Share

Akad Nikah

Kami sudah sampai di kediaman Pak Amir lagi. Memang tak ada dekorasi yang menyambut kedatangan kami. Karena memang ini serba dadakan seperti tahu bulat. Kami hanya ingin melakukan prosesi akad nikah secara sederhana.

Orang-orang sudah berbondong-bondong masuk ke dalam rumah Pak Amir. Mereka duduk di karpet yang sudah digelar rapih di ruang tamu yang luas itu. Meja kecil ada di tengah-tengah mereka. Mungkin itu tempatku untuk mengucap ikrar ijab qabul nanti.

Perasanku sungguh tak karuan. Karena ini bukanlah pernikahan impianku. Aku hanya ingin menikah dengan Raya tapi justru takdir mengatakan bahwa aku akan menikahi Amira, gadis gendut yang tak pernah kubayangkan sama sekali akan menjadi istriku nanti.

"Hei, kenapa kamu melamun?" Tanya ibu.

Aku mengerjap. Ternyata sedari tadi aku melamun.

"Nggak kenapa-kenapa Bu."

Ibu mengendikkan bahunya.

Huffttt. Ibu, kalau bukan karena permintaan ibu, aku enggan untuk melanjutkan prosesi ini.

"Assalamu'alaikum." Sapa seorang pria parubaya.

"Wa'alaikumsalam." Ucap semua orang di ruangan ini serentak.

"Nah, ini pamannya Amira. Ayo, Agung..semua orang sudah sudah bersiap untuk acara akad nikahnya.

Pria bernama Agung itu kemudian masuk dan duduk di tempat yang telah disediakan.

"Ayo, Nak Fadhil silakan kemari." Pak Amir memintaku untuk ke tempat penghulu itu duduk.

Aku duduk di depan penghulu yang bernama Agung itu. Keringat dingin mulai bercucuran. Padahal acara belum dimulai. Tapi aku sudah gugup bukan main. Aku akan menjadi seorang suami? Yang benar saja?

Suasana mendadak canggung. Aku sudah duduk dengan tak jenak. Mataku tak fokus kepada penghulu itu yang sedang berbincang sebentar dengan Pak Amir.

Setelah selesai pembicaraan mereka, Pak Agung fokus kepadaku dan tersenyum.

"Masnya kelihatan tegang banget nih. Udah nggak sabar ya jadi suaminya Amira?" Pak Agung pun terkekeh.

Apa katanya tadi? Aku tak sabar jadi suaminya Amira, gadis gendut itu? Aku hanya menghela nafas panjang.

"Udah mas, santai aja ya. Kami nggak makan kamu kok." Pak Agung kembali terkekeh.

Aku tersenyum kaku menanggapinya.

"Oke, bisa kita mulai ya ijab Qabulnya ya Mas Fadhil?"

Aku mengangguk pelan.

Pak Agung menjabat tanganku.

"Duh, Mas. Habis mendekam di freezer ya? Tangannya dingin sekali." Pak Agung tersenyum menggoda.

Semua orang terkekeh. Terkecuali aku yang makin merasa jadi orang berlagak bodoh karena tingkahku ini.

"Santai aja ya mas." Pak Agung tersenyum.

Aku mengangguk.

Setelah dua kali latihan berikrar, kami tiba di acara intinya.

"Saudara Mohammad Fadhil Arrayan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Amira Azizah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Amiraya Azizah dengan mas... Dengan mas..." Aku berhenti berucap. Aku lupa akan kalimat selanjutnya apa.

Aku gugup bukan main.

Pak Agung menghela nafas kemudian tersenyum.

Suasana berubah menjadi tegang seketika.

"Kita coba lagi ya Nak Fadhil. Coba lebih rileks lagi. Santai aja ya." Ucap Pak Agung.

Meski seperti itu aku masih saja merasa gugup luar biasa. Aku tersenyum kaku.

"Saudara Mohammad Fadhil Arrayan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Amira Azizah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Raya..."

"Hah Raya? Kok Raya sih?" Gumamku dalam hati dan seketika fokusku buyar.

Penghulu itu menghela nafas kasar. Suasana mendadak sangat tegang dan riuh. Aku benar-benar tak fokus sama sekali.

"Baiklah, ini yang ketiga kalinya ya. Sebaiknya kamu minum air dulu biar jernih pikirannya. Fokus ya Nak Fadhil."

Pak Amir memberikan aku air mineral. dan aku langsung meminumnya hingga tandas. Pikiranku seolah terfokus kembali. Aku meraup oksigen sebanyak-banyanya kemudian menghembuskannya perlahan.

"Saya siap, Pak." Ucapku lantang.

Penghulu itupun tersenyum.

"Saudara Mohammad Fadhil Arrayan, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan saudari Amira Azizah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Amira Azizah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana Para saksi? Sah?"

SAAHHHHHHH

Suara riuh sorak gembira memenuhi ruang tamu ini. Aku menghela nafas lega. Tadinya di hatiku berharap bahwa ketiga kalinya aku akan gagal lagi berikrar, jadi aku tak akan melanjutkan ijab Qabulnya. Namun takdir berkata lain. Sepertinya aku memang diharuskan melakukan prosesi sakral ini.

"Ya Allah, Alhamdulillah." Ucapku lirih.

"Selamat ya nak sholihnya Bapak." Bapak memelukku dan bergantian dengan ibu yang menangis haru melihatku seperti ini.

"Terima kasih ya Fadhil kamu sudah memenuhi permintaan ibu. Ibu bangga sama kamu." Ibu melepas pelukannya kemudian menatap netraku yang mulai berembun.

Aku pun hanya mengangguk. Entah aku harus bahagia atau bersedih, karena kenyataannya hatiku belum sepenuhnya ikhlas.

Tak berselang lama, permaisuriku datang. Ah permaisuri kataku? Hah. Aku hanya mendesah kasar.

Gadis gendut itu sudah berubah tampilan. Balutan dress warna navy dengan perpaduan hijab silver menutupi tubuh bagian atasnya ia kenakan saat ini. Tak lupa sedikit riasan tipis berhasil membuat wajahnya kelihatan berseri-seri. Aku akui ia memang sedikit manis, apalagi ketika ia tersenyum menampakkan lesung pipi di kedua sisinya. Eh, tanpa kusadari, aku sudah mengaguminya. Apa-apaan ini.

Gadis itu berjalan dengan anggunnya ke arahku. Seperti biasa ia hanya akan tersenyum malu-malu sembari ia terus menundukkan pandangannya.

Ia semakin dekat dengan tempatku duduk. Aku merasakan kecanggungan berlebih. Berkali-kali aku menelan ludah kasar untuk menetralisir kegugupanku ini. Akhirnya dia berhasil mendaratkan tubuhnya di samping tempatku duduk.

"Dipandang dong istrinya." Ibu menyenggol lenganku dan spontan aku menoleh ke arah Amira. Pandangan kami bersirobok. Aku pun enggan menatapnya lama-lama. Segera kualihkan, aku hanya tersenyum kikuk.

"Oke, sekarang pasang cincin kawinnya dulu ya." Tangan ibu mengeluarkan kotak beludru warna merah hati. Lalu menyerahkannya kepadaku.

"Bismillahirrahmanirrahim." Kataku.

Aku menyematkan cincin di jari manisnya.

"Astaghfirullah. Gede banget jarinya. Apa cincinnya muat?" Batinku.

Dengan ragu aku memasangkan cincin itu di jari manisnya. Ini kali pertama aku menyentuh langsung kulit perempuan selain ibu dan adik-adikku.

Memang kulitnya terasa halus dan lembut. Namun tetap saja ukuran jumbonya membuatku risih. Berbeda sekali dengan jariku yang terlihat imut karena memang aku kurus.

Aku rasakan tangannya dingin. Ah, mungkin dia juga gugup saat ini.

"Alhamdulillah ternyata pas juga cincinnya di jari manisnya gadis ini. Kalau nggak muat, duh bisa jadi bahan lelucon." batinku.

Setelah acara pasang cincin selesai, tawa riuh berbahagia dari sanak saudaranya terdengar begitu nyaring di gendang telingaku. Tak lupa banyak kamera mengabadikan momen ini. Aku seperti dipermalukan di depan umum rasanya.

Tiba saatnya berfoto bersama.

"Eh, sungkem dulu dong sama suamimu, Mir." Celetuk Bu Maryam.

Amira pun mengangguk. Ia pun menuruti perintah ibunya. Ia meraih tanganku dengan malu-malu. Ia seperti menarik ulur tangannya untuk menyambut tanganku. Seakan masih ada keraguan dalam hatinya. Aku pun hanya tersenyum kaku.

"Ciieee cieee. Nggak usah malu dong Mir. Udah Sah juga, ngapain malu segala." Goda salah satu saudaranya.

"Iya Mir..ayo dong Salim dulu sama suaminya." Sambung saudara lainnya.

Amira tampak bersemu merah. Mungkin dia merasakan malu yang begitu sangat.

Akhirnya tanganku bersambut dengan tangannya. Telapak tangannya masih terasa dingin seperti tadi. Ia mencium punggung tanganku dengan takdzim. Sedangkan aku entah dorongan darimana aku memegang puncak kepalanya dan memanjatkan doa kebaikan dan keberkahan untuk kami. Entah juga ini dorongan darimana, aku langsung mengecup puncak kepalanya di depan semua orang setelah berdoa.

Riuh tawa terdengar kembali dari orang-orang. Aku hanya tersenyum kaku. Ah, apa yang aku lakukan? Kenapa aku seperti sudah jadi pemain handal?

Sesi foto bersama dimulai. Fotografer mulai mengarahkan berbagai gaya untuk kami. Aku begitu canggung untuk melakukannya. Karena selama ini aku jarang berfoto. Apalagi dengan seorang wanita. Sungguh, ini memalukan sekali bagiku.

Aku jamin, hasil fotoku tak akan bagus. Karena aku tak pandai berekspresi. Seandainya yang di sampingku ini Raya, sungguh aku pasti akan sangat bahagia. Bahkan berbagai gayapun akan aku lakukan senatural mungkin. Tapi sayangnya, wanita di sampingku ini bukanlah wanita yang aku impikan.

Setelah acara akad nikah selesai, bapak ibu pamit ke hotel tempat kami menginap.

"Fadhil, bapak dan ibu akan kembali ke hotel. Kamu disini dulu ya. Biar bisa perkenalan secara mendalam sama Amira." Ibu tersenyum.

"Tapi, Bu. Fadhil mau ikut ibu saja." Kataku memelas.

Ibu menggeleng keras.

"Tidak. Kamu sudah punya istri jadi kamu harus menemani istrimu." Kata ibu.

"Ya udah, nikmati malam pertamamu ya sama Amira. Buatkan ibu cucu yang banyak nanti." Bisik ibu yang berhasil membuatku melotot sampai bola mataku mau keluar dari tempatnya.

Ibupun terkekeh. Beliau pun berpamitan kepada keluarga Amira. Aku melepas kepergian mereka dengan berat hati. Sungguh, aku belum siap untuk menjalankan kewajiban itu. Aku hanya menghembuskan nafas kasar.

"Kak." Seseorang memanggilku dari belakang. Aku pun menoleh. Ternyata Amira yang memanggilku.

"Iya?"

"Mari istirahat." Ajaknya.

"Istirahat kemana maksudnya?" Aku semakin cengo saja.

"Ke kamar...... saya kak." Ajaknya dengan gurat keraguan.

"Ah, ke kamarmu ya? Baiklah." Aku pasrah saja.

Ia pun berbalik. Aku mengikuti langkahnya.

Sampai di kamarnya, ia mempersilakan aku masuk terlebih dahulu.

Kamarnya bersih dan rapi. Terlihat nyaman apalagi dilengkapi dengan pendingin ruangan membuat kamar ini terasa sejuk.

Apa itu di yang di kasur? Bunga mawar merah membentuk hati di tambah dengan taburan bunga mawar merah di sekelilingnya. Ada sepasang handuk putih dibentuk seperti angsa dan diletakkan di atas ranjang berwarna putih itu. Kelihatan suasana romantis. Tapi, tidak bagiku yang nampak gelisah melihatnya.

"Apa aku akan kehilangan keperjakaanku malam ini juga?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status