Share

Bab 2

Penulis: Nona Squerpants
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-05 15:14:04

Sore itu, orang tua Tara, Danu dan Rina, sepakat untuk mendatangi rumah Dewa. Dengan mobil, mereka menembus jalan sempit yang hanya cukup dilewati satu kendaraan. 

Danu harus beberapa kali memperlambat laju mobil, bahkan turun tangan membuka jalan saat ranting pohon dan sepeda motor yang parkir sembarangan menghalangi.

"Mas, kamu yakin rumahnya Dewa di sini?" tanya Rina, ibunda Tara, matanya waswas menatap sekitar.

"Iya, ini alamat yang Liora kasih," jawab Danu tanpa menoleh, tetap fokus pada kemudi.

Tak lama, mereka tiba di sebuah rumah kecil yang cat temboknya tampak kusam dan mulai mengelupas. Danu mematikan mesin mobil, keduanya turun. Langkah mereka pelan tapi berat. Mereka saling berpandangan, tak bisa menyembunyikan keterkejutan melihat betapa sederhana rumah Dewa.

Danu maju dan mengetuk pintu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Dewa muncul, hanya mengenakan kaus oblong putih yang penuh noda oli motor. Keringat masih menempel di pelipisnya.

"Om, Tante? Mari masuk," sapa Dewa, wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan.

Tatapan Rina langsung menyapu tubuh Dewa dari kepala hingga kaki. Pandangan Rina lalu mengarah ke dalam rumah, mencoba menilai keadaan dari balik pintu yang terbuka. Rina spontan menggeleng pelan. Sorot matanya dingin, tubuhnya menegang, jelas ia merasa sangat tak nyaman dengan kesederhanaan rumah itu.

"Kami datang ke sini bukan untuk basa-basi!" bentak Danu, suaranya meledak seperti ledakan granat. Ia melangkah maju, menuding dada Dewa dengan telunjuk yang bergetar karena emosi. 

"Oke, Om, tenang dulu, bicaralah baik-baik, tujuan Om dan Tante datang kemari sebenarnya ada apa?" tanya Dewa ia berusaha untuk tetap tenang.

Darah Danu mendidih, dadanya naik-turun menahan gejolak. Rahangnya mengencang, tangan kirinya mengepal tanpa sadar.

"Kamu sudah mengahamili putri kami, adik Liora!" desak Danu sorot matanya semakin tajam.

"Kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!" sentak Danu sekali lagi.

Dewa terkejut, pikirannya limbung. Ia benar-benar tidak mengerti, bagaimana bisa ia dituduh menghamili Tara?

"Om, saya tidak mengerti maksud ucapan Om. Kenapa saya yang harus bertanggung jawab?" tanyanya dengan dahi berkerut, suaranya bergetar menahan bingung.

"Mungkin dengan ini kamu akan mengerti dan paham," ujar Danu sembari mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukan sebuah foto—Dewa tampak terbaring satu ranjang bersama Tara

Dewa mencoba mengingat kejadian malam itu, namun ia tak bisa mengingat apapun. Yang ia ingat, paginya ia menemukan dua benda yang sepertinya milik Tara tertinggal di kamar Dewa.

"Bisa-bisanya kamu melakukan hal sehina itu!" desis Rina, matanya berair oleh amarah dan kecewa. "Kami percaya pada Liora, dan lewat dia, kami percaya padamu. Tapi ini?!"

"Apa kamu sudah paham sekarang?!" tanya Danu dengan sorot mata tajam.

Seketika, ekspresi Dewa berubah. Matanya mengeras, rahangnya mengatup rapat, ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dalam diam, tersimpan dendam yang perlahan menyala saat ingatannya kembali pada malam sebelum kejadian itu.

Dengan penuh keyakinan, Dewa menjawab, "Iya Om, baiklah saya akan bertanggung jawab dan menikahi Tara."

Dewa akhirnya berani mengambil sebuah keputusan besar, sebuah langkah yang akan mengubah arah seluruh hidupnya.

"Kami tunggu kedatanganmu," suara Danu penuh ancaman, menusuk hingga ke tulang. "Kalau sampai kamu berbohong, kamu harus siap menanggung akibatnya. Jangan pernah sekali pun main-main dengan keluarga kami."

Danu dan Rina pun berlalu pergi tanpa berpamitan. Bagi Danu, yang terpenting adalah Dewa bersedia bertanggung jawab dan menikahi Tara, meski latar kehidupan Dewa jauh bertolak belakang dengan keluarga mereka. Di balik langkahnya yang mantap, Danu menyimpan harap, semoga keputusan ini bisa menyelamatkan nama baik keluarganya.

******

Di dalam kamar, Tara sibuk mondar-mandir. Langkahnya gelisah, napasnya tak beraturan. Hatinya tak tenang. Ia berharap kebenaran akan terungkap saat kedua orang tuanya menemui Dewa.

“Kak Dewa pasti akan menolak... mana mungkin dia mau dipaksa menikahiku. Dan soal kejadian semalam, aku yakin Kak Dewa bisa menjelaskan itu pada Ayah juga Mamah,” gumam Tara, suaranya nyaris berbisik, seolah meyakinkan diri sendiri.

Wajahnya kembali tampak sedikit bersemangat. Ia menggenggam tangannya sendiri, seolah menarik kekuatan dari keyakinannya. Hari ini, pikirnya, semua kesalahpahaman akan segera berakhir. Ia juga berniat menemui kakaknya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sejak pagi, bayangan sang kakak belum tampak.

“Tara... cepat kemari!”

Suara teriakan Rina memecah keheningan. Tara tersentak. Ia segera keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan tangan gemetar dan jantung berdegup liar. Langkahnya limbung, tapi dipaksakan.

Ayah dan Mamah pasti akan minta maaf... karena sudah salah menuduhku, batinnya, masih mencoba berharap.

Sesampainya di ruang keluarga, ia melihat raut wajah kedua orang tuanya yang tegang. Sorot mata mereka tajam, penuh ketegangan yang menambah kecemasan dalam diri Tara.

“Dewa bersedia bertanggung jawab. Secepatnya kalian akan segera menikah,” ujar Danu, suaranya datar, namun tajam seperti pisau.

“Apa?” ujar Tara, terkejut setengah mati.

Tubuhnya langsung terjatuh di sofa, seolah seluruh tenaganya menguap begitu saja. Nafasnya tercekat, matanya membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin? Dewa bersedia menikahinya? Ia menampar pelan kedua pipinya, berkali-kali, mencoba memastikan dirinya tidak sedang bermimpi buruk.

“Gak! Aku gak mau nikah, Ayah! Aku mau kuliah… aku mau menata mimpiku!” teriak Tara, suaranya bergetar, penuh kepedihan.

“Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga! Sekarang kamu menolak untuk menikah? Kamu mau semua orang tahu aibmu?” bentak Rina, nadanya tajam, tak memberi ruang untuk dibantah.

“Sia-sia Ayah mendidikmu, menyekolahkanmu... Tapi sekarang kamu hamil dengan seorang pria miskin,” ujar Danu lantang, meluapkan kekecewaan yang selama ini ditahan.

Tara terdiam. Tak bergeming. Air matanya jatuh perlahan, satu-satu, hingga menjadi deras. Ia ingin berteriak. Ingin mengatakan kalau ia tidak hamil. Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu… tak ada yang mau mendengar.

Perlahan, ia bangkit. Langkah kakinya lunglai, tak bertenaga. Ia kembali ke kamarnya, meninggalkan ruang tamu yang masih diselimuti amarah. Di dadanya, rasa kesal, marah, bingung, dan luka bercampur jadi satu.

“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” gumam Danu pelan, tapi cukup jelas untuk membuat langkah Tara makin gontai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 65

    Tara dan Dewa baru saja tiba di rumah. Belum sempat Tara turun, dari balik kaca mobil, ia melihat Mang Diman berlari tergesa-gesa menuju dalam rumah. Raut wajahnya tampak panik. Seketika Tara membuka pintu dan melompat turun, diikuti Dewa dari sisi lain."Mang Diman... Tunggu! Ada apa?" teriak Tara sambil berlari mengejar Mang Diman.Mang Diman menghentikan langkahnya, menoleh dengan napas memburu. Ia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya bersuara."Itu... Non Liora sejak tadi dipanggil nggak nyaut-nyaut. Pintu kamarnya dikunci dari dalam, kunci cadangannya juga nggak ada. Tuan Danu minta pintunya didobrak," ujarnya terbata.Tara terpaku, matanya menoleh cepat ke arah Dewa, penuh tanya dan cemas. Mang Diman kembali berlari ke dalam rumah, menuju kamar Liora."Apa yang terjadi sama Kak Liora? Aku takut..." gumam Tara pelan.Dewa menggenggam lengan Tara, menenangkan. "Semoga nggak ada hal buruk... Ayo, kita masuk sekarang."Tanpa buang waktu, keduanya bergegas masuk dan menaiki tan

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 64

    Liora kini sudah berada di dalam mobil bersama Adit, pengawal setia Dewa. Di dalam kabin yang sunyi itu, Liora terus menangis terisak. Air matanya tak henti mengalir, membasahi pipi yang pucat. Ia merasa tubuhnya kotor, ternoda, setelah disentuh oleh Samuel.Namun, ada yang terus mengganjal di benak Adit. Pandangannya sesekali melirik ke arah perut Liora yang tampak menonjol. Ia menyadari sesuatu yang tak biasa, Liora lupa mengenakan korset dan jaket bombernya seperti biasanya.“Nona, maaf jika saya lancang… apakah Nona sedang hamil?” tanya Adit dengan suara hati-hati, nyaris seperti bisikan.Liora tersentak. Manik matanya langsung menunduk, menatap perutnya sendiri. Ia terdiam. Nafasnya tercekat, menyadari kelalaiannya.Ia menarik napas panjang, kasar, mencoba menguasai kegelisahan yang mendadak menyeruak. Percuma mengelak. Perutnya kini sudah terlalu jelas untuk disembunyikan.“Sebenarnya… aku hamil delapan bulan,” ucap Liora lirih, matanya masih sembab. “Tapi aku mohon, jangan kata

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 63

    "Pak Dewa?”Suara Yasmin menyentak kesadaran Dewa. Ia tak menduga akan bertemu dengan Yasmin di sini. Sekilas, Dewa melirik Adit, bingung harus berkata apa. Bibirnya sempat terbuka, namun tak ada kata yang keluar.“Pak Dewa tinggal di apartemen ini juga?” tanya Yasmin, matanya memandang heran.“Oh, nggak… aku cuma sedang mencari seseorang di sini,” jawab Dewa cepat, suaranya terdengar ragu dan sedikit terbata.“Seseorang? Siapa kira-kira? Barangkali orang yang Pak Dewa cari itu malah tetangga sebelah apartemenku,” sahut Yasmin, nada suaranya ramah, namun menyiratkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.Dewa terdiam. Ia seperti terjebak di antara dua jurang. Kalau ia mengatakan yang sebenarnya, Yasmin pasti akan terkejut. Tapi kalau ia menyembunyikannya pun, Yasmin tetap akan tahu. Padahal ia datang ke sini hanya untuk satu tujuan, membawa Liora pulang demi Tara. Tapi sekarang, semuanya menjadi lebih rumit.“Sebenarnya… aku mencari Samuel,” ucap Dewa akhirnya, memilih untuk juju

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Ban 62

    "Kak... apa Kak Liora akan baik-baik aja, kenapa aku merasa khawatir Kak Liora bersama Samuel," ujar Tara.Dewa melepas jasnya, lalu duduk disamping Tara, mengusap lengan Tara, memberinya ketenangan agar Tara tidak berlebihan mencemaskan Liora."Aku yakin, Liora pasti akan baik-baik saja, Samuel nggak akan berani menyakiti Liora apalagi Liora sedang mengandung anaknya," ujar Dewa."Kalau kamu masih belum tenang, aku akan suruh Adit untuk memantau Liora," sambung Dewa.Tara mengangguk pelan, Dewa lantas mengetikan pesan pada nomor Adit untuk mengawasi Liora, di apartemen Samuel. Saat mendapat balasan pesan dari Adit, Dewa memperlihatkan layar ponselnya. Seketika itu juga Tara bisa bernafas lega."Makasih Kak Dewa," ujar Tara seraya menyandarkan kepala di pundak Dewa."Jangan memancingku, ini masih sore," ujar Dewa dengan mata genitnya.Tara beranjak dan bergeser sedikit menjauh dari Dewa, "Kak Dewa apaan sih..." ujar Tara wajahnya seketika memerah."Ayo kita bikin baby?" ujar Dewa ser

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 61

    "Kak Liora, udah sampai di depan mini market, silakan turun," ujar Tara sambil menoleh ke belakang.Liora hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk meramu alasan lain, apapun, asalkan bisa terus berada di dekat Dewa. Waktunya tak banyak, tapi hatinya menolak berpisah sekarang.Tara dan Dewa mulai gelisah. Kekesalan mereka perlahan berubah menjadi amarah, melihat Liora masih enggan keluar dari mobil."Kenapa bengong? Cepat keluar, jangan buang-buang waktu kami," bentak Dewa, nadanya meninggi, tak bisa lagi menyembunyikan emosi."Ah ini... kayanya aku lupa bawa dompet," gumam Liora pelan, nyaris tak terdengar.Dewa menggeram. Tangan kirinya menghantam stir keras-keras, membuat suara dentuman menggema dalam kabin mobil. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras. Tara pun ikut naik pitam, merasa waktunya sengaja dihabiskan untuk hal yang tak perlu."Kak Liora gimana sih? Masa kita harus balik lagi ke rumah," sungut Tara, nada suaranya tak kalah kesal."Dewa... aku pinjam dulu uangmu

  • Terpaksa Menikahi Pacar Kakak   Bab 60

    Dewa?” ujar Danu, terdengar sedikit terkejut.Dewa menunduk, lalu mencium punggung tangan ayah mertuanya. Sebuah senyum canggung tergurat di sudut bibirnya. Ada rasa segan, juga malu, yang jelas tergambar dari sorot matanya saat berhadapan dengan ayah Tara.“Ayah… aku kemari ingin menjemput Tara,” ucap Dewa dengan nada lirih.Danu menghela napas panjang. Ia menepuk lembut pundak Dewa, lalu memberi isyarat untuk masuk ke dalam rumah. Danu tahu, sesuatu tengah terjadi di antara Dewa dan Tara. Namun, sejak kesalahpahaman terakhir dengan Tara, Danu tak ingin lagi terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga putrinya. Ia belajar untuk bersikap lebih bijak, lebih menjaga jarak, tanpa mengabaikan.“Duduklah dulu. Kita minum teh atau kopi sebentar,” ujar Danu, menawarkan dengan nada tenang.Dewa tak bisa menolak. Ia hanya mengangguk kecil, menyambut tawaran itu dengan senyum yang tampak kaku. Mereka lalu duduk berdua di ruang tamu, dalam suasana yang sedikit kikuk.Dari lantai atas, Tara mempe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status