“Lumayan. Perusahaan mulai stabil lagi, tapi aku masih khawatir. Aku nggak tahu keputusan ini benar atau nggak,” ucap Galih dengan suara yang nyaris tenggelam di antara desis kompor gas.
Tatapannya kosong menembus kaca jendela dapur kecil itu, tempat lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan yang samar. Di luar, hujan baru saja berhenti, meninggalkan bau tanah basah yang bercampur dengan aroma minyak panas dan bawang goreng.
Menggunakan uang di rekening Gavin untuk menyelamatkan Teknologi Prospexa adalah keputusan yang menggantung di antara dua jurang. Di satu sisi, itu bisa jadi penyelamat. Di sisi lain, bisa berubah jadi malapetaka.
Naila, yang berdiri di depan wajan, menoleh pelan. Wajahnya yang letih tersaput cahaya temaram dari lampu gantung. Ia menatap Galih dengan mata yang tenang, seolah ingin menyalurkan kekuatan dari sorotnya saja.
“Benar atau salah, itu satu-satunya jalan sekarang,” katanya lembut. “Kita jalani dul
Udara malam Jakarta terasa berat, penuh debu dan cahaya lampu kota yang berpendar seperti bara kecil di kejauhan. Dari balik jendela mobil yang meluncur di jalanan Sudirman, Emma menatap langit yang samar.Bayangan lampu gedung tinggi berganti cepat di kaca, seperti ilusi yang terus berubah bentuk. Ia menyandarkan kepala pada sandaran kursi, bibirnya bergerak hampir tanpa suara.“Aku enggak pernah nyangka bakal balik ke Jakarta.”Suara itu hanyut di antara deru mesin dan bisikan angin pendingin mobil. Tidak ada yang menjawab. Mahardika duduk di samping sopir, matanya lurus ke depan, wajahnya menegang seperti sedang menimbang sesuatu yang tak ingin ia ucapkan.Mereka berhenti di depan hotel bintang lima. Lobi dipenuhi cahaya keemasan yang berkilau, memantul dari lantai marmer yang mengilap. Seorang bellboy segera membuka pintu, menunduk hormat, dan Emma melangkah turun dengan gerakan anggun, seperti seorang ratu yang sudah terbiasa diperlakukan
“Kamu dengar, kan?” suara Naila terdengar pelan tapi tegas, seperti berusaha menahan sesuatu yang bergolak di dadanya. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya, seolah tak ingin memberi ruang untuk salah paham.“Dia akan datang minggu depan,” lanjutnya, suaranya mulai bergetar samar. “Aku akan menemuinya.”Harist, yang sejak tadi duduk di kursi rotan tua di ruang tamu rumahnya di Tebet, hanya menatap kosong beberapa detik. Di luar, hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang menembus jendela kayu.Ia menegakkan punggungnya perlahan, menatap putrinya dalam diam.Wajahnya yang biasanya ramah kini tampak tegang, garis-garis usia di sekitar matanya semakin jelas.“Apa maumu dia?” suaranya akhirnya pecah, serak, seperti keluar dari tenggorokan yang tertahan amarah bertahun-tahun.Naila menunduk, jari-jarinya meremas ujung selendangnya. “Dia ingin aku dan Jagoan pindah ke luar negeri
“Aku nggak ada urusan lain, jadi sekalian aja datang duluan,” jawab Mahardika sambil mengangkat bahu dengan santai. Gerakannya ringan, seolah kedatangannya ke kafe itu memang hal paling wajar di dunia.Matanya menatap Naila yang duduk di seberangnya, di balik meja kayu berwarna cokelat tua yang mulai pudar di tepiannya. “Jadi… kamu mau bicara soal apa?”Naila menunduk sebentar, jari-jarinya menyentuh bibir cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Ia menarik napas perlahan, lalu menghembuskannya seolah berusaha mengeluarkan semua beban yang menumpuk di dadanya.Suara riuh di sekeliling mereka—pelayan yang berlalu-lalang, denting sendok dari meja sebelah, lagu lembut yang mengalun dari speaker—semuanya terasa jauh.“Aku sudah mikir lagi tentang apa yang kamu bilang waktu itu,” katanya akhirnya, pelan namun tegas. Ia menatap Mahardika, mencoba mencari sesuatu di matanya.“Kamu benar. Bagaimanap
Udara pagi itu masih menggantung lembap ketika aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan kecil di rumah mereka. Cahaya matahari menembus jendela, menyorot meja kayu yang rapi dengan piring-piring porselen putih dan serbet bergaris biru.Di antara bunyi sendok beradu pelan dengan cangkir, suara Galih memecah keheningan.“Sayang, sepertinya aku harus ke kantor lebih awal,” katanya sambil meraih jas hitam dari sandaran kursi. “Tolong antar Jagoan ke sekolah, ya.”Naila mengangkat wajahnya dari piring, senyum tipis menggantung di bibirnya. “Tidak apa-apa, kamu berangkat saja.”“Terima kasih.”Galih menatapnya sejenak, seolah ingin menghafal wajah itu sebelum hari benar-benar dimulai. Ia lalu berbalik menuju pintu, namun langkahnya berhenti ketika terdengar suara langkah kecil tergesa di belakangnya.“Galih!”Ia menoleh. Naila datang mendekat, napasnya sedikit memburu, tan
Galih melirik jam tangannya, jarum panjang baru saja melewati angka empat. Suara detiknya terdengar jelas di antara hening yang menekan. Rapat berikutnya menunggu, dan pikirannya masih berkelindan pada percakapan barusan yang menggantung.“Aku masih ada rapat sebentar lagi. Kamu pulang dulu, ya,” ujarnya pelan.Naila menatapnya sekilas. Tatapan itu tenang di permukaan, tapi ada semburat kecewa yang menari di ujung matanya. Ia mengangguk, tanpa satu pun kata keluar dari bibirnya. Kursi bergeser, bunyinya lirih menembus keheningan ruang kerja yang beraroma kayu manis dan kopi yang mulai dingin.Langkahnya ringan, tapi langkah itu juga membawa jarak. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan gema kecil yang terasa terlalu lama bagi Galih.Beberapa menit setelahnya, suara napasnya terdengar berat. Ia merogoh saku jas, mengambil ponsel, dan tanpa pikir panjang menekan nama yang sejak tadi menghantui pikirannya: Mahardika.Nada s
Langit sore di Jakarta tampak berwarna abu-abu keemasan, seperti menahan hujan yang enggan turun.Dari cara Mahardika berbicara, dari postur tegaknya yang rapi tanpa cela, Naila tahu: anak itu bukan berasal dari kehidupan yang keras. Gerak-geriknya halus, kata-katanya terukur, dan sepatu kulitnya terlalu bersih untuk seseorang yang mengaku datang hanya “menyampaikan pesan”.“Dia hidup dengan baik,” ujar Mahardika akhirnya, setelah jeda canggung yang cukup lama. Suaranya tenang, tapi ada keraguan yang nyaris terdengar di ujung kalimatnya. Ia menunduk sedikit, menghindari tatapan Naila yang tajam dan sulit ditebak.“Hidup dengan baik, tapi tak pernah sekalipun datang mencariku.” Nada dingin itu menusuk, mengiris ruang di antara mereka yang sejak awal memang sudah penuh jarak.“Padahal cuma butuh dua jam penerbangan dari Malaysia ke Jakarta. Katanya rindu... tapi nggak pernah berbuat apa-apa untuk membuktikanny