Liyana Zahira berjalan dengan tergesa-gesa masuk ke dalam sebuah caffe favorit kekasihnya, Arsenio Bagas. Ia diminta datang tepat waktu dan langsung menuju kursi dengan nomor 10 sesuai perintah sang kekasih."Maaf, aku terlambat," ucap Liyana pada sang kekasih yang telah duduk di kursi nomor 10."Duduklah," pinta pria itu dengan datar. Arsenio kembali menurunkan tatapannya dari Liyana, seperti tengah menyembunyikan masalah.Liyana segera mengindahkan perintah sang kekasih. Dia menarik kursi di depannya kemudian duduk dengan nyaman. Tampak di atas meja sudah tersedia dua gelas air berwarna orange dan dessert. Kedua Air berwarna orange itu bahkan telah berkurang setengahnya, seperti telah diteguk seseorang."Mas, mengapa kamu memintaku datang ke sini? Kita kan sedang dipingit, harusnya tak boleh bertemu." Liyana bertanya heran. Acara pernikahan mereka akan berlangsung satu minggu lagi. Gadis itu paham aturan keluarga kalau mereka tak boleh bertemu. Akan tetapi Arsenio memaksa dan Liyana
Tatapan Liyana tak berpaling ke arah mana pun. Kedua tangannya masih menaut memohon jawaban dari Arya Bagaskara."Oke, aku mau," jawab Arya tanpa pikir panjang. Lagi pula pria dewasa itu memang sudah menyukai Liyana sejak pertemuan pertama di rumah makan sebagai pengunjung. Arya bahkan rela berpura-pura menjadi pelayan demi bisa dekat dengan Liyana. Namun, perasaannya sempat kecewa saat mendengar kabar rencana pernikahan gadis berlesung pipit di hadapannya.Tapi, keadaan berbalik. Kini Liyana menawarkan sebuah pernikahan. Entah apa penyebabnya, Arya tak memperdulikan itu. Tuhan tengah berpihak padanya dan ia tak akan menyianyiakan kesempatan."Mas, Arya. Kamu serius kan?" Liyana menyeringai dan memastikan sekali lagi."Tentu saja aku serius," jawab pria dewasa itu dengan yakin.Liyana menggenggam erat kedua tangan Arya yang menumpuk di atas meja."Terima kasih, Mas. Aku akan berusaha membuat kamu bahagia. Lagi pula, aku sudah naik jabatan menjadi manager di rumah makan ini. Jadi, kamu
Gadis berlesung pipit itu menahan langkah Arya di depan toko. Ia masih merasa janggal. Mana mungkin ada toko perhiasan yang dengan suka rela memberikan kado pernikahan untuknya, apalagi untuk Arya yang hanya sebagai pelayan rumah makan."Maksud apanya, Li?" Arya malah berbalik tanya."Mana mungkin ada toko perhiasan memberikan kado dengan nilai seratus juta untuk kamu. Kecuali kamu pewaris toko itu, kamu ini hanya pelayan rumah makan, tak jauh bedanya seperti aku. Katakan, apa yang telah kamu lakukan sebelumnya, Mas?" Liyana melemparkan tatapan nanar penuh tanda tanya. Ia tak akan beranjak dari toko perhiasan sebelum mendapat kejelasan."Bagaimana kalau iya?" Arya tampak bergurau."Iya apanya? Aku serius, Mas! Please deh jangan main-main." Bola mata Liyana kembali berkaca-kaca. Ia nampak cengeng hari ini."Aku sedang dalam masalah besar, Mas. Aku mempertaruhkan kehormatan keluarga. Aku harap, dengan menikah denganmu, masalah ini akan selesai," imbuhnya. Bulir bening Liyana kembali men
"Apa kamu sudah siap?" Pertanyaan Arya membuat Liyana terkesiap."Hah!" Liayana membeliak terkejut. Ia kesulitan menelan salivanya sendiri."Kok malah bengong sih?" Arya bertanya lagi. Pria dewasa bertubuh tinggi dengan bertelanjang dada tampak memperlihatkan perut sispack karena dia baru saja keluar dari kamar mandi."M-mas, a-aku, aku—" Liyana nampak gugup ia sampai kesulitan merangkai kata untuk sebuah alasan. Gaun pengantin masih menutupi tubuhnya karena ia belum sempat mengganti pakaian."Aku tahu kamu belum siap." Tiba-tiba Arya mendekat ke arah Liyana, membuat gadis berlesung pipit itu melangkah mundur nampak takut."Kok kamu bisa bicara seperti itu, Mas?" tanya Liyana seraya menggigit bibir bibir."Ya karena kamu belum mandi dan berganti pakaian. Mandi dulu sana, setelah itu kita siap-siap untuk makan malam."Mendengar itu, Liyana langsung menghela napas lega. "Iya, Mas. Aku akan segera mandi."Arya mengukir senyum. Wajahnya sangat terlihat tampan, hanya saja di mata Liyana ma
"Hei, kenapa melihatku seperti itu?" Arya melihat tatapan Liyana sedikit berbeda saat ia kembali ke tempat duduk usai membayar makanan.Liyana menyodorkan kartu nama milik Arya yang telah ditemukannya. "Ini milik kamu kan, Mas?" tanyanya dengan melayangkan tatapan nanar penuh selidik."M—" Arya nampak gugup. Dimasukkannya dengan segera kartu nama itu ke dalam dompetnya."Pemilik toko perhiasan berlian. Nama kamu jelas tertera di situ, Mas." Liyana semakin merasa penasaran."Lupakan soal kartu nama ini. Mana mungkin ada pemilik toko perhiasan model begini." Arya mengelak. Ia segera beranjak dari tempat duduk bersiap akan segera pergi."Ayo. Kita harus kembali ke hotel," ajaknya seraya meraih tangan Liyana."Tidak, Mas. Kamu masih punya hutang penjelasan," tahan Liyana yang masih penasaran."Kita bahas di hotel saja," elak Arya. Akhirnya Liyana mengalah dan ikut bersama sang suami untuk kembali ke hotel.Sesampainya di hotel, seorang pria dengan setelan jas hitam nampak menghormati Arya
'Ya Tuhan, semoga ini hanya mimpi.'Kepalanya menggeleng. Tubuhnya memberontak. Hingga ia merasa tubuhnya terlempar jatuh."Aw!" Liyana membuka mata bersamaan dengan itu pria tadi menghilang entah kemana. Tubuh Liyana sudah berada di atas lantai. Bulir peluh tampak membanjiri keningnya. Ia baru saja sadar sesuatu."Ya ampun, ternyata hanya mimpi." Gadis itu menghela napas cukup panjang. Ia langsung bangkit ke atas ranjang. Raut wajahnya lelah seperti telah lari maraton seratus kilo meter.Saat menoleh pada dinding hotel, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Bisa-bisanya dia bangun kesiangan."Mas Arya kemana ya?" Liyana bertanya-tanya sendirian.Tak lama seseorang membuka pintu hotel. Masuklah pria dewasa bertubuh tinggi berisi yang saat ini telah menjadi suami Liyana."Kamu dari mana, Mas?" tanya Liyana dengan suara napas yang masih memburu."Kamu tak sadar ya. Semalam aku kan keluar. Aku menghargai kamu yang masih butuh waktu. Aku memilih tidur di kamar sebelah yang kebetul
Belum sempat Arya menjawab pertanyaan, beberapa wanita berseragam ala-ala pembantu eropa nampak berbaris menyambut kedatangan Arya."Selamat datang, Tuan, Nona!"Liyana tercengang mendengar sapaan wanita di depannya. Ia menajamkan tatapan pada Arya kemudian menarik sikutnya."Mas?!"Pria berusia empat puluh tahun itu hanya mengulum senyum pada Liyana kemudian mengalihkan pandangannya pada tiga orang wanita berseragam pembantu itu."Perkenalkan ini adalah, Liyana Zahira. Ini adalah istri saya dan kalian harus menghormatinya sebagaimana menghormati saya." Arya memerintah pada pembantu di rumahnya. Mereka mengangguk, menyapa Liyana dengan ramah kemudian kembali dengan tugas-tugas di rumah besar itu.Liyana semakin dibuat kelimpungan dengan keadaan di depan mata. Sebelah tangannya ditarik lembut oleh Arya kemudian mereka duduk di sofa berwarna putih di ruang tengah. Liyana menaksir, sofa yang didudukinya dipastikan bernilai puluhan juta, apalagi dengan hiasan dinding berikut funiture di r
Wanita itu menggenggam gelang yang baru saja ia temukan di dalam lemari. Masih lekat dalam ingatan kalau gelang itu adalah miliknya yang telah diberikan pada seseorang yang pernah ia cintai di masa sekolah menengah atas. Langkah Liyana terlihat cepat mencari salah satu pembantu rumah tangga senior di rumah suaminya."Siapa nama kamu?" Liyana bertanya terlebih dahulu pada wanita berseragam asisten rumah tangga yang usianya lebih tua dari yang lainnya.Asisten itu segera menjawab pertanyaan Liyana dengan ramah, "Nama saya, Kiki. Jika Nona Liyana butuh bantuan, bisa segera panggil saya.""Baik, Kiki. Saya butuh bantuan kamu. Jawab pertanyaan saya, siapa pemilik kamar yang itu sebelumnya?" Liyana meluruskan jari telunjuk pada kamar yang baru saja ia tempati.Asisten rumah tangga bernama Kiki itu terdiam dalam beberapa saat. "Tidak ada pemiliknya," jawabnya seraya menurunkan tatapan."Kamu bohong ya? Saya tahu kok, kamar itu pernah dimiliki seseorang sebelumnya," tekan Liyana dengan mene