Home / Romansa / Terpaksa Menikahi Pacar Adikku / 6 : Sepenggal Masa Lalu

Share

6 : Sepenggal Masa Lalu

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2024-06-26 20:33:59

“Hai, masih sibuk, ya?” tanya Sky dari sambungan telepon. Kali ini mereka melakukan video call.

Sky terus menatap wajah kekasihnya. Ia rindu, ia ingin bertemu dengan gadisnya. Dia ingin mendekap wanita itu tanpa batas waktu.

“Sepuluh menit lagi selesai. Aku senang kamu baik-baik saja hari ini.” Melihat Sky tetap utuh adalah hal yang membahagiakan baginya. Setiap waktu, setiap pelatihan dan pertandingan, Freya hanya ingin kekasihnya selamat. Tidak peduli dengan kejuaraan.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Babe. Ketakutanmu hanya semata karena pikiranmu saja. Aku tetap baik-baik saja. Aku pemainnya, Babe.” Sudah menjadi kebiasaan Sky membanggakan dirinya.

“Hari sial nggak ada di kalender, Sky.”

“Aku tahu, jangan mulai. Aku hanya ingin kamu mendukungku seperti keluargaku lainnya.”

“Aku mendukungmu. Meskipun aku kadang takut.”

“Percayalah aku akan baik-baik saja.”

“Hm—”

“Akhir pekan aku naik. Doain, aku, ya. Kalau aku menang, aku usahain pulang.” Mendengar kata pulang membuat Freya bersemangat.

Bagaimana tidak? Mereka sudah terpisah selama dua belas bulan. Bahkan baru sebulan mereka menjalin hubungan, Freya sudah harus berpisah jauh dari pria itu.

“Serius?” Matanya seketika berbinar. Bahkan senyum manis yang teramat dirindukan oleh Sky terukir jelas di bibir Freya yang indah.

“Tentu saja. Aku punya waktu satu bulan kalau pertandingan ini berhasil, Babe. Setelah itu F1 sudah menungguku.”

“Kalau kau menang bertanding kali ini, berarti sudah berakhir ‘kan permainannya? Kamu janji setelah menang juara dunia kamu akan berhenti.”

“Tidak. Bukan begitu. Juara dunia bukan hanya sekali, Babe.”

“Maksudmu kamu akan tetap bermain?” sela Freya.

“Ya—”

“Cukup! Aku benci sama kamu, Sky! Kamu terlalu berambisi untuk menjadi juara dunia. Kamu ngerti nggak sih gimana takutnya aku? Gimana aku terus berjanji sama diriku sendiri agar bisa buat kamu berhenti main bahaya? Sky, kamu masih muda, kamu bisa cari pekerjaan yang lebih aman ‘kan? Kenapa musti balapan,sih?”

“Karena ini impianku dan papaku, Babe. Aku sudah katakan ribuan kali ‘kan?”

“Tapi papamu udah nggak ada! Kamu nggak harus terus jalani itu kalau nggak mau kan?!”

“Kata siapa aku nggak mau, Freya?! Papa nggak ada demi ini. Aku cinta hobi dan pekerjaanku, sama seperti aku cinta kamu! Kenapa, sih kamu selalu egois?”

“Egois bagaimana?! Kamu yang egois! Aku yang terus-terusan harus turuti apa katamu. Aku yang harus sabar dengan caramu menjalani hidup penuh dengan bahaya. Pernah nggak, sih, kamu mikir gimana hancurnya aku kalau kamu kenapa-kenapa?! Pernah nggak kamu mikirin perasaanku setiap lihat kamu bertanding? Pernah nggak?!”

Melihat tangis dan air mata di wajah Freya membuat Sky serba salah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk sekarang. Ingin rasanya, ia menghapus air mata yang meleleh di pipi kekasihnya. Akan tetapi, jarak memisahkan mereka.

“Aku—” Panggilan itu diputus secara sepihak oleh Freya. Gadis itu meraung di bawah meja kasir.

“Permisi!” Sampai suara itu mengharuskan Freya untuk bangkit dan memasang wajah baik-baik saja yang selalu dia perlihatkan pada semua orang.

“Sudah? Ada membernya, Kak?” Suara Freya serak. Matanya sembam dan basah. Pelanggan yang berdiri dibalik meja kasir itu hanya menjawab dengan anggukan kepala dan mengulurkan sebuah member card.

“Terima kasih, selamat datang kembali.” Template yang selalu diserukan Freya setelah melakukan tugasnya.

[Aku minta maaf, Babe.] sebuah pesan yang hanya dibaca oleh Freya. Ia tidak berniat untuk membalas pesan tersebut.

Sampai jam pulang pun, Freya mengabaikan pesan dari Sky. Ia kembali memesan ojek online. Senyum dan keramahannya seolah memudar. Sepanjang perjalanan gadis itu hanya menutup rapat mulutnya. Membayar uang pas lalu merangsek dalam gang rumahnya.

“Ini baju siapa?” Belum juga Freya beristirahat, dia sudah harus ditodong dengan pertanyaan dari sang ayah.

“Baju orang, Pak. Tadi aku nggak sengaja tumpahin soto, jadi kudu aku cuci.”

“Buat Bapak, ya?” Freya mengangkat pandang.

“Jangan, Pak. Aku mau kembalikan itu besok. Lagian kenapa, sih bapak kurang kerjaan banget, sampe ngorek-ngorek baju di bak,” gerutu, Freya.

“Bapak lihat bajunya bagus, ya bapak ambillah.”

“Jangan, Pak. Kembalikan,” pinta Freya.

“Kamu beli yang baru saja lagi buat ganti baju ini.”

“Pak, itu baju mahal. Uang gaji aku nggak bakalan cukup buat gantiin itu.”

“Justru ini baju mahal, makanya buat bapak saja.”

“Pak! Aku capek, aku baru pulang! Mau istirahat, Bapak kaya bocah! Nggak bisakah hanya gangguin aku tanpa hal-hal yang lain? Aku capek, Pak! Aku pengen istirahat!” Freya sudah tidak bisa menahan dirinya.

Ia punya ayah tetapi ia kehilangan peran dari pria yang terus dia panggil ‘Bapak’ itu.

“Dasar pelit! Anak nggak tahu diuntung. Coba kalau bukan karena Bapak, kamu juga nggak bakalan hidup di dunia ini.” Laki-laki paruh baya itu melemparkan pakaian setengah basah itu ke muka Freya.

Ingin sekali Freya membantah ucapan itu. Dia bahkan tidak minta dilahirkan. Terlebih dalam kondisi seperti ini. Di mana letak keberuntungannya?

Namun, Freya lebih memilih diam. Dia tidak ada tenaga lagi untuk meladeni ucapan sang ayah. Freya masuk dan langsung ke kamar mandi. Mencuci kemeja dan jas itu. Dia harus lekas mengembalikannya sebelum ayahnya nekat memakai pakaian itu sebagai gaya-gayaan.

**

Setelah jam kerja di rumah makan modern itu berakhir, Freya kembali memesan ojek. Kali ini tujuannya bukan rumah, melainkan alamat kantor Sean yang ada di gagang payung itu.

“Gila! Ini jauh banget, aku bisa telat,” gumamnya. Seraya menantikan ojek itu datang. Butuh waktu setengah jam baginya ke tempat Sean. Artinya dia tidak bisa mampir ke rumah.

“Pak! Ngebut, ya!” Begitu ojol itu datang, tanpa menunggu Freya langsung memberinya intruksi. Ia menyahut helm dan memakainya dengan cepat.

Motor itu terus melaju dengan kecepatan sesuai keinginan Freya. Beruntung tidak ada drama kemacetan di kota ini.

Dua puluh menit kemudian, dia tiba di depan bangunan besar dan tinggi. Freya menatap takjub. Berandai-andai jika dia bisa bekerja dan menjadi bagian di dalamnya.

“Pak, tunggu di sini, ya.”

“Siap, Mbak.” Freya lekas merangsek memasuki bangunan maha megah itu.

Gaya Freya yang mencurigakan langsung menyita perhatian dari petugas jaga. Tentu saja mereka harus waspada dengan wanita-wanita yang bertampang polos layaknya Freya.

“Mau cari siapa, Mbak?”

“Ah— kebetulan. Saya mau cari, Om Sean,” ucapnya enteng. Jelas, satpam itu mengira bahwa Freya adalah keponakan dari atasannya.

“Oh— Mbak, keponakannya? Tapi, perasaan Tuan—”

“Iya, Pak. Ayo, buruan! Saya nggak ada waktu buat nunggu. Kalau, Om Sean tahu keponakannya menunggu lama, Anda bakalan kena masalah!” ancam, Freya menakuti pria di depannya.

“Eh— baik. Nona tunggu di sini saja, ya.”

“Tapi cepat, ya, Pak! Saya tidak ada waktu,” katanya. Freya duduk dengan rasa tidak sabar.

Sepuluh menit berikutnya dia bisa melihat Sean berjalan mendekatinya. Bahkan senyum tipis itu sudah terkembang jauh sebelum pria itu tiba di sisi Freya.

“Maaf, Om. Aku harus berbohong sama satpam. Aku tidak ada waktu buat nungguin Om.”

“Oke tidak apa-apa. Jadi— kenapa kamu datang?”

“Ini— terima kasih untuk payungnya dan maaf untuk kemeja serta jasnya,” balas Freya. Ia menyodorkan paper bag hitam.

Sean menerima paper bag itu dengan senyuman. “Tidak perlu buru-buru sebetulnya.”

“Tidak bisa begitu. Barang-barangmu tidak aman berada di rumahku.”

Alis Sean terangkat, aneh dengan pernyataan Freya. “Kenapa begitu?”

“Banyak maling baju branded,” kelakar Freya. Hal itu mampu memancing gelak tawa Sean.

“Ada-ada saja. Baiklah, mau mampir ngopi?”

“Tidak, aku harus ke  toko yang waktu itu. Aku sudah terlambat, Om.”

“Oh— aku antar.”

“Eh—”

“Ayo! Katamu sudah terlambat ‘kan?”

“I— iya. Tapi aku sudah—”

“Sudah, ayo!” Tangan besar Sean sudah menggenggam pergelangan tangan Freya. Mereka keluar dari lobi. Freya harus meminta izin membatalkan ojolnya dan membayar tagihan sebelumnya.

“Sekali lagi terima kasih, Om,” ucap Freya dalam perjalanan menuju lokasi kerja keduanya.

“Tidak masalah, jangan panggil, Om. Aku tidak setua itu.”

“Tetap saja lebih tua dariku ‘kan?”

“Tidak juga. Anggap saja lebih dewasa dari kamu,” tandas Sean.

“Dih— sama aja ‘kan?” Sean tersenyum. Mereka tidak terlihat berbeda jauh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   97 : Enam Tahun Terlewat

    Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   96 : Bertemu Kembali

    Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   95 : Kedatangan Zia

    Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   94 : Penjelasan

    Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   93 : Desas-Desus

    Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   92 : Akad Nikah

    Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status