Dengan wajah yang ditekuk, aku menempelkan telinga ke daun pintu ruangan Mas Rangga, mencari tahu apa pria itu memiliki tamu atau tidak. Saat kuyakin tak ada orang lain di dalam sana, aku mendorong pintu, menyembulkan kepala dan mendapatinya sedang membaca buku, kacamata yang bertengger di hidung membuatnya tampak sedikit berbeda, dewasa dan karismatik. Aduh, dia semakin tampan saja. 'Oh tidak, Kinan, fokus, jangan terbuai sama bapak-bapak satu ini'. Ia mendongak saat menyadari kehadiranku. Melepas kacamata dan menatapku dengan alis yang terangkat. Aku berjalan ke sudut ruangan, menarik kursi, dan duduk di depan rak camilan yang dibelinya tempo hari. Aku mengambil cokelat, membuka bungkusan dengan terburu-buru dan menggigitnya secara ganas. “Ada apa? Kau terlihat kesal.” “Ini semua gara-gara kamu, Mas.” Suaraku meninggi, sampai-sampai aku memanggilnya tidak dengan sebutan biasa. Biar saja, aku ingin marah. Ya, marah dengan suami, bukan pada dosen. “Saya? Ada apa lagi?” “Bu
Ponselku tiba-tiba bergetar, sontak aku mendecakkan lidah saat nama Mela yang tertera pada notifikasi pop up. Aku menimbang antara membuka atau mengabaikan. Akan tetapi, itu terkesan sangat tidak bermoral jika aku mengabaikan pesannya. Kami sudah saling mengenal sejak masih duduk di bangku sekolah dasar dan tak logis jika aku mengabaikannya, padahal ia tak bersalah. Tak sadar senyumku mengembang, kala melihat foto-foto kami berempat. Tunggu! Untuk apa Mela mengirimkan foto seperti ini? Apa dia berpikir bahwa aku akan kembali luluh dan menghampiri mereka? Apa dia pikir bahwa aku akan menangis saat mengenang kembali masa-masa kami yang dulunya sangat harmonis. Aku merasakan air mata di pipi, aku menatap cermin dan menyadari bahwa mataku memerah dan berkaca-kaca. Oh, tidak, aku memang menangis. Apa ini yang Mela harapkan? Bodoh! Aku termakan jebakan yang Mela buat. Air mataku sudah menganak sungai. “Apa dia mengirim semua isi galerinya?” gumamku saat menyadari bahwa foto-foto terse
Aku mengepalkan jari saat berada di hadapan ketiga sahabatku-–ya, aku masih menyebut mereka sebagai sahabat. Saat masih kecil dulu, kami bahkan tak pernah bertengkar lebih dari tiga hari, karena katanya hal itu tidak baik, tapi sekarang hubungan kami merenggang hampir sebulan. Aku tahu bahwa ini benar-benar tidak baik, tetapi gengsiku terlalu tinggi untuk mendekati mereka. Aku bukanlah pihak yang salah, seharusnya bukan aku yang harus mengalah—itulah yang selalu kupikirkan selama ini. Sejak aku duduk, tak ada yang bersuara, suasana hening seperti ini sangatlah tak cocok denganku. Aku ingin bertanya pada Mela, mengapa ia memanggilku jika hanya untuk duduk seperti orang bisu. Aku ingin bertanya apa tujuannya membawaku kemari dengan secara paksa. Apakah ia ingin membuatku malu di depan mereka?“Kalian nggak mau baikan, gitu?” Mela membuka suara. “Apa pertemanan kita yang sudah belasan tahun tak ada artinya buat kalian? Begitu?” Suaranya bergetar. Aku tak mengindahkan Mela, memilih
“Nan?” Aku mendongak. Tidak biasanya dia memanggilku seperti ini. Nada suaranya agak berbeda. “Hmm.” “Liat gue dong, Nan. Lo mah dari tadi fokus sama ponsel mulu, gue malah lo abaikan.” Aku mengerutkan kening samar, lalu menyimpan ponsel yang membuatnya tak nyaman. “Oke, oke. Ada apa sih?” tanyaku sambil menatap matanya dengan intens. “Selama ini lo nganggap gue apa?” Ow, ow, pertanyaan tiba-tiba yang membuatku tak bisa berkata-kata. Apa maksudnya? Mengapa ia bertanya seperti itu? Aku jelas tak bisa menjawabnya. Ia menaikkan alis, masih mengembangkan senyuman. “Nggak bisa dijawab, ya?” “Sumpah, gue bener-bener nggak tahu harus jawab apa?” “Kok gitu?” “Lo ngajak gue ke sini cuma karena mau nanya gitu, Dev?” Aku memalingkan wajah, kembali menatap pemandangan malam yang memperlihatkan gedung perkantoran. Lampu-lampu di sekitar restoran membuat suasana semakin romantis. Namun, aku merasakan hal aneh. Meski suasana terlihat romantis, tetapi aku tak merasakan hal itu. Tak ada j
Aku tidak menyangka akan mengungkapkan perasaanku di situasi seperti ini. Kinan benar-benar membuatku menjadi pria pengecut. Seharusnya aku yang terlebih dahulu mengatakannya, bukan dia. Mengetahui perasaannya, membuatku benar-benar bahagia. Beberapa hari ini aku dilanda kebimbangan, hatiku mengatakan aku menyukainya, tetapi logikaku menolak. Aku terus mendoktrin otakku agar tidak terpengaruh akan pesona gadis kecil itu, tetapi aku benar-benar tidak bisa menahan dan menyangkal perasaanku. Hatiku terus memberontak, menginginkan dia ada di sisiku. Sebenarnya aku tahu bahwa dia keluar bersama Devan. Saat Mela mengatakan bahwa ia tak bersama gadis itu, saat itu pula aku yakin bahwa Kinan bersama dengan pria yang ia sukai. Aku kecewa, itu sudah pasti. Aku merasa kalah. Aku sempat berpikir bahwa pesonaku tak bisa membuat Kinan jatuh hati. Namun, siapa sangka, bahwa ternyata kami memiliki perasaan yang sama. Usia pernikahan kami baru beranjak beberapa bulan, dan kami sudah saling menc
“Nan, tumben lo pake cincin itu?” Dewi mengerutkan kening sambil menatapku dengan mata menyipit. “Eh, beneran? Mana?” Mela segera menarik tanganku, melototkan mata lalu mengangkat pandangan beralih padaku. “Woah, ada perkembangan, guys,” lanjutnya lagi. “Dih, pantesan wajahnya berseri-seri. Udah unboxing pasti.” Pupil mataku melebar, kala mendengar ucapan Rara yang frontal. “Apa sih, Ra?” “Tuh, kan. Dia nggak bakal nyangkal dengan tatapan seperti itu, tatapan malu-malu monyet kek gitu.” Ia menunjukku, membuatku menunduk menyembunyikan wajah salah tingkah. “Sok tahu kalian, padahal belum nikah juga,” protesku tak mau kalah. “Aduh, Nan. Sebagai pengamat, gue tahu itu. Di jidat lo aja tertulis dengan jelas bahwa lo sedang jatuh cinta. Siapa yang kemarin ngomong kalo nggak bakal jatuh pada pesona dosen kita itu?” “Ya, gue terpesona bukan karena tampangnya, kok, tapi—” “Tapi ukurannya, ya?” “Mela! Lo ngeres mulu.” “Eh, bekicot sawah. Maksud gue ukuran punggung dan bahu, Pak Rang
Aku menatap pria yang ada di hadapanku dengan tatapan menyala. Memang benar bahwa Dewi yang menghubungi Mas Rangga agar datang menolongku. Alih-alih membantuku, mereka justru sengaja agar Devan tahu tentang fakta ini. Padahal, aku berencana untuk memberitahu Devan setelah mengumpulkan keberanian. Namun, aksi ketiga sahabatku justru membuatku tak perlu repot lagi. Seharusnya aku berterima kasih, kan? Namun sayang, hal itu tak akan pernah kulakukan. Mereka justru menambah beban pikiranku saja. “Kenapa Mas harus jujur dan mengatakan bahwa aku adalah istrimu?” Aku memijit pelipis, lalu mendesah frustrasi. “Aku tidak salah, kan? Aku hanya mengatakan fakta yang ada.” Ia membalasku dengan nada santai, seolah hal itu tak berarti baginya. “Bagaimana jika kabar ini menyebar? Aku tak bisa menghadapi kemarahan Bu Mega.” “Aku merasa bahwa Devan bukanlah orang yang seperti itu.” Ah benar juga, Devan bukanlah lelaki yang akan menyebarkan berita dan membuat gosip. “Sepertinya Mas lebih tahu ten
Suasana terasa begitu mencekam saat Mas Rangga hanya diam dan menatapku tajam, seolah tatapan tersebut bisa menembus jantungku. Bahkan saat di mobil pun dia hanya diam saja membuatku kikuk dan semakin merasa bersalah. Namun, aku tak melakukan hal aneh, kan? Aku hanya berbicara sebentar dengan Devan untuk meluruskan segala kesalahpahaman yang ada. Itu tidak bisa didefinisikan sebagai perselingkuhan, bukan? “Mas!” panggilku karena tak tahan dengan kecanggungan ini. “Mas marah? Aku minta maaf kalau begitu.” Ia lalu melengos, kemudian bersandar di sandaran sofa. “Kenapa minta maaf? Memangnya kamu salah, ya?” Ekspresinya membuatku memutar bola mata. Tatapan itu seolah mengejekku. “Mas kenapa sih? Sejak di mobil Mas juga hanya diam, seolah aku ini membuat kesalahan yang paling fatal,” suaraku mulai meninggi, aku benar-benar tak suka berada di situasi seperti ini, terjepit. “Kamu bertanya kenapa? Apa kamu merasa tidak bersalah? Padahal, kamu kepergok jalan sama pria lain, Kinan.” Suara