Share

PEMBICARAAN DI BAR

Acara dinner itu sudah berakhir sejak tadi. Ke lima sahabat itu juga sudah meninggalkan ruang makan dan bersantai di pinggir kolam, membicarakan beberapa hal ringan. Salma menjadi orang pertama yang berpamitan pulang. Entah memang benar karna dia sudah mengantuk atau ada satu dan hal lainnya. Tak lama Antonio pamit juga. Tersisa Andika, Ashley dan Effendy. Namun itu juga tidak berlangsung lama karna  Andika pun berpamitan.

Ditinggal berdua, Ashley dan Effendy di telan keheningan sebentar. Bukan jenis keheningan awkward atau semacamnya, namun memang karna mereka masih menyukai hening.

"Mau berenang?" Tawar Ashley pula.

"Jangan, sudah malam. Nanti sakit." Balas Effendy dengan santai, namun efeknya membuat pipi Ashley memerah.

"Aku menginap malam ini, boleh?"

"Boleh. Kamu bisa tidur di kamar Mama."

"Aku mau tidur denganmu." Perempuan cantik itu mendekatkan dirinya pada Effendy dan mengusap rahang laki-laki itu sambil tersenyum.

"Jangan menolakku." Lanjutnya kemudian.

Chislon Abimanyu menatap mata hitam gadis di dekatnya itu lalu pada akhirnya mengangguk. "Baik, kau tidur di kamarku."

Ashley tersenyum senang.

***

Effendy baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan sehelai handuk putih melilit pinggangnya, saat dia menyadari Ashley telah berbaring di atas kamarnya dalam balutan ling*Erie, menatapnya penuh makna.

Effendy tersenyum miring, lalu melangkah masuk ke dalam walk on closet.

Tak lama kemudian dia keluar dari sana dengan memakai piyama biru navy. Melihat itu, Ashley agak kecewa karna tidak sesuai dengan ekspektasinya. Effendy naik ke atas ranjang dan mulai membuka macbooknya, tak menyadari perempuan di sampingnya mulai merasa gemas sendiri.

"Kamu tidak menghiraukanku, hm?" Tanya Ashley pula. Dia memajukan diri, meraih dan menyingkirkan MacBook milik Effendy dengan tidak melepaskan tautan mata mereka. Sesaat kemudian Ashley merunduk dan menautkan bibir keduanya. Effendy membalasnya dengan baik. Tak lama kemudian, saat dia memiringkan kepala, perempuan itu sudah berada dalam rangkulannya. Dua sejoli yang sudah sama-sama dewasa itu berc*man selama beberapa saat sampai pada titik kancing piyama Effendy sudah terbuka separuh. Dan kemudian....Ashley merasakan Effendy melepaskan tangannya, mengakhiri tautan bibir mereka. Keduanya bersitatap dengan napas yang masihs sama-sama memburu.

"Do it." Bisik Ashley dengan suara penuh hasrat dan damba. Chislon Abimanyu tersenyum pelan. Alih-alih melakukan sentuhan lainnya, dia mengusap rambut Ashley yang sempat berantakan karna ulah mereka berdua.

"Sejak kapan, hm?" Tanya Chislon dengan suara rendah.

Ashley Bimantara mengerutkan keningnya. "Apa, mi amor?"

"Apa pergaulan di Boston yang membuatmu seberani ini?"

Chislon cukup mengenal Ashley sebelum wanita itu pindah ke Boston. Dia tipe perempuan terhormat yang tidak akan memancing hal seperti ini lebih dulu.

Wanita yang masih duduk di pangkuannya itu pelan-pelan menyingkir ke samping. "Ya, kita sudah sama-sama dewasa, aku rasa ini bukan hal yang penting untuk di bahas."

"Sudah berapa pria?" Abimanyu sungguh tak ingin mengucapkan itu, namun entah mengapa hatinya terasa panas membayangkan Ashley masuk pada pergaulan bebas dan berkencan dengan banyak pria.

"Aku berkencan dengan banyak pria di Boston, Mi Amor."

Chislon merasa moodnya berantakan seketika. Dia bangkit tempat tidur. "Istirahatlah. Aku ingin keluar sebentar. Aku tidak ingin di ganggu." Dengan kancing piyama yang masih berantakan, Effendy meninggalkan Ashley yang menatapnya tidak mengerti dan juga ada sedikit kabut rasa bersalah di matanya.

***

Chislon bermaksud menuju pintu samping yang menghubungkan dengan taman untuk merokok di sana. Dia bukan seorang pemadat, namun di saat-saat dimana pikirannya tertekan atau stress dia akan mencari rokok.

Laki-laki itu sesaat terdiam saat melihat Ele duduk di atas kursi taman malam-malam, dengan sesuatu di pangkuannya. Apa itu laptop?

Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Effendy bergerak mendekat.

"Jadi, apa yang membuatmu bisa berada di taman pada malam-malam begini?"

Sapaan Chislon membuat Ele tersentak dan secara otomatis langsung menutup laptopnya, memancing Chislon menyipitkan matanya dengan curiga.

"Anda mengagetkan saya Tuan." Balas Ele sembari mengelus dadanya sekilas. Gadis itu mengenakan piyama  satin berwarna putih di lapisi dengan sweater wol. 

"Jawab saja pertanyaanku."

Ele tak langsung menjawab, matanya tak sengaja melirik pada sebatang ranting rokok yang terselip di antara jari tangan kanan Chislon. Bibirnya secara refleks bertanya. "Anda merokok Tuan?"

"Menurutmu?" Balas Effendy dengan malas. "Jawab pertanyaanku, apa yang kau lakukan disini malam-malam?"

"Aku... Sedang melakukan beberapa pekerjaan."

"Pekerjaan?" Alis tebal laki-laki tampan di hadapan Ele itu terangkat. Dia terdiam sebentar. Lalu kemudian tanpa di duga Effendy mengambil tempat di samping Ele, meski memang dia cukup mengambil jarak.

"Dimana Maritha? Seharusnya dia disini."

"Maritha ada di kamarnya, Tuan. Saya yang memintanya untuk meninggal kan saya sendiri. Jikalau perlu, saya akan menelpon dia."

Chislon tak menyahut. Dia memandangi rokoknya sebentar. "Jadi, bagaimana rasanya tinggal di rumah ini sebagai istriku?"

Eleanor tahu kalau Chislon sedang sarkas.

"Saya cukup nyaman dan sangat terbantu. Terimakasih, Tuan."

Effendy menoleh dan memperhatikan wajah Eleanor secara terang-terangan, dengan pandangan menilai. Gadis itu sendiri diam-diam harus menelan ludah. Dia mengakui bahwa Chislon memang semempesona itu. Eleanor mengakui bahwa laki-laki di sampingnya itu terlihat semakin s*ksi dengan rambut yang agak kucai dan kancing piyama yang terbuka, mengekspos separuh dadanya yang bidang.

"Kau tidak marah?" Tanya Effendy setelah memperhatikan wajah 'istrinya' selama beberapa saat.

Eleanor bereaksi dengan mengerutkan kening. "Marah untuk apa?"

"Aku menikahimu namun tidak memperlakukanmu selayaknya seorang istri."

"Kita menikah tanpa komitmen dan cinta, kurasa kita sudah tahu ini sejak awal, Tuan. Aku juga mengerti bahwa Tuan melakukan ini semua karna pesan Nyonya Thesa. Tetapi sungguh, Tuan tidak perlu melakukannya jika Tuan tidak ingin. Jika Anda merasa bertanggungjawab atas kelumpuhan ku, maka jika aku sudah sembuh, aku akan meninggalkan pernikahan ini agar Anda dapat menjalani kehidupan yang seharusnya, seperti yang Tuan Chislon impikan."

Effendy Chislon Abimanyu menyugar rambutnya dan tersenyum miring, kepalanya melihat ke langit yang penuh bintang.

"Apa teman-teman Tuan sudah pulang?"

Pertanyaan Ele yang tiba-tiba membuat Chislon mengerutkan kening sebentar. "Tidak, ada satu yang tidak pulang."

"Kurasa dia sedang berdiri di sana dan memperhatikan Anda,"

Ucapan Ele membuat Chislon mengikuti arah pandangnya. Dia mendapati Ashley, berdiri di teras samping menuju taman, masih memakai lingerie tapi kali ini di lapisinya dengan jaket kebesaran milik Chislon.

Effendy berdiri dari duduknya, lalu meninggalkan Ele dan berjalan menuju teras samping, menghampiri wanita itu.

"Siapa perempuan itu?" Tanya Ashley dengan raut beku ketika Effendy menghampirinya. Entah mengapa Effendy merasa puas menyaksikan raut cemburu dari tatapan Ashley.

"Bukan siapa-siapa." Sahut Effendy sekenanya terus melangkah masuk. Ashley menyusul dengan terburu-buru.

"Begitu, Chislon? Kau bahkan menyimpan perempuan di rumahmu sekarang?" Tudingnya dengan kecewa. Laki-laki blasteran Perancis Indonesia itu tak menjawab, terus melangkah menuju ruang kerjanya. Sulung Bimantara mengejarnya  dengan kesal karna harus mengimbangi langkah panjang tunggal Abimanyu itu.

"Kau tidak mencintaiku?"

Pertanyaan sederhana itu menghentikan gerak tangan Effendy yang sudah memutar snop pintu ruang kerjanya. Dia memejamkan matanya sebentar lalu membalik menghadap Ashley Bimantara. Laki-laki tersenyum tipis dan mengusap wajah wanita di hadapannya.

"Aku mencintaimu. Tapi izinkan aku untuk memiliki waktuku sendiri. Kembali dan beristirahatlah di kamarku."

"Siapa perempuan itu?"

"Bukan siapa-siapa saja, hanya seseorang dimana aku berhutang Budi."

Habis mengucapkan itu Effendy masuk ke dalam ruang kerjanya dan menutupnya dari dalam. Ketika Ashley mencoba memutar snop pintunya, itu ternyata di kunci dari dalam. Wanita itu mendengus kesal. Dia berbalik dari sana dan kembali menuruni tangga. Namun ketika dia tiba di teras samping, gadis itu lenyap. Dia tak melihatnya di manapun. Ke adaan rumah pun telah sunyi sepi. Para maid telah beristirahat. Dengan kekesalan yang tak terlampiaskan, gadis itu melangkah menaiki tangga menuju kamar Effendy.

***

"Siapa perempuan itu?"

Maritha memperhatikan Ele yang dengan tenang menyimpan laptopnya di atas meja. Tadi gadis itu menelponnya untuk meminta di antarkan balik ke kamar.

"Dia Nona Ashley, perempuan yang paling dekat dengan Tuan selama ini." Jawab Maritha pelan dan tidak enak. Biar bagaimanapun, Eleanor berstatus istri dari Chislon Abimanyu.

"Dia cantik." Gumam Ele pula. Meski hanya melihat dari kejauhan, Eleanor dapat melihat betapa berkilaunya kulit perempuan itu. Berbeda dengan dirinya yang memiliki kulit kuning langsat.

"Apa dia kekasih Tuan?" Tanya Ele pula.

Maritha mengangkat bahu. "Sepertinya begitu, Nona."

"Mereka tidur bersama?"

Maritha menelan ludah. "Saya kurang tahu, Nona."

Eleanor tertawa. "Tidak usah tegang, Rit. Aku hanya bertanya."

"Nona tidak apa-apa?" Tanya Maritha hati-hati.

"Tidak, sejak awal, pernikahan ini hanyalah sebuah status semata." Jawab Ele enteng. Dia pelan-pelan menurunkan kakinya dari kursi roda, saat Maritha bergerak hendak membantu, Ele melambaikan tangannya menolak. Dia berhasil memindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur meski dengan ringisan di wajah.

"Kamu bisa pergi, Rit. Istirahatlah."

Maritha menunduk sedikit. "Baik Nona."

Di tinggal oleh salah satu pelayan pribadinya itu, Ele mencoba memejamkan mata dan tidur.

***

Hari-hari berjalan sebagaimana biasanya. Ele masih rutin melakukan aktivitasnya, dan juga melakukan terapi berjalan setiap hari. Sedikit demi sedikit perkembangannya sudah mulai terlihat. Sementara Effendy, semenjak malam itu semakin jarang berada di rumah. Dia semakin sering keluar kota atau keluar negeri dan menyibukkan diri dengan urusan bisnisnya.

"Sebenarnya mereka itu suami istri atau bukan sih?"

Ele mendengar bisik-bisik saat dia sedang membawa kursi rodanya keluar kamar, dua orang maid yang sedang mengelap perabotan berghibah ria tanpa menyadari kehadiran Eleanor.

"Iya, bahkan mereka tidak tidur sekamar." Balas maid kedua.

"Apa Tuan Chislon tidak berselera karna istrinya lumpuh? Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa bisa Tuan Muda kita yang sesempurna itu bisa menikahi wanita lumpuh? Dia memang cantik, tapi kurasa tidak akan cukup baik untuk mengimbangi Tuan Muda."

Meskipun menyadari bahwa pernikahan mereka hanyalah sementara, tak urung Ele merasakan sesuatu yang ngilu menikam dadanya mendengar ucapan para maid itu.

Saat itu, Maritha muncul dari arah dapur dan agak terkejut melihat kehadiran Nonanya di sana. Padahal dia sudah siap membawakan Pai apel untuk Ele.

"Nona, Anda hendak kemana?"

Pertanyaan Maritha membuat dua maid yang asyik bergosip tadi tersentak dan menoleh ke belakang, menyaksikan Eleanor yang menatap mereka dalam diam. Wajah keduanya serta Merta memucat.

Ele mengalihkan pandangannya pada Maritha lalu tersenyum seolah tidak terjadi apapun.

"Aku hanya ingin ke taman."

Taman. Tempat andalan yang disukai oleh Ele. Rasanya dari semua bagian kediaman ini, Eleanor hanya menyukai taman.

"Mari saya antar." Maritha cepat-cepat mengembalikan Pai apel di tangannya lalu bergerak gesit mendorong kursi roda Ele menuju taman, meninggalkan dua maid yang mulai ketar-ketir.

Sesampainya di taman, Ele hanya melamun, tak mengucapkan apapun. Maritha tak berani mengusiknya dan hanya berani berdiri diam di sekitarnya.

"Selamat pagi,"

Sapaan ceria itu menarik Eleanor dari lamunannya. Dia reflek menoleh, melihat Andika Syalendra berdiri di sana dengan kotak medisnya. Kali ini laki-laki berwajah oriental itu memakai jas dokternya.

"Selamat pagi, maaf aku tidak menyadari kedatanganmu." Balas Ele mencoba tersenyum.

"Jadi bagaimana? Apakah sudah ada kemajuan?"

Eleanor mengangguk. "Ya. Mau lihat?"

"Tentu saja."

Eleanor pelan-pelan berdiri di atas kursinya. Meski masih cukup susah, namun dia berhasil melakukannya sendiri, kemudian dengan sedikit perjuangan, gadis itu menyeret kakinya menuju dimana dokter Syalendra berdiri. Baru separuh jalan, Ele meringis, dia tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Maritha bereaksi, namun kalah cepat dengan sang dokter. Andika bergerak cepat dan menahan pinggang Eleanor.

"Tak apa, pelan-pelan saja." Ucap Andika sembari tersenyum yang dibalas senyum setengah ringisan oleh sang pasien. Andika lalu meraih ke dua tangan Ele, lalu mulai menuntunnya seperti seorang ayah menuntun putrinya berjalan. Sesi latihan berjalan itu di isi dengan ringisan Eleanor, tubuhnya yang limbung ke kiri dan ke kanan namun kemudian di isi oleh tawa keduanya.

Maritha memperhatikan itu tanpa sadar tersenyum. Dalam hatinya tiba-tiba dia berharap kalau sang Tuan Mudalah yang berada di tempat dokter Andika sekarang ini.

"Ah, kau berkeringat." Ucap Dokter Andika saat Ele sudah berhasil duduk kembali di atas kursi rodanya. Laki-laki itu mengeluarkan tisu secara refleks, dan mengusap dahi Eleanor. Gadis itu sedikit tertegun, namun kemudian tersenyum.

"Maritha, nona mudamu sudah memiliki banyak kemajuan. Jangan lupa untuk terus mengontrol terapi dan pola makannya, usahakan agar dia memakan makanan yang tinggi kalsium."

"Iya, baik Dok." Balas Maritha pula.

"Terimakasih, An." Balas Eleanor. Andika tampak tertegun sebentar menerima ucapan itu dari sosok istri dari sahabatnya tersebut. Dia kemudian mengangguk. "Aku pamit, aku akan balik mengontrol Minggu depan."

"Ya, hati-hati."

***

"Istrimu itu sangat manis." Ucap Andika saat dia dan Chislon memiliki waktu pergi ke bar bersama. Sahabatnya baru kembali dari Amerika beberapa hari lalu.

Chislon Abimanyu menenggak birnya lalu melirik Andika dengan sekilas."apa maksudmu?"

Andika tertawa. "Aku suka melihat wajahnya, jika kelak kau menceraikannya, mungkin aku akan menikahinya."

Chislon melirik tajam. "Tidak biasanya kau suka dengan bekasku."

"Ho ho ho." Andika mencondongkan kepalanya sambil tersenyum miring. "Memangnya bekas apa yang sudah kau tinggalkan padanya? Aku tahu kau bahkan tidak pernah menyentuhnya bukan?"

Chislon entah mengapa menjadi panas. "Aku pernah menyentuhnya."

Ya, Chislon pernah menggendong Eleanor. Jadi dia benar mengatakan kalau dia sudah pernah menyentuh Ele. Dalam hal ini skinship.

Andika tampak terkejut sebentar. Dia salah mengasumsi kalimat itu. "Kau... Wah gercep juga kau ternyata di balik muka cuekmu itu. Jadi bagaimana, apakah masih sempit?"

"Dasar gila." Semprot Chislon Abimanyu pada kawannya itu. Andika Syalendra memang sangat menipu orang dengan tampilannya yang terlihat polos dan ramah. Tapi Chislon yang paling tahu isi otak sahabatnya itu. Awalnya, Chislon ingin meluruskan pemahaman itu, bahwa yang dimaksudnya menyentuh dalam hal ini adalah menyentuh dalam arti secara harfiah. Namun laki-laki itu mendadak menekan lidahnya dan merasa lebih nyaman jika dia tidak menjelaskannya dan membiarkan Andika dalam asumsi sesatnya itu.

"Jadi bagaimana? Apakah kau dapat ORI atau bekasan?"

Chislon jadi gatal untuk menghajar mulut Andika. Dia mendengus, tanpa menjawab dia meneguk minumannya lagi.

"Oh, atau aku rubah pertanyaannya. Mana yang lebih hebat, Ashley atau Eleanor?" Tanya Andika sambil mendekatkan wajahnya ke sisi wajah Chislon dengan cengiran laknatnya.

Chislon mengambil tisu dan dengan gerakan cepat menyumpalkannya ke mulut Andika. Laki-laki itu terbatuk, memuntahkan tisu itu dan merutuk.

"Kasar sekali kamu, Mas! Jangan main kasar dong!" Goda Andika membuat Chislon mendengus jijik. "Najis!"

Dia heran bagaimana bisa sahabatnya itu bisa lolos menjadi seorang dokter.

***

Comments (4)
goodnovel comment avatar
M Suwanto
bagus ayo lanjut kan ku tunggu
goodnovel comment avatar
Sri Dewi
baguss banget crtax
goodnovel comment avatar
Sri Rahayu
sangat bagus ceritanya, ayoo donk lanjutkan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status