Sore itu, orang tua Tara, Danu dan Rina, sepakat untuk mendatangi rumah Dewa. Dengan mobil, mereka menembus jalan sempit yang hanya cukup dilewati satu kendaraan.
Danu harus beberapa kali memperlambat laju mobil, bahkan turun tangan membuka jalan saat ranting pohon dan sepeda motor yang parkir sembarangan menghalangi. "Mas, kamu yakin rumahnya Dewa di sini?" tanya Rina, ibunda Tara, matanya waswas menatap sekitar. "Iya, ini alamat yang Liora kasih," jawab Danu tanpa menoleh, tetap fokus pada kemudi. Tak lama, mereka tiba di sebuah rumah kecil yang cat temboknya tampak kusam dan mulai mengelupas. Danu mematikan mesin mobil, keduanya turun. Langkah mereka pelan tapi berat. Mereka saling berpandangan, tak bisa menyembunyikan keterkejutan melihat betapa sederhana rumah Dewa. Danu maju dan mengetuk pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Dewa muncul, hanya mengenakan kaus oblong putih yang penuh noda oli motor. Keringat masih menempel di pelipisnya. "Om, Tante? Mari masuk," sapa Dewa, wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan. Tatapan Rina langsung menyapu tubuh Dewa dari kepala hingga kaki. Pandangan Rina lalu mengarah ke dalam rumah, mencoba menilai keadaan dari balik pintu yang terbuka. Rina spontan menggeleng pelan. Sorot matanya dingin, tubuhnya menegang, jelas ia merasa sangat tak nyaman dengan kesederhanaan rumah itu. "Kami datang ke sini bukan untuk basa-basi!" bentak Danu, suaranya meledak seperti ledakan granat. Ia melangkah maju, menuding dada Dewa dengan telunjuk yang bergetar karena emosi. "Oke, Om, tenang dulu, bicaralah baik-baik, tujuan Om dan Tante datang kemari sebenarnya ada apa?" tanya Dewa ia berusaha untuk tetap tenang. Darah Danu mendidih, dadanya naik-turun menahan gejolak. Rahangnya mengencang, tangan kirinya mengepal tanpa sadar. "Kamu sudah mengahamili putri kami, adik Liora!" desak Danu sorot matanya semakin tajam. "Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" sentak Danu sekali lagi. Dewa terkejut, pikirannya limbung. Ia benar-benar tidak mengerti, bagaimana bisa ia dituduh menghamili Tara? "Om, saya tidak mengerti maksud ucapan Om. Kenapa saya yang harus bertanggung jawab?" tanyanya dengan dahi berkerut, suaranya bergetar menahan bingung. "Mungkin dengan ini kamu akan mengerti dan paham," ujar Danu sembari mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukan sebuah foto—Dewa tampak terbaring satu ranjang bersama Tara Dewa mencoba mengingat kejadian malam itu, namun ia tak bisa mengingat apapun. Yang ia ingat, paginya ia menemukan dua benda yang sepertinya milik Tara tertinggal di kamar Dewa. "Bisa-bisanya kamu melakukan hal sehina itu!" desis Rina, matanya berair oleh amarah dan kecewa. "Kami percaya pada Liora, dan lewat dia, kami percaya padamu. Tapi ini?!" "Apa kamu sudah paham sekarang?!" tanya Danu dengan sorot mata tajam. Seketika, ekspresi Dewa berubah. Matanya mengeras, rahangnya mengatup rapat, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dalam diam, tersimpan dendam yang perlahan menyala saat ingatannya kembali pada malam sebelum kejadian itu. Dengan penuh keyakinan, Dewa menjawab, "Iya Om, baiklah saya akan bertanggung jawab dan menikahi Tara." Dewa akhirnya berani mengambil sebuah keputusan besar, sebuah langkah yang akan mengubah arah seluruh hidupnya. "Kami tunggu kedatanganmu," suara Danu penuh ancaman, menusuk hingga ke tulang. "Kalau sampai kamu berbohong, kamu harus siap menanggung akibatnya. Jangan pernah sekali pun main-main dengan keluarga kami." Danu dan Rina pun berlalu pergi tanpa berpamitan. Bagi Danu, yang terpenting adalah Dewa bersedia bertanggung jawab dan menikahi Tara, meski latar kehidupan Dewa jauh bertolak belakang dengan keluarga mereka. Di balik langkahnya yang mantap, Danu menyimpan harap, semoga keputusan ini bisa menyelamatkan nama baik keluarganya. ****** Di dalam kamar, Tara sibuk mondar-mandir. Langkahnya gelisah, napasnya tak beraturan. Hatinya tak tenang. Ia berharap kebenaran akan terungkap saat kedua orang tuanya menemui Dewa. “Kak Dewa pasti akan menolak... mana mungkin dia mau dipaksa menikahiku. Dan soal kejadian semalam, aku yakin Kak Dewa bisa menjelaskan itu pada Ayah juga Mamah,” gumam Tara, suaranya nyaris berbisik, seolah meyakinkan diri sendiri. Wajahnya kembali tampak sedikit bersemangat. Ia menggenggam tangannya sendiri, seolah menarik kekuatan dari keyakinannya. Hari ini, pikirnya, semua kesalahpahaman akan segera berakhir. Ia juga berniat menemui kakaknya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sejak pagi, bayangan sang kakak belum tampak. “Tara... cepat kemari!” Suara teriakan Rina memecah keheningan. Tara tersentak. Ia segera keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan tangan gemetar dan jantung berdegup liar. Langkahnya limbung, tapi dipaksakan. Ayah dan Mamah pasti akan minta maaf... karena sudah salah menuduhku, batinnya, masih mencoba berharap. Sesampainya di ruang keluarga, ia melihat raut wajah kedua orang tuanya yang tegang. Sorot mata mereka tajam, penuh ketegangan yang menambah kecemasan dalam diri Tara. “Dewa bersedia bertanggung jawab. Secepatnya kalian akan segera menikah,” ujar Danu, suaranya datar, namun tajam seperti pisau. “Apa?” ujar Tara, terkejut setengah mati. Tubuhnya langsung terjatuh di sofa, seolah seluruh tenaganya menguap begitu saja. Nafasnya tercekat, matanya membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin? Dewa bersedia menikahinya? Ia menampar pelan kedua pipinya, berkali-kali, mencoba memastikan dirinya tidak sedang bermimpi buruk. “Gak! Aku gak mau nikah, Ayah! Aku mau kuliah… aku mau menata mimpiku!” teriak Tara, suaranya bergetar, penuh kepedihan. “Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga! Sekarang kamu menolak untuk menikah? Kamu mau semua orang tahu aibmu?” bentak Rina, nadanya tajam, tak memberi ruang untuk dibantah. “Sia-sia Ayah mendidikmu, menyekolahkanmu... Tapi sekarang kamu hamil dengan seorang pria miskin,” ujar Danu lantang, meluapkan kekecewaan yang selama ini ditahan. Tara terdiam. Tak bergeming. Air matanya jatuh perlahan, satu-satu, hingga menjadi deras. Ia ingin berteriak. Ingin mengatakan kalau ia tidak hamil. Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu… tak ada yang mau mendengar. Perlahan, ia bangkit. Langkah kakinya lunglai, tak bertenaga. Ia kembali ke kamarnya, meninggalkan ruang tamu yang masih diselimuti amarah. Di dadanya, rasa kesal, marah, bingung, dan luka bercampur jadi satu. “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” gumam Danu pelan, tapi cukup jelas untuk membuat langkah Tara makin gontai.Suasana di pemakaman mulai sepi. Dewa dan Tara bergegas turun dari mobil, langkah mereka cepat, hampir tak terdengar di antara deru angin sore yang menggoyang dedaunan. Mereka mendekati makam Abimana, yang dikubur di samping makam ibunda Dewa dan makam adik Abimana."Di sebelah kanan makam, Mamah. Di sebelah kiri, adik Ayah… Arman, yang sebenarnya Ayah kandungku," ujar Dewa pelan, nyaris seperti bisikan yang pecah di udara sunyi.Tara menatap ketiga makam tersebut, makam yang memiliki cerita juga hubungan erat, cinta segitiga yang berakhir dengan kematian.Sulit dibayangkan bagaimana perasaan Dewa saat tahu bahwa dirinya adalah anak hasil perselingkuhan ibunya sendiri dengan adik iparnya. Tara bisa merasakan luka itu, terbungkus dalam diam Dewa yang terlihat tenang, tapi penuh gejolak."Kenapa aku merasa Pak Abimana sangat menyayangi Kak Dewa..." ucap Tara, setengah bertanya."Itu hanya perasaanmu saja," jawab Dewa, cepat dan datar, seperti ingin segera mengakhiri topik itu.Terlalu s
Mereka adalah orang tua Tara, juga Liora sang kakak. Tatapan mereka terlihat bingung melihat Tara berada di kediaman rumah Abimana, rekan bisnis Danu, ayah Tara."Sedang apa kamu di rumah Pak Abimana?" tanya Danu dengan nada datar namun penuh tanya."Aku tinggal di sini, Ayah," jawab Tara dengan tenang.Kening kedua orang tua Tara mengerut dalam. Mereka saling menatap, seolah tak percaya dengan ucapan putri mereka. Bagi mereka, Tara seperti sedang berhalusinasi."Jangan mengada-ada, Tara. Ini rumah Pak Abimana. Ada hubungan apa kamu dengan Pak Abimana sampai bisa tinggal di sini?" Danu kembali bertanya, suaranya mulai meninggi."Pak Abimana itu ayahnya Kak Dewa," jawab Tara, tenang namun pasti.Kedua orang tua Tara mendengus tak percaya. Liora tertawa pelan, penuh ejekan, seolah Tara baru saja mengarang cerita."Halusinasi kamu tinggi, Tara. Bagaimana mungkin Pak Abimana, pemilik perusahaan elektronik terbesar, adalah ayahnya Dewa?" sahut Liora mencibir.Tatapan mata Tara berubah taja
"Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.
"Benda itu milik Kak Liora. Aku ke rumah Kak Dewa demi dia, agar Kak Dewa mau bertanggung jawab."Tara duduk di pinggir ranjang, benaknya kembali mengulas pertengkaran terakhir dengan Liora sebelum malam kejadian. Senyum kecut muncul di wajah Dewa. Ia sempat menahan tawa saat Tara dengan penuh kesungguhan meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Liora."Kalau benda itu memang ada di tangan Kak Dewa, kenapa Kak Dewa gak bilang ke Ayah sama Mamah? Jelaskan kalau tespek dan foto USG itu bukan milikku, tapi milik Kak Liora," ucap Tara, sorot matanya penuh tanya dan kekecewaan."Kenapa malah menerima? Yang seharusnya Kak Dewa nikahi itu Kak Liora, bukan aku. Aku bahkan sama sekali gak hamil," lanjutnya, suaranya bergetar menahan gejolak."Aku lebih memilih menikahimu daripada menikahi Liora," jawab Dewa santai, senyum kecut masih bertahan di wajahnya.Tara berdiri, napasnya memburu, hatinya makin tak mengerti arah pemikiran Dewa. Dengan geram, ia meraih kerah kemeja Dewa, meremasnya deng
"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan."Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya."Jadi bener kamu mau c
"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian."Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar."Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. S