesal.Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Tidak, lebih tepatnya hari yang ditunggu ibu bukan aku tepatnya."Fadhilll!! Bangun!" Teriak ibu di balik pintu kamar ini.Aku yang sedari subuh tadi sudah bersiap hanya menggelengkan kepala. Aku membuka pintu dan mendapati ibu sudah berdandan rapi dengan hijab panjang yang melengkapi penampilannya. Ibu masih terlihat ayu meski usianya sudah mau menginjak kepala 5.Segitunya ibu antusias untuk segera melamar Amira padahal ini masih jam tujuh pagi. Acara lamaran pukul sepuluh."Ibu sudah siap aja. Baru aja jam tujuh bu.""Iya dong kan mau ketemu calon besan dan menantu ibu.""Terus bapak mana?" Tanyaku."Masih mandi tuh. Udah ibu mau masuk kamarmu dlu mau cek kurang apalagi."Tanpa permisi ibu langsung masuk saja ke kamarku."Udah semua kayaknya nih ya Dhil. Cincinnya udah kamu siapkan?" Tanya ibu padaku yang sedari tadi melihat tingkah ibu."Udah, itu di atas nakas.""Sip. Tinggal kamu ganti baju aja ya nanti. Pakai baju yang ibu siapkan buat kamu itu ya.""Iya bu.""Kalau gitu ibu balik ke kamar dulu. Jangan lupa segera siap-siap. Kita berangkat sebentar lagi.""Hah?" Aku terperangah melihat ibu."Kan acaranya masih nanti jam sepuluh Bu. Masih sangat lama itu.""Ibu nggak mau terlambat. Kan kita nggak tahu jalanan nanti bakal macet apa enggak. Udahlah nurut aja. Ibu balik kamar dulu."Ibu bergegas keluar kamarku. Aku pun hanya bisa menuruti perkataan ibu.Kami pun sudah berada di taksi online saat ini. Aku merapalkan banyak doa sebelum melamar gadis gendut itu. Aku berusaha memantapkan hati. Memang saat ini aku masih setengah hati. Tapi, melihat antusiasme ibu aku jadi tak tega untuk mengurungkan niat ini. Kulihat ibu sangat bahagia saat ini. Entahlah apa yang sebenarnya ibu sukai dari gadis gendut itu.Akhirnya kami sampai di kediaman keluarga Amira. Kami disambut dengan baik oleh keluarganya. Seserahan diturunkan oleh beberapa orang yang ditugaskan oleh keluarga Amira dan memasukkannya ke dalam rumah.Ini kali pertama aku melihat ayah ibu Amira. Karena memang aku tak pernah sedekat itu dengan Amira, hanya karena tugas di LDK saja kami berinteraksi.Aku belum melihat Amira sedari tadi. Namun, bapak sudah memulai pembicaraan serius dengan keluarga Amira yang sebelumnya sudah bebasa-basi dengan orang tua Amira."Begini Pak Amir, saya mewakili Fadhil selalu putra saya, meminta secara baik-baik putri bapak atas nama Amira Azizah untuk menjadi istri anak saya. Kiranya bapak memberikan restu untuk keduanya.""Alhamdulillah, saya sangat bahagia sekali mendengarnya Pak Burhan. Saya dan istri sepenuhnya menyerahkan segala keputusan pada putri kami. Sebentar kita panggilkan dulu."Ibu Amira melenggang permisi dari hadapan kami dan sesaat kemudian datang sembari menggandeng anaknya."Ah, masih gendut seperti dulu." Gumamku dalam hati. Aku tersenyum kikuk. Padahal aku berharap dia sedikit kurusan. Kali aja turun 20 kilogram misalnya? Tapi nyatanya tak berubah sama sekali.Ia tersenyum malu-malu sambil menundukkan pandangannya. Ia terlihat bahagia meski ada raut kegugupan di wajahnya."Nah ini putri kami Pak, Bu."Amira mengangkat kepala sejenak untuk memberikan salam hormat kepada keluargaku kemudian tersenyum manis. Kami pun membalasnya. Dia pun tertunduk kembali.Aku memalingkan wajah ke arah lain. Bukan karena takut diabetes melihatnya tersenyum manis, hanya saja aku masih merutuk dalam hati. Aku masih belum sanggup ikhlas untuk menerimanya."Kamu masih saja seperti dulu, Nak. Masih imut dan menggemaskan." Ucap ibu memuji Amira."Hah? Apa kata ibu tadi? imut dan menggemaskan? Darimananya?" Aku terperangah dalam hati. Tak habis pikir, apa mata ibuku minusnya bertambah?Amira hanya tersenyum dan mengangguk kecil."Karena anak saya sudah disini, kita tanyakan langsung pada Amiranya ya Pak, Bu." Kata Pak Amir."Bagaimana Amira? Ini Nak Fadhil mau melamar kamu untuk menjadi istrinya. Apa kamu bersedia?" Tanya Pak Amir lembut.Badanku terasa panas dingin. Belum mulai ijab Qabul saja respon tubuhku seperti ini. Bagaimana kalau sudah sah? Padahal ini baru mulai lamaran. Tapi tunggu dulu, kenapa aku sudah memikirkan ijab qabul? Aku merutuk diriku kembali.Terjadi keheningan beberapa saat. Aku kembali melihat ke arah Amira. Pandangan kami bertemu ketika ia mendongakkan kepala. Aku pun segera memalingkan wajah ke lain arah. Bukan takut diabetes melihatnya tersenyum padaku. Tapi aku sungguh tak siap dengan jawabannya."Ehemmm"Akhirnya keheningan itu pecah juga."Saya..." Ucapan Amira menggantungDegub jantungku terasa lebih cepat. Aku meneguk ludah kasar."Kenapa jantungku berdebar kencang seperti ini sih?""Saya terima lamaran Kak Fadhil." Ucapnya dengan senyum manis tertuju padaku.Deg"Alhamdulilah." Semua orang bersuka cita bahkan ada beberapa yang bersorak girang, terkecuali aku yang masih terpaku di tempat.Aku menghela nafas panjang. Aku duduk dengan tak nyaman. Aku berusaha menormalkan deru nafas yang terasa kian memburu. Aku tersenyum kikuk dengan pandangan tertunduk.Ibu yang melihat kegugupanku langsung menyenggol lenganku pelan dengan sikunya."Ya ampun Dhil, kelihatan seneng banget kayaknya sudah diterima lamarannya sama Amira." Ibu menggodaku dengan mengedipkan sebelah matanya.Sontak aku melotot mendengar ucapan ibu. Pandangan semua orang tertuju padaku dan aku hanya tersenyum kikuk menanggapinya."Kelihatan banget sih udah nggak sabar jadi suaminya Amira." Ibu terkekeh."Hah?" Aku terperangah."Apa maksud ibu menggodaku seperti ini?"Aku melihat semua orang justru terkekeh melihat wajah cengo ku kali ini.Aku hanya menggaruk kepala namun tak terasa gatal itu."Oh ya, Pak Amir dan Bu Maryam, untuk menghindari fitnah ke depannya, apa tidak sebaiknya kita menikahkan mereka secara agama dulu hari ini juga?" Tanya ibu dengan sopan.Aku terperangah kembali dengan ucapan ibu. Belum sempat aku meredam keterkejutanku dengan pernyataan-pernyataan ibu sebelumnya, kini aku dihadapkan lagi dengan kejutan yang membuatku sangat frustasi."Maksud ibu apa?" Akhirnya aku buka suara setelah aku hanya diam dengan lagak bodohku."Lah, bukannya kamu yang mau nikah cepet ya? Ya sudah sekarang aja dihalalkan Nak Amiranya." Kata ibuku dengan senyum penuh arti.Aku melihat ke arah bapak untuk mencari celah pembelaan darinya. Namun yang kulihat bapak duduk tersenyum dengan santai tanpa ada beban apapun. Kemudian ia mengendikkan bahunya pelan."Pupus sudah harapanku." Gumamku dalam hati. Aku terduduk lemas.Mata semua orang tertuju padaku dan aku hanya tersenyum kikuk menanggapinya. Entahlah aku merasa bodoh sekali hari ini. Aku seperti boneka yang tunduk patuh terhadap apapun yang dilakukan pemiliknya kepadaku."Gimana dengan usulan kami Pak, Bu?" Tanya ibu kepada kedua orang tua Amira.Aku melihat ke arah mereka berdua. Mereka tampak memandang satu sama lain. Kemudian Bu Maryam mengangguk."Tanda apa itu? Perasaanku kok jadi nggak enak gini." Gumamku dalam hati."Baiklah Pak, Bu. Kami setuju menikahkan anak kami hari ini juga. Kebetulan Pamannya Amira seorang penghulu dan beliau juga dinas di KUA daerah kami. Insyaallah nanti bisa diatur." Tutur Pak Amir.Bagai disambar petir siang bolong. Aku terkulai lemas. Tulang-tulangku terasa lolos satu per satu dari tempatnya.Sejenak aku berpikir, mencoba menata pikiranku yang sempat hang."Ta..tapi saya belum latihan untuk mengucapkan ijab qabul." Entah kenapa aku memberikan pernyataan itu. Aku belum sepenuhnya sadar.Mereka terkekeh."Nanti latihan dulu ya Nak Fadhil. Bisa minta tolong ke Pak Burhan untuk mengajari Nak Fadhil." Pinta Pak Amir pada bapakku.Dan bapakku pun mengangguk. "Baik, Pak Amir. nanti akan saya ajari.""Kalau begitu akad nikahnya akan dilaksanakan ba'da ashar ya Pak. Karena Pamannya Amira masih bertugas menikahkan dua pasangan hari ini." Ucap Pak Amir."Baik, Pak.""Tuh Dhil..masih ada waktu buat latihan ijab Qabul sama bapak." Ibu menarik turunkan alisnya dengan senyuman penuh arti.Aku pun hanya mengangguk pasrah.Setelah menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh keluarga Amira, kami pamit untuk beristirahat sejenak di hotel tempat kami menginap. Karena nanti sore kami akan datang kemari untuk melakukan prosesi ijab qabul.Aku naik mobil diikuti oleh kedua orang tuaku. Aku sempat bersitatap dengan Amira. Ia melihatku dengan tersenyum manis. Sungguh, aku tak akan diabetes melihat senyumanmu itu, Amira. Aku hanya tertunduk setelahnya.Mobil melaju ke arah hotel kami menginap. Sepanjang perjalanan tak ada yang mau berbicara. Seolah semua terfokus pada pikiran masing-masing. Baru setelah sampai di kamar hotel aku akhirnya angkat bicara."Ibu, kenapa sih memberikan keputusan secara sepihak tanpa kasih tau aku dulu?" Aku protes."Nggak kenapa-kenapa." Jawab ibu santai.Aku berdecak kesal."Bu...? Belum sempat aku melanjutkan ibu sudah memotongnya."Dhil, ibu tahu kamu masih belum menerima sepenuhnya kan keputusan ini? Tapi apa yang ibu lakukan ini sudah ibu pikirkan baik-baik. Ibu sangat merestui kalian berdua menikah." Ibupun meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat.Selepas sholat dhuhur, bapak mengajakku untuk latihan mengucapkan ijab Qabul. Meski setengah hati aku melakukannya tapi aku tetap berusaha untuk ikhlas meski sulitnya bukan main.Kami sudah sampai di kediaman Pak Amir lagi. Memang tak ada dekorasi yang menyambut kedatangan kami. Karena memang ini serba dadakan seperti tahu bulat. Kami hanya ingin melakukan prosesi akad nikah secara sederhana. Orang-orang sudah berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Pak Amir. Mereka duduk di karpet yang sudah digelar rapih di ruang tamu yang luas itu. Meja kecil ada di tengah-tengah mereka. Mungkin itu tempatku untuk mengucap ikrar ijab qabul nanti.Perasanku sungguh tak karuan. Karena ini bukanlah pernikahan impianku. Aku hanya ingin menikah dengan Raya tapi justru takdir mengatakan bahwa aku akan menikahi Amira, gadis gendut yang tak pernah kubayangkan sama sekali akan menjadi istriku nanti. "Hei, kenapa kamu melamun?" Tanya ibu.Aku mengerjap. Ternyata sedari tadi aku melamun."Nggak kenapa-kenapa Bu." Ibu mengendikkan bahunya. Huffttt. Ibu, kalau bukan karena permintaan ibu, aku enggan untuk melanjutkan prosesi ini. "Assalamu'alaikum." Sapa seorang pria parubaya."Wa'
Aku belum beranjak dari pintu yang sedari sudah Amira tutup tanpa kusadari karena aku terlalu banyak melamun. "Masa iya aku harus melepas perjakaku malam ini juga?" Batinku sembari menelan ludah kasar. Aku masih terus bergumam dalam hati sampai suara lembut membangunkan ku dari lamunan."Kak Fadhil." serunya."Eh iya Mir." Aku gelagapan. "Mau mandi dulu atau sholat dulu? Tanyanya. "Hah apa katanya? Mandi dulu atau sholat dulu? Maksudnya itu ritual sebelum nganu-nganu?" Gumamku dalam hati. Pikiran jorok itu mulai merasukiku. "Kak...." serunya lagi."Ah iya. Gimana Mir?"Ia tersenyum menampakkan lesung pipinya yang manis. Tuh kan, aku mulai memujinya secara tak langsung. "Kak Fadhil mau mandi dulu atau sholat dulu?" Tanya Amira kembali."Mmm.. mandi dulu aja deh." Tukasku."Baiklah, saya persiapkan dulu baju gantinya. Tapi.." ucapannya menggantung."Kenapa Mir?" Tanyaku. "Saya kan nggak punya baju laki-laki kak. Kalau kakak mau saya pinjamkan baju abang saya dulu gimana?" Aku me
"Ya sudah, kamu duluan tidur saja. Aku mau keluar sebentar cari angin. Aku belum bisa tidur soalnya." Amira mengangguk. Aku segera bangkit untuk menuntaskan hasrat tertunda ini. Aku berencana untuk membaca buku yang sempat kubawa tadi. Semoga saja cara itu berhasil."Awww! Ssshh!" Aku memekik sedikit kencang."Kenapa kak?" Amira dengan cepat turun dari ranjang yang membuat ranjang itu berderit kencang. "Kakiku keseleo nih." Aku mengaduh kesakitan. Aku juga bingung kenapa tiba-tiba saja kakiku malah keseleo."Oh bentar kak. Aku ada minyak urut. Aku ambilkan dulu ya." Sementara aku masih mengaduh kesakitan. "Ssshh!" Desisku tertahan. "Ini kak. Aku urut dulu ya." Amira hendak menyentuh kakiku yang sakit. "Eh, emangnya kamu bisa urut?" Amira mengangguk cepat. Aku sebenarnya tidak begitu yakin akan kemampuannya. Namun kalaupun harus memanggil tukang pijat malam ini sepertinya tidak mungkin. "Ya sudah. Pelan-pelan aja ya." Amira pun mengangguk. Amira dengan ragu-ragu menyentuh kaki
Kini kami sudah sampai di rumah kedua orang tuaku. Mereka sangat bahagia sekali melihat kedatangan kami berdua. Ibu tak henti-hentinya mencubit gemas pipi Amira yang gembul. Sedangkan aku sudah seperti anak tiri yang tak dianggap. Ibu memperlakukan Amira dengan sangat baik. Ia bahkan mengajaknya mengobrol bersama di dapur. Bahkan ibuku juga sudah menyiapkan makanan yang sangat beragam di meja makan dengan porsi dua kali lipat daripada biasanya. "Bu, kok makanannya banyak banget? Emang bakal habis?" Tanyaku pada ibu yang saat itu masih asyik mengobrol dengan menantu barunya. "Kan sekarang ada Amira. Ibu nggak mau ya menantu ibu kekurangan makan disini? Ibu sama bapak ini masih sanggup kasih makan kok." "Tapi kan nggak sebanyak itu juga Bu. Kalau nanti dia tambah gend...?" Ibu menggeplak pahaku dengan centong nasi. "Hus! Kalau bicara bisa nggak sih disaring dulu. Tuh di dapur ada saringan gede. Muat tuh di mulut kamu." Ibuku mendelik menatapku."Sakit lah Bu.""Segitu doang sakit!
POV AuthorSesampainya Fadhil di rumah, Amira sudah menyambutnya di depan pintu. Amira cium punggung tangan Fadhil dengan takzim."Baru pulang kak. Sini aku bawain ke dapur." Amira mengambil kresek plastik yang kubawa. "Ya Allah dari belakang aja bentuknya seperti ini. Bukan seksi lagi tapi ini oversize." Fadhil menatap punggung Amira hingga tak terlihat lagi. Tak berapa lama kemudian, Amira datang kembali membawa secangkir teh dan aneka gorengan berupa pastel, risoles, bahkan bakwan pun ada. Amira meletakkannya di meja ruang tamu. "Ayo mas. Dimakan dulu." Amira tersenyum manis kepada suaminya namun sang suami hanya membalas seadanya. "Dikasih makanan lagi. Lama-lama aku bisa gendut kayak dia." Fadhil menggumam kemudian menggeleng lemah hampir tidak terlihat. "Kamu emang suka masak ya Mir?" Tanya Fadhil di sela-sela ia minum teh dan menikmati aneka gorengan itu yang terasa sangat nikmat di lidahnya. "Iya Kak. Aku emang hobi masak. Emang sih nggak jago kayak ibu, tapi nggak terla
Fadhil pun tak lama berada di Jambi. Ia sudah harus terbang ke Bandung untuk mengajar di pondok pesantren kembali. Ibu Fadhil menyayangkan kepergian anak dan menantunya. Padahal ia masih ingin berlama-lama mengenal sang menantu. Namun karena tugas dan amanah yang sudah diemban oleh anaknya, mau tak mau dia harus merelakan keduanya untuk pindah dari rumah itu. "Kenapa sih cepet banget kalian perginya? Nggak bisa apa ditunda sehari atau dua hari lagi gitu?" Bibir wanita parubaya itu mengerucut. "Ya nggak bisa dong Bu. Fadhil kan harus ngajar anak-anak santri juga. Waktu liburan mereka juga sudah hampir selesai. Jadi Fadhil harus kembali ke pondok lagi. Ya kalau liburan semester lagi, Fadhil pulang kampung kok." Kata Fadhil mengusap punggung ibunya. "Tapi kan waktu ibu mengenal lebih dalam istri kamu belum lama juga Dhil. Masa iya langsung diajak merantau? Kesel deh ibu sama kamu!" Ibunya bersedekap. "Lalu, Amira harus aku tinggal disini begitu Bu?" "Ya nggak gitu juga kali Dhil. Ka
Sesampainya di pondok pesantren, pasangan suami istri menghebohkan warga pondok. Tersebarnya berita tentang pernikahan dadakan Fadhil dan Amira membuat berbagai spekulasi. Namun hal itu tidak membuat syok pemilik pondok. Memang sehari setelah acara pernikahan dadakan itu, Fadhil sempat menghubungi Pak Kiyai Ahmad dan Ummi Sarah. Tetapi memang selain kedua orang itu, orang-orang pondok tidak ada yang mengetahui pernikahan Fadhil dengan Amira. "Ja-jadi dia istrimu, Fadhil?" Lirih Ridwan, selaku salah satu rekan pengajar. Fadhil mengangguk lemah. Ia bahkan hanya memainkan jemarinya. Ridwan meneguk ludah kasar saat melirik sekilas Amira yang tengah duduk bersama Ummi Sarah. Sedangkan Fadhil dan kedua temannya, Ridwan dan Munif berada tak jauh dari kedua perempuan itu sedang asyik mengobrol. "Yang bener saja kamu pilih istri, Dhil? Emang stok wanita kurus sudah hilang dari muka bumi, Dhil?" Tambah Ridwan. "Huss! Jangan body shamming gitu lah Wan!" Munif menyenggol bahu Ridwan yang keb
"Maling! Maling! Maling!" Teriak Amira sembari memejamkan matanya.. Ia sampai menghentak-hentakkan sapu itu ke arah pria yang menjerit kesakitan itu. "Awww! Hei! Ini aku Fadhil!" Mendengar hal itu gerakan Amira terhenti. Ia menatap ke arah pria yang baru saja keluar dari kamar itu. Memang benar itu adalah suaminya. "Ya Allah kak. Maaf, aku pikir tadi itu maling. Soalnya pintu masuk tadi nggak dikunci. Aku pikir ada maling masuk." Amira merasa bersalah. Amira menjatuhkan sapu itu ke lantai. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya dan sedikit membungkukkan tubuhnya. "Makanya lihat-lihat dong. Mentang-mentang tubuhku lebih kecil dari tubuhmu yang besar itu kamu jadi menganggapku aku ini seperti semut yang bisa kamu injak begitu?" "Bukan begitu kak. Tapi aku benar-benar tidak tahu kalau ada kamu di kamar. Maaf ya kak." Amira merasa sangat bersalah. Ia tadi memukul hingga sekuat tenaganya, pastilah tubuh itu terasa sakit. "Sudahlah! Aku mau pergi." Ia hendak menuju k