"Kenapa hidupku jadi begini?!"
Tara berteriak sekuat tenaga di dalam kamarnya. Dadanya sesak, pikirannya penuh tanda tanya yang tak terjawab. Semuanya terjadi begitu cepat, membingungkan, dan terasa amat tidak masuk akal. Tak pernah sekalipun ia bayangkan akan menikah dengan pacar kakaknya sendiri. Apalagi ketika hatinya baru saja mulai dekat dengan seseorang yang diam-diam ia kagumi sejak SMA. "Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus bicara sama Kak Liora. Dia yang harus tanggung jawab atas semua kekacauan ini," gumam Tara, suaranya bergetar, penuh amarah. Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil. Tara cepat-cepat mengintip dari balik tirai jendela. Sebuah mobil merah meluncur masuk dan berhenti di halaman rumah. Tak menunggu lama, Tara bergegas keluar kamar. Langkahnya terburu-buru menuju kamar sang kakak yang baru saja tiba. Tanpa mengetuk, pintu kamar itu langsung didorong terbuka dengan kasar. "Kak Liora!" seru Tara, nadanya tinggi dan penuh emosi. Ia berdiri tegak di depan kakaknya, matanya menusuk, menatap lurus ke manik mata Liora. Nafasnya memburu, dadanya naik turun, siap meledak kapan saja. "Apa maksud Kakak bilang ke Mamah kalau aku hamil?!" bentaknya. "Itu tespek milik Kakak! Kakak yang kasih ke Mamah, kan?!" Liora hanya diam. Ia menatap Tara dengan malas, tanpa ekspresi. Gerakan matanya yang lamban justru membuat darah Tara mendidih. Tanpa berpikir panjang, Tara menjambak rambut Liora kuat-kuat. "Gara-gara Kakak, aku dinikahkan paksa sama Kak Dewa!" suaranya meninggi, tangannya mengencangkan jambakannya. Liora meringis kesakitan. "Lepasin, Tara!" "Apa salah aku kak? Tolong bilang ke mamah sama Ayah, yang sebenarnya hamil itu kakak, aku gak mau nikah, kak, aku mau kuliah dan kejar mimpiku," cerocos Tara terbata, suaranya mulai pecah, tapi kemarahannya belum padam. Namun Liora tetap bergeming. Dengan kasar, ia menggenggam lengan Tara dan mendorongnya keluar kamar. Pintu pun ditutup keras seolah menutup semua harapan Tara terus menggedor-gedor pintu kamar Liora dari luar. Kepalan tangannya menghantam keras permukaan kayu, berkali-kali, seolah ingin menembusnya. Nafasnya memburu, dadanya masih penuh bara yang belum padam. Semua yang mengganjal di hatinya belum tuntas terluapkan. "Aku pastikan... suatu saat nanti, Kakak akan nyesal!" teriak Tara lantang, suaranya pecah oleh amarah dan luka yang menumpuk. Ia berbalik kembali ke kamar, air matanya tumpah. Perasaannya penuh amarah, kesal, dan hancur. Dalam sekejap, seluruh hidupnya terasa akan runtuh. "Apa aku harus diam dan biarkan pernikahan ini terjadi?" gumam Tara di sela isak tangisnya, suaranya nyaris tak terdengar. Tangannya meraih sebuah foto, potret dirinya yang tengah tidur dalam pelukan Dewa. Dengan gerakan kasar, ia merobek foto itu, serpihan kertas beterbangan seiring jeritannya yang pecah di udara. Lalu, tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Namun saat melihat nama yang muncul di layar, tubuhnya membeku. Air matanya jatuh semakin deras. Ia hanya bisa menatap layar itu tanpa daya, ia tak sanggup mengangkat telepon itu. "Maaf, Denis," gumam Tara membiarkan ponselnya terus berdering. ****** Hari berganti menjadi malam. Tara tertidur dengan tubuh letih, setelah seharian menangis tanpa henti. Kamarnya berantakan, dipenuhi serpihan-serpihan foto yang berserakan di lantai, barang-barang tergeletak tidak pada tempatnya, seolah mencerminkan isi hatinya yang hancur. Pintu kamar perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Rina yang berdiri di ambang pintu. Ia melangkah pelan mendekati Tara yang masih terlelap dalam lelahnya. "Tara, bangun..." bisik Rina, sambil menggoyang pelan lengan Tara. Kelopak mata Tara mulai terbuka, lambat dan berat. Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia bangkit perlahan, duduk di pinggir ranjang. "Ada Dewa di depan. Malam ini kita akan membicarakan rencana pernikahanmu," ucap Rina pelan, suaranya tenang tapi tak mampu menyembunyikan kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya. Tara memalingkan wajah, tak sanggup menatap mata Rina. Dengan gerakan tergesa, ia menyeka air mata yang masih membekas di pipi. Perlahan, jemarinya yang dingin meraih tangan Rina. "Mah… apa Mamah nggak bisa percaya sama aku? Aku nggak hamil… berapa kali aku harus bilang biar Mamah percaya…" ujar Tara memohon. Rina terdiam sejenak. Suaranya gemetar saat menjawab, "Mamah juga ingin percaya. Tapi foto-foto itu, Tara… bagaimana bisa kamu tidur dengan Dewa? Sejak kapan? Mamah benar-benar kecewa." “Mah, aku nggak ngelakuin apa-apa sama Kak Dewa. Sumpah…” ucap Tara pelan, hampir tak terdengar. Tapi Rina memotong, suaranya lebih keras dari sebelumnya. “Sudah, Tara! Mamah nggak mau dengar lagi. Sekarang cepat siap-siap.” Tanpa menoleh lagi, Rina berbalik dan pergi meninggalkan Tara dalam diam yang lebih sunyi dari sebelumnya. Tak ada lagi ruang untuk menjelaskan, tak ada yang percaya padanya. Masa depan Tara seolah terkunci rapat dalam penilaian orang-orang yang ia cintai. Tara melempar bantal dan guling ke sembarang arah, amarah dan putus asa menguasainya. Ia berteriak histeris, suara parau yang pecah di antara isak dan sesak. Ia depresi, hilang arah, tak tahu lagi harus bagaimana. Wajahnya sembab, matanya bengkak, bekas air mata mengering di pipi.Suasana di pemakaman mulai sepi. Dewa dan Tara bergegas turun dari mobil, langkah mereka cepat, hampir tak terdengar di antara deru angin sore yang menggoyang dedaunan. Mereka mendekati makam Abimana, yang dikubur di samping makam ibunda Dewa dan makam adik Abimana."Di sebelah kanan makam, Mamah. Di sebelah kiri, adik Ayah… Arman, yang sebenarnya Ayah kandungku," ujar Dewa pelan, nyaris seperti bisikan yang pecah di udara sunyi.Tara menatap ketiga makam tersebut, makam yang memiliki cerita juga hubungan erat, cinta segitiga yang berakhir dengan kematian.Sulit dibayangkan bagaimana perasaan Dewa saat tahu bahwa dirinya adalah anak hasil perselingkuhan ibunya sendiri dengan adik iparnya. Tara bisa merasakan luka itu, terbungkus dalam diam Dewa yang terlihat tenang, tapi penuh gejolak."Kenapa aku merasa Pak Abimana sangat menyayangi Kak Dewa..." ucap Tara, setengah bertanya."Itu hanya perasaanmu saja," jawab Dewa, cepat dan datar, seperti ingin segera mengakhiri topik itu.Terlalu s
Mereka adalah orang tua Tara, juga Liora sang kakak. Tatapan mereka terlihat bingung melihat Tara berada di kediaman rumah Abimana, rekan bisnis Danu, ayah Tara."Sedang apa kamu di rumah Pak Abimana?" tanya Danu dengan nada datar namun penuh tanya."Aku tinggal di sini, Ayah," jawab Tara dengan tenang.Kening kedua orang tua Tara mengerut dalam. Mereka saling menatap, seolah tak percaya dengan ucapan putri mereka. Bagi mereka, Tara seperti sedang berhalusinasi."Jangan mengada-ada, Tara. Ini rumah Pak Abimana. Ada hubungan apa kamu dengan Pak Abimana sampai bisa tinggal di sini?" Danu kembali bertanya, suaranya mulai meninggi."Pak Abimana itu ayahnya Kak Dewa," jawab Tara, tenang namun pasti.Kedua orang tua Tara mendengus tak percaya. Liora tertawa pelan, penuh ejekan, seolah Tara baru saja mengarang cerita."Halusinasi kamu tinggi, Tara. Bagaimana mungkin Pak Abimana, pemilik perusahaan elektronik terbesar, adalah ayahnya Dewa?" sahut Liora mencibir.Tatapan mata Tara berubah taja
"Suster... tolong Ayah saya."Dewa berteriak meminta bantuan para perawat, wajahnya panik, nafasnya terengah engah, ayahnya masih sempat berbicara mustahil bagi Dewa ayahnya pergi begitu saja.Tara masih di dalam ruangan, ia terus mencoba membangunkan ayah Dewa, namun tubuh itu sudah lemas dingin dan kaku. Tara tak kuasa menangis, meski ia baru pertama kali bertemu, namun kata-kata terakhir itu terngiang-ngiang dikepala.Dokter bersama perawat pun masuk, Tara menyingkir memberi ruang untuk para tenaga medis. Dokter memompa jantung ayah Dewa secara manual namun tidak ada reaksi, lalu lanjut menggunakan alat kejut jantung tetap juga tidak bereaksi."Tuan, ayah anda sudah meninggal beberapa menit yang lalu," ujar dokter dengan nada pasrah.Dewa memegangi kepalanya kuat-kuat, matanya terpejam, deru nafasnya semakin kencang, ia tampak seperti ketakutan, tak lama kemudian tubuh Dewa ambruk jatuh ke lantai."Kak Dewa!" teriak Tara, langsung berlari menghampirinya.Ia mengguncang tubuh Dewa.
"Benda itu milik Kak Liora. Aku ke rumah Kak Dewa demi dia, agar Kak Dewa mau bertanggung jawab."Tara duduk di pinggir ranjang, benaknya kembali mengulas pertengkaran terakhir dengan Liora sebelum malam kejadian. Senyum kecut muncul di wajah Dewa. Ia sempat menahan tawa saat Tara dengan penuh kesungguhan meminta pertanggungjawaban atas kehamilan Liora."Kalau benda itu memang ada di tangan Kak Dewa, kenapa Kak Dewa gak bilang ke Ayah sama Mamah? Jelaskan kalau tespek dan foto USG itu bukan milikku, tapi milik Kak Liora," ucap Tara, sorot matanya penuh tanya dan kekecewaan."Kenapa malah menerima? Yang seharusnya Kak Dewa nikahi itu Kak Liora, bukan aku. Aku bahkan sama sekali gak hamil," lanjutnya, suaranya bergetar menahan gejolak."Aku lebih memilih menikahimu daripada menikahi Liora," jawab Dewa santai, senyum kecut masih bertahan di wajahnya.Tara berdiri, napasnya memburu, hatinya makin tak mengerti arah pemikiran Dewa. Dengan geram, ia meraih kerah kemeja Dewa, meremasnya deng
"Tuan, ini dompet dan kunci mobilnya."Pria bersetelan jas hitam itu menyerahkan kunci pada Dewa. Tara mengerutkan kening. Siapa pria ini? Dan kenapa ia memanggil Dewa dengan sebutan Tuan."Hah, Tuan?" batin Tara tercekat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Lama sekali," ujar Dewa, datar, tanpa ekspresi."Maaf, Tuan. Ada sedikit masalah," jawab pria itu sopan, menunduk hormat.Tara semakin tak mengerti. Apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, semua terasa asing dan bertolak belakang dengan apa yang selama ini Liora ceritakan. Siapa sebenarnya Dewa?Black card itu diserahkan Dewa kepada pelayan. Tara tertegun. Black card? Bukankah kartu itu hanya dimiliki kalangan elit?"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan, menyerahkan kembali kartu itu dengan sopan.Tara kehilangan kata-kata. Kepalanya penuh tanya. Siapa Dewa sebenarnya?Dewa bangkit dari kursinya. Pria suruhannya sudah membawa koper Tara. Namun Tara masih terpaku, tenggelam dalam pusaran pikirannya."Jadi bener kamu mau c
"Tara, semua pakaian dan barang-barang kamu, sudah Ayah masukkan dalam koper."Ucapan Ayahnya menghantam hati Tara tanpa ampun. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap. Ia terdiam, terkejut, tak percaya. Bagaimana mungkin orang tuanya tega melakukan ini?Apakah aku diusir? Apakah aku dibuang? pikirnya kalut.Semua barangnya sudah dikemas, lengkap, tak ada yang tertinggal. Ia memandang kedua orang tuanya, matanya penuh tanya, hatinya sesak. Kenapa? Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?"Ayah, apa ini maksudnya?" tanyanya, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, seperti hendak pecah bersama tangis yang ditahannya mati-matian."Mulai detik ini kamu tinggal di rumah Dewa. Ayah sama Mamahmu gak bisa menampung kalian di rumah ini," kata Danu, datar."Tara, kamu udah buat kesalahan besar. Kamu juga udah gagal menjadi seorang anak," tambah Rina, tajam.Air mata Tara jatuh, tak bisa ditahan lagi. Ucapan kedua orang tuanya terasa seperti pisau yang menyayat hati, berkali-kali, tanpa jeda. S