Home / Romansa / Terpaksa Menikahi Pacar Adikku / 5 : Aku Akan Menikahimu

Share

5 : Aku Akan Menikahimu

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2024-06-26 20:29:59

Freya terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia menggeleng. “Aku punya kehidupan lain, Sean. Kamu tahu itu. Aku punya adik, aku punya orangtua yang semua kebutuhannya aku tanggung. Kalau aku tidak bekerja, mereka tidak bisa makan.”

“Aku bisa bantu kamu, Freya. Aku bisa berikan apa pun yang kamu mau.”

“Jangan lakukan itu, Sean. Kamu bisa dapatkan wanita yang lebih dari aku. Aku jahat sama kamu, aku bukan wanita yang tepat untukmu. Aku hina, aku tidak lagi utuh,” lirih Freya. Dia sungguh malu dihadapkan dengan pria yang tulus dan lembut.

Sean adalah kesempurnaan, sementara dia hanyalah serpihan kayu. Tidak berguna yang akan berakhir sebagai bara api.

“Kamu tahu benar, aku mencintaimu, Freya. Dari awal hingga detik ini perasaanku tidak pernah surut. Tidak guna sekuat apa pun kamu mencoba menjelek-jelekan dirimu di depanku, kamu tetap keindahan. Kamu separuh kebahagiaanku, Freya.”

“Aku hanya akan menjadi luka untukmu, Sean. Mungkin sebesar cintamu padaku, maka sebesar itulah cintaku pada Sky. Tidak terganti dan tidak juga tergeser,” ungkap Freya. Ia membalas tatapan mata Sean.

Menyelami bagaimana indah mata cokelat milik pria itu. Sama halnya Freya yang menghabiskan perasaannya dengan Sky. Begitulah perasaan Sean pada gadis itu. Mereka berada dalam cinta segitiga dengan hubungan darah antara Sean dan Sky.

“Kita bisa pikirkan ini lain waktu. Sekarang aku antar kamu pulang. Ini sudah terlalu larut untukmu.” Sean melepaskan genggaman tangannya dan beralih untuk mencengkeram kemudi.

Mobil putih itu melaju, menerjang sunyinya malam ibu kota. Freya tetap duduk dengan posisi yang sama. Menghadap pada Sean. Namun, ia menundukkan wajahnya. Memainkan ujung kukunya untuk mengikis tepian kuku atau bahkan kuku yang lain.

Sean meraih jemarinya. Itu hal yang dilakukan untuk menghentikan rasa cemas dan khawatir dalam diri Freya.

“Apa yang ingin kamu katakan?” Hanya dengan gerak-gerik Freya yang demikian saja, Sean bisa menebak ada satu atau dua hal yang ingin Freya ketahui.

Satu tahun mengenal Freya, pria itu cukup mampu memahami bagaimana sikap dan sifat gadis yang ia kehendaki.

“Apa dia mengatakan sesuatu? Apakah dia tahu hubungan kita, Sean?” suara Freya serak dan bergetar.

Sebenarnya Sean tidak ingin menceritakan apa pun tentang sikap dan juga tanggapan Sky di sana. Namun, Sean juga tidak bisa terus membohongi dirinya dan juga Freya. Gadis itu harus tahu apa yang sebenarnya dikatakan oleh adiknya.

“Apakah kamu akan memercayaiku, Freya?”

“Mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Aku tidak bisa mengatakan aku tidak percaya, tetapi kadang aku tidak sependapat dengan pemikiran atau penyampaianmu, Sean.”

“Sky mencintaimu. Aku sudah katakan tadi ‘kan? Ya, itu kenyataan yang harus kamu ketahui dan simpan rapat dalam hatimu, Freya.”

“Kamu tidak berdusta?”

Sean menoleh pada Freya dan mengangguk. Ia juga memberikan senyuman manis yang selalu dia tunjukkan ketika ia berkata dengan jujur.

“Tapi— ke—”

“Aku juga sudah katakan alasannya kenapa dia belum ingin menikah ‘kan? Ini bisa kalian jadikan pelajaran. Sungguh, aku tidak menyalahkan kamu, Freya. Aku tahu, terkadang cinta mampu membawa seseorang kejurang kehancuran paling dalam, atau bahkan ke lautan lepas lalu kita hilang kendali dan tergulung olehnya.”

“Aku tahu kamu adalah laki-laki yang bijak, Sean. Orangtuamu berhasil mendidikmu.”

“Aku tahu. Mereka memang yang terbaik. Aku akan mengenalkanmu pada anggota keluargaku lain kali. Kalau kamu tidak sibuk.”

“Sky tidak pernah membahas keluarganya. Dia hanya terus bilang, kalau keluarganya mendukung penuh hobi dan impiannya.”

“Ayah kita adalah orang yang paling mendukung kegiatan itu, Freya. Kau akan tahu kisahnya nanti. Setelah kau benar-benar siap.”

“Apa Sky mengatakan sesuatu tentang hubungan kita? Apa dia tahu, Sean?” Freya belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, hingga dia harus mengulang lagi. Dia sungguh ingin tahu.

“Ya— aku minta maaf. Aku mengatakannya.”

“Apa dia menyangkal anak ini?”

Sean kembali menatap wajah Freya. Kali ini lebih lama karena mobil yang mereka naiki telah tiba di rumah Freya. Tepat di depan gang yang biasa gadis itu lalui.

“Aku tahu dia pasti mengatakan itu. Terkadang aku lebih baik kehilangan bayi ini ketimbang Sky. Aku tidak butuh bayi, aku butuh dia, Sean.”

“Jangan pernah berpikir begitu, Freya. Bayangkan suatu saat dia kembali dan kalian bersatu karena bayi itu. Bukankah itu lebih baik?”

“Aku tidak tahu, apakah aku bisa bertahan selama itu, Sean? Aku tidak sekuat itu. Aku kehilangan arah sejak tahu kalau aku hamil. Aku belum siap dengan semua ini. Aku tidak pernah siap kehilangan Sky.” Lagi-lagi gadis itu menangis.

Sean tahu ini berat. Mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun, bahkan Sky pernah sempat ingin membawa Freya ke London dan hidup bersama di sana. Namun, gadis itu menolak, dia punya keluarga, dia punya tangung jawab di sini.

Kemudian, semuanya hilang begitu saja hanya karena kecerobohan mereka. Semua ini tidak sepenuhnya salah Freya. Mereka melakukannya atas dasar suka sama suka, jadi tidak ada yang benar-benar bersalah.

“Kamu ingin tahu apa yang dikatakan Sky padaku?”

Freya tidak melontarkan sepatah kata pun, tetapi dia setia menelisik sorot mata Sean, kekasih keduanya.

“Aku meminta izin menikahimu, Freya. Kalau memang dia belum siap. Aku akan menjagamu. Aku tidak akan pernah melarangmu memberikan kabar atau bertukar pesan dengannya. Itu hakmu, tapi kumohon izinkan aku berdiri di sampingmu. Menuntun langkahmu, mendorongmu untuk lebih kuat lagi, dan menarikmu dalam kehidupan yang lebih berwarna.”

Seharusnya itu sudah cukup bagi seorang wanita memercayai sebesar apa cinta Sean pada kekasihnya bukan? Akan tetapi, tidak bagi Freya. Dia memang bodoh, dia tolol dan buta hati. Dia tidak pernah bisa menilai begitu tulusnya Sean menerima dirinya.

Dia hanya tahu kalau, Sky adalah yang pertama dan terakhir untuknya. Seperti apa yang dimimpikan Sky, jika menjadi juara dunia patut diperjuangkan, maka, begitulah perasaan Freya padanya. Sky patut untuk dipertahankan sampai akhir.

“Kamu tidak perlu menjawabnya hari ini. Aku punya banyak waktu untuk menunggumu. Aku punya setumpuk kesabaran untuk menanti jawabannya, Freya,” tambah Sean. Sekali lagi dia tersenyum.

“Aku pamit. Terima kasih sudah mengantarku.” Freya memutuskan untuk tidak menanggapi pernyataan, Sean. Ia turun dan mengabaikan tubuhnya yang kembali menggigil. Hujan masih setia turun. Jas Sean juga setia memeluk tubuhnya yang terlihat kurus.

Sean menatap kepergian Freya, hatinya lara melihat kekasihnya menderita dan ringkih. “Aku akan menjagamu, Freya. Aku akan tetap bersamamu. Entah siapa yang nanti akhirnya kau pilih,” gumam Sean. Kemudian melanjutkan kembali mobilnya kembali ke rumah.

**

“Baru pulang, Kak? Ke mana aja, sih? Dari kemarin kakak nggak bisa ditelpon. Oh— Tuhan, kenapa aku punya kakak dan adik yang setiap hari kerjanya keluar rumah?” celotehan, Zi sudah memberondong kehadiran Sean.

Bahkan pria itu tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat. Tidak peduli jika pakaian sang kakak basah, Zia tetap memeluk tubuh tinggi besar Sean.

“Dasar manja.” Sean mencubit hidung adik perempuan pertamanya.

“Akh! Sakit, kakak dari mana, sih?”

“Melamar seorang wanita.”

“What?!” Zia memekik tidak percaya. Selama ini dia tidak pernah tahu kakaknya menjalin hubungan dengan seorang wanita mana pun, lalu tiba-tiba dia mengatakan barusan melamar seorang gadis?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   97 : Enam Tahun Terlewat

    Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   96 : Bertemu Kembali

    Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   95 : Kedatangan Zia

    Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   94 : Penjelasan

    Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   93 : Desas-Desus

    Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   92 : Akad Nikah

    Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   91 : Berkhianat

    "Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   90 : Demam

    Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri

  • Terpaksa Menikahi Pacar Adikku   89 : Kembali

    Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status