Share

DINNER WITH BESTFRIENDS

Ferari 488 pista itu memasuki kediaman Abimanyu dan langsung bersandar megah di parkiran kediaman. Sesosok wanita turun dari dengan gaun elegan berwarna hitam selutut tanpa lengan. Kulitnya yang seputih susu seperti menyala di bawah cahaya lampu. Saat melewati pintu utama, dia mengarahkan pandang mencari sosok yang dia ingin temui.

"Dimana Chislon?" Tanyanya pada seorang maid.

"Tuan masih berada di atas nona, mari saya antar ke ruang dinner," jawab maidnya.

"Tidak, aku akan menemuinya." Tanpa menunggu tanggapan perempuan itu menaiki tangga menuju lantai dua, langsung terus ke kamar sang tuan muda. Tanpa ragu, dia memutar shop pintu kamar kayu jati berukir indah tersebut.

Saat dia masuk, sebuah pemandangan sedang menyambutnya. Effendy Chislon Abimanyu sedang mengancingkan kemejanya, itu belum sepenuhnya tertutup dan menampakan dadanya yang bidang dan proporsional. Meski sudah berulangkali melihat sosok Chislon dalam keadaan telanjang dada, wanita yang tak lain adalah Ashley Bimantara itu tetap tak bisa tidak tertegun sebentar. Effendy memang semempesona itu. Bahkan caranya menatap, gerakan-gerakannya yang alami sangat atraktif tanpa dia sadari.

"Ashley. Kau datang paling awal." Sambut Chislon tanpa terlihat terkejut sama sekali. Ashley Bimantara mendekat dan menautkan kancing yang tersisa di kemeja laki-laki itu.

"Apa aku sudah bilang kalau kau demikian tampan mi amor?" Bisik Ashley sambil tersenyum menatap Effendy.

"Apa aku sudah bilang kalau kau selalu cantik dimataku?" Balas Effendy sambil tersenyum kecil. Ashley menjadi gemas. Dia berjinjit dan meng*cup singkat bibir Effendy yang kemerahan. Effendy meraih tangan Ashley, menggandengnya.

"Ayo turun ke bawah."

Kedua pasangan yang tampak serasi itu melangkah keluar dari kamar utama yang luas itu dan turun ke lantai bawah menuju meja dinner.

Saat mereka tiba, dua laki-laki dan seorang wanita sudah duduk di sana, menatap kesal ke arah keduanya.

Laki-laki tampan yang dengan santainya duduk di kepala meja adalah Andika Syalendra, menatap remeh pada Effendy. Di sisi kirinya, duduk Fredy Antonio, salah satu sahabat Effendy yang kini berhasil menjadi anggota politik di usia muda. Laki-laki ini memiliki alis tebal rendah dengan mata sehitam arang yang membuatnya tampak seperti pria timur tengah. Kakeknya dari pihak ibu memang berasal dari Arab. Perempuan bergaun merah selutut yang duduk di sana adalah Salma Andara, putri hartawan dari Surabaya, salah satu yang termasuk dalam circle Effendy.

"Seriously? Kalian bahkan mengambil kesempatan berc*nta lebih dulu di situasi seperti ini," semprot Salma dengan santai, seperti sedang membicarakan menu sarapannya pagi ini. Dia adalah perempuan realistis bermulut tajam dan tidak suka drama.

"Ah, that was amazing." Sahut Effendy dengan nada yang sedikit bersemangat, meng-kick Andika dari kepala meja dan menggantikan tempatnya. Karna di sanalah seharusnya tuan rumah duduk.

"Berapa ronde?" Tanya Salma sambil tersenyum smirk.

"Kamu penasaran?" Ashley duduk dengan tenang, lalu mencodongkan wajahnya, "Atau iri?" Meski berada di circle yang sama, kedua perempuan itu memang seringkali tidak akur.

Salma mendengus. "Apa yang aku irikan dari hubungan kalian yang tidak pasti?" Di ujung kalimatnya dia tertawa.

"Kapan kami mendapat undangan?" Antonio bicara pertama kali. Suaranya datar dan kalem.

"Secepatnya." Sahut Ashley setengah bercanda.

"But seriously guys, apa kalian tidak pernah berpikir untuk menikah? Apalagi yang kalian cari?" Celetuk Salma sambil melirik kedua sahabatnya itu.

"Aku hanya menunggu lamaran. Bukan pihak perempuan yang melamar." Sahut Ashley pula acuh tak acuh.

"Kenapa pembahasan jadi berat begini? Lebih baik nikmati dulu anggur ini," Effendy mengangkat gelas anggurnya. "Screaming Eagle Cabernet Sauvigon," sebutnya.

"Cheers,"

Ke lima sahabat itu menyentuhkan gelas masing-masing menghasilkan suara berdenting halus dan mulai menenggak anggur tersebut dengan gerakan elegan. Mereka kemudian mulai menikmati makanan yang di sajikan. Sekilas, mereka terlihat seperti sekumpulan bangsawan yang dinner di hotel bintang lima.

"Aku benar-benar serius bertanya tentang peresmian ikatan kalian," Antonio bersuara lagi. "Kalian adalah pasangan yang sangat serasi. Kenapa tidak segera meresmikan ikatan?"

Ada seseorang yang terbatuk dengan sengaja. Dia adalah Sang dokter muda, Andika Syalendra yang mengusap mulutnya dengan serbet, matanya melirik ke arah Chislon, tak ada yang melihat, bibirnya tersenyum miring. Effendy Chislon Abimanyu mengerti arti tatapan dan senyuman itu. Di antara semua sahabatnya, Chislon hanya terbuka pada Andika tentang pernikahannya dengan Eleanor, si gadis lumpuh yang sekarang diam di kamarnya.

"Aku masih belum memikirkan tentang pernikahan," ucap Effendy dengan tenang. "Aku juga tak ingin cepat-cepat mengikat Ashley dalam ikatan yang membuatnya kehilangan kebebasannya."

Hanya Salma Andara yang menyadari perubahan raut muka Ashley meski hanya sekilas. Wanita yang sudah memiliki brand make up ternama Indonesia itu tersenyum kaku. Dia tahu seberapa besar Ashley mencintai Effendy. Wanita itu boleh pindah ke Boston dan memacari banyak pria tampan di sana, namun Salma tahu bahwa di hati Ashley, hanya ada Effendy sebagai perwujudan suami masa depannya.

"Tidakkah masa-masa kebebasan itu sudah waktunya di akhiri?" Tanya Salma, memotong steik dengan lincah.

"Kami masih disibukkan dengan banyak hal." Putri tertua Bimantara menyelutuk dengan senyum di wajah. "Lebih baik kamu pikirkan tentang dirimu, Andara. Apakah kamu sudah punya calon suami?"

Serangan balik yang di berikan Ashley membuat wajah Salma menjadi suram. Perempuan itu dengan gerakan mata yang halus dan hampir tak terlihat, melirik pada Fredy Antonio. Ashley tersenyum miris dalam hati. Kalau dia dicintai Effendy tanpa kepastian, maka Salma adalah korban dari cinta dalam hati terhadap sahabat sendiri. Salma Andara telah menyukai Antonio sejak zaman kuliah. Antonio pun tahu tentang itu. Hanya saja laki-laki keturunan Arab tersebut hanya bersikap adem ayem dan bahkan memacari beberapa cewek tanpa berpikir untuk membalas perasaan Salma. Tapi, Salma tak pernah bisa membencinya. Karna setiap orang punya kebebasan memilih. Hanya saja, setelah bertahun-tahun, semua orang yang ada di meja makan itu termasuk Antonio sendiri tahu bahwa Salma masih menaruh hati padanya. Wanita itu bahkan menolak perjodohan yang dilakukan ayahnya dengan putra pengusaha besar asal China. Itu sudah cukup menjadi pertanda kalau Salma Andara masih belum bisa move on.

"Aku akan menikah tahun depan."

Ucapan santai wanita bergaun merah itu membuat sontak semua kepala menoleh ke arahnya, termasuk Antonio meski hanya melirik sedikit.

"Wo hooo..." Andika bereaksi lebih dulu. "Benarkah? Dengan siapa?"

"Yang jelas dengan manusia." Jawab Salma misterius.

"Kau bercanda," pungkas Andika lagi. "Aku tidak melihatmu dekat dengan cowok manapun."

"Apa kamu mengekor kemanapun aku pergi?" Salma tersenyum tipis. Andika tampak terpana. "Jadi laki-laki seperti apa mengalihkan hatimu?"

Salma merengut mendengar ucapan Andika. Dia mengerti maksud ucapan dokter muda itu.

"Intinya laki-laki yang mencintaiku. Kurasa itu cukup."

"Kau tidak ingin mengenalkannya pada kami?"

"Tidak, terimakasih." Sahut Salma pula.

"Kalau kamu, Yo? Apakah sudah ada yang serius?" Tanya Andika mengalihkan objek.

"Hmm." Laki-laki yang di tanya menjawab dengan tenang. Tak menyadari Salma meremas hulu pisau steiknya lebih erat. "Doakan saja yang terbaik."

"Kapan mau di kenalkan pada kami?" Tanya Chislon pula.

"Kalau ada waktu aku akan mengenalkan pada yang lain."

"Nah itu, Sal! Kalau punya calon itu di kenalkan, jangan hanya di simpan sendiri." Celetuk Andika lagi.

Salma mengangkat bahu. "Buat apa? Unfaedah." Tukasnya kemudian dengan santai.

Sementara Ashley mengamati dua orang yang duduk bersisian itu dengan senyum miris di hati. Sayang beribu sayang. Tampaknya kedua sahabatnya itu tidak berjodoh.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status