Pagi ini Liyana berencana akan mengikuti suaminya secara sembunyi-sembunyi. Dia sudah tidak sabar sangat penasaran dengan jejak Arya yang sebenarnya.Setelah Arya berlalu dengan kendaraan roda empatnya yang mewah, Liyana pun sudah siap dengan pesanan taksi onlinenya. Liyana sudah minta izin pada Arya dengan alasan mau pergi bertemu teman-temannya."Aku harus pastikan, akan kemana langkahmu hari ini, Mas," desis Liyana berbicara sendirian.Kendaraan roda empat milik Arya nampak terparkir di sebuah toko perhiasan elit yang besar dan terkenal di Jakarta. Toko perhiasan itu bahkan nampak tak asing dalam pandangan Liyana."Itu kan toko yang dulu." Liyana mengerutkan dahi. Dia masih ingat betul tatkala Arya membelikan perhiasan sebagai mahar senilai 100 juta beberapa minggu lalu.Arya sudah masuk ke dalam toko itu, pun dengan Liyana yang mengekori di belakangnya. Namun setelah berada di dalam toko, penampakan Arya tiba-tiba menghilang. Liyana kehilangan jejak suaminya yang entah kemana perg
Liyana tampak memperhatikan nama yang tertera pada nisan itu. Dia tak mengenal namanya."Siapa, Mas?" Gadis itu bertanya lagi."Orang tua saya," jawab Arya lesu. Seketika kepalanya menunduk seperti tengah menutupi kesedihan."Jadi, orang tua Mas Arya telah meninggal? Aku turut berduka ya, Mas." Liyana mengusap bahu suaminya. Ia turut merasakan kesedihan yang dirasakan Arya saat ini.Mereka berdua mengangkat kedua tangan kemudian berdo'a bersama-sama. Setelah itu, Liyana kembali mengemukakan pertanyaan karena masih merasa penasaran."Kenapa harus menutupi semuanya, Mas?" Gadis itu bertanya lagi."Aku tidak mau semuanya berpikir tentang materi. Aku melihat kalau kamu tidak memikirkan itu. Kamu adalah gadis satu-satunya yang tak memandang manusia dengan materinya. Aku suka dengan itu. Kamu gadis yang baik, Li." Arya menjelaskan.Liyana tampak berpikir dalam beberapa detik. Sepertinya Arya sudah mulai terbuka padanya. 'Sepertinya tak ada salahnya jika aku bertanya tentang foto Ari yang te
"Aku hanyalah Arya, seorang laki-laki yang sebagaimana biasanya kamu kenal. Tidak ada yang aneh dalam diriku." Arya berusaha meyakinkan Liyana.Sementara gadis berbulu mata lentik itu nampak bingung dengan keadaannya saat ini. Sepertinya dia butuh bicara serius dengan Arya, tapi bukan di atas pusara mantan kekasihnya.Dengan segera, Liyana menghapus air mata yang sempat menetes di pipi. Dia bangkit, kemudian menarik tangan Arya, membawa pria itu pergi dari pemakaman menuju kendaraan roda empat yang berada di tempat parkir."Kenapa harus buru-buru sih?" protes Arya."Masuk, Mas. Aku mau bicara sama kamu dan ini sangat penting." Kali ini wajah Liyana nampak serius membuat Arya sempat cemas.Liyana meminta Arya segera masuk ke dalam mobil, kemudian dia duduk di kursi yang berdampingan dengan sang suami. Dia menatap dengan tatapan nanar penuh selidik."Kamu kenapa sih, Li? Kamu marah karena aku telah menyembunyikan jati diriku?" Tanpa basa-basi, Arya segera bertanya tatkala melihat tatapa
Liyana tampak mengangkat wajahnya. Ia melepaskan pelukan Arya. Ditatapnya dengan seksama wajah pria dewasa di depannya yang memang sangat mirip dengan Ari. Dengan pasang manik yang masih terlihat basah, Liyana kembali menatap nisan Ari. "Kenapa waktu begitu cepat menjemputmu, Ari. Aku masih sangat mencintaimu. Sampai kapan pun cinta dalam dada ini akan selalu ada." Liyana nampak lirih dalam kesenduan. Berkali-kali ia mengusap pipinya yang basah, namun berkali-kali pula bulir bening itu mengalir menganak sungai di pipi. Seperti luka tak berdarah, Liyana merasakan sakit yang luar biasa pada isi dadanya."Sudah, Li. Percayalah, perasaan Ari pun sama halnya. Manusia hanya memiliki niat dan rencana saja. Tuhan yang lebih kuasa atas kehendak-Nya," tutur Arya seraya mengusap bahu Liyana. Ia hanyalah pria yang tak dicintai Liyana. Namun meski pun begitu dia tetap berusaha meredam kesedihan yang dirasakan istrinya hari ini.Di atas pusara Ari, dua insan yang berstatuskan suami istri itu nampak
"Apa!" Tentu saja bola mata Liyana terbelalak. Ada yang tertusuk tapi tak nampak."Tapi hanya keinginan," lanjut Evelin."Apaan sih. Evelin memang senang bergurau," bantah Arya kemudian. Dia mengibaskan tangan seraya menahan gelak tawa di bibir.Liyana kembali melanjutkan napas yang sempat tercekat di tenggorokan."Apaan sih kalian ini. Sudah pada dewasa masih senang bikin senam jantung," kata Liyana seperti keceplosan."Memangnya jantung kamu kenapa? Kecapean?" Arya menyindir Liyana. Sementara Evelin langsung meluruhkan pantatnya di atas kursi."Enggak kenapa-kenapa sih. Hanya kaget saja," elak Liyana menggaruk kening yang dipastikan tak gatal. Gadis berbulu mata lentik itu tiba-tiba terlihat gugup dan Evelin bisa melihatnya."Kamu kaget ya karena aku mengaku kekasih Arya? Tenang saja, baru calon kok." Lagi-lagi Evelin kembali menggoda Liyana seperti disengaja saja. Wanita cantik itu pun sempat melirik ke arah Arya lalu mengedipkan sebelah matanya nampak genit."Evelin apa-apaan sih
Arya tercengang dengan permintaan Liyana."Kamu bicara apa sih, Li. Jangan ngaco begitu," elaknya.Arya kemudian melanjutkan langkah. Langkah yang diikuti Liyana di belakangnya."Mas, tunggu," tahan Liyana yang membuntuti Arya di belakangnya. Namun sepertinya pria dewasa itu enggan menanggapi panggilan istrinya."Mas, tunggu dong. Kok buru-buru amat sih. Aku kan belum selesai bicara." Nampaknya Liyana masih merengek. Ia segera menyeimbangkan langkahnya dengan Arya yang terlihat cepat."Bicara kamu aneh, Li." Arya mengacuhkan. Liyana pun dibuat kesal."Tapi aku serius, Mas." Gadis itu masih menekan, namun lagi-lagi Arya tak membalas ucapannya sampai mereka masuk ke dalam kendaraan roda empat milik Arya.Sepanjang perjalanan pulang, pasangan suami istri itu hanya saling diam. Liyana pikir suaminya tengah marah karena ucapannya tadi.Padahal yang ada dalam pikiran Arya adalah, dia hanya tak mau mengecewakan almarhum adiknya.'Aku memang mencintai Evelin. Suatu saat cinta ini akan aku ikra
Gemuruh panas di dalam dada Liyana kian mendidih saja. Gadis itu ingin marah tapi tak tahu alasannya. Ingin melabrak suaminya yang tengah bercumbu dengan Evelin di sofa ruang tamu. Akan tetapi, ia merasa tak ada kekuatan. Lagi pula, bukankah Liyana tak mencintai Arya, untuk apa dia marah?Liyana memilih kembali ke kamarnya, membiarkan sepasang insan itu meluapkan hasrat mereka. Liyana membanting beberapa bantal dan guling yang terletak di atas ranjang kamarnya."Aarrgghh!!!" "Dimana-mana, laki-laki memang sama buayanya. Aku pikir hanya Arsenio yang pengkhianat, tapi Mas Arya sama brengseknya!" Liyana meluapkan kekesalan di dalam kamar sendirian. Beruntung jarak antara kamar Liyana dan ruang tamu cukup jauh sehingga tak mampu mengganggu kemesraan Arya dan Evelin yang tengah melepas rindu.Sementara di ruang tamu, Arya merasa bebas bersama Evelin. Sebab pria itu pikir kalau Liyana sudah terlelap tidur."Arya, aku akan menginap di rumah ini," pinta Evelin. Saat ini mereka menyudahi kec
Dengan isi dada yang terasa panas, Liyana berjalan di area komplek perumahan. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, nyaris tak ada satu pun abang-abang yang lewat untuk berjualan."Tinggal di perumahan elit ternyata bikin lapar ya. Gak ada satu pun yang jualan, mentang-mentang sudah konglomerat semua!" Liyana mendumel sendiri. Ia menghentikan langkah untuk sekedar memesan ojeg online. Sepertinya harus benar-benar keluar komplek perumahan untuk mencari sarapan yang sudah telat.Tak lama, muncul ojeg online pesanannya. Gadis itu tak mau menunggu lama. Gegas ia naik kendaraan roda dua itu. Ia tak akan membiarkan hati yang panas serta perut yang lapar dapat meruntuhkan ketahanannya. Selama ini Liyana selalu kuat dalam menghadapi masalah, tapi kali ini terasa berbeda. Ia lemah melihat suaminya bercumbu dengan wanita lain padahal tak memiliki perasaan apa-apa.Setelah memakan waktu sekitar lima belas menit, Liyana telah sampai di tempat makan yang dituju. Belum sempat kakinya me