Pagi itu, cuaca di Jakarta cerah, namun suasana hati Nadya justru sebaliknya: panas dan penuh bara.Ia turun dari mobil mewahnya dengan mengenakan blazer putih dan rok pensil hitam, kacamata hitam melindungi matanya dari sinar matahari, namun tak bisa menyembunyikan aura puas yang memancar dari wajahnya.Di belakangnya, Dion mengikuti, mengenakan jas biru tua dan masker medis. Mereka menuju ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, tempat sidang cerai perdana antara Nadya dan Bayu akan digelar.“Setelah ini, dia akan habis,” bisik Nadya pada Dion dengan senyum licik. “Dia pikir aku perempuan yang bisa dibuang begitu saja.”Dion mengangguk. “Kita tinggal mainkan narasinya. Jangan sampai kelihatan kamu berselingkuh duluan.”“Tenang. Semua sudah siap. Bahkan aku bawa rekaman editan itu,” sahut Nadya, kemudian meraih flashdisk lain yang isinya manipulasi audio percakapan antara Bayu dan Jihan, seolah-olah mere
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Jihan duduk di kursi rotan, mengenakan sweater tipis dan menatap jalanan sepi di depan rumah. Sejak menerima pesan dari Bayu sore tadi, hatinya sedikit gelisah.Setiap suara mobil yang melintas membuatnya menoleh. Sampai akhirnya, suara mesin mobil yang dikenalnya berhenti tepat di depan pagar.Jihan berdiri. Bayu turun dari mobil, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan gelap. Wajahnya tampak letih, namun matanya tetap menatap Jihan dengan ketegasan yang tak pernah berubah.“Maaf membuatmu menunggu,” ucap Bayu ketika sampai di depan pintu.Jihan membuka gerbang kecil, mempersilakannya masuk. “Tidak apa-apa. Aku memang belum bisa tidur,” ucapnya dengan senyum tipis di bibirnya.Mereka duduk berdua di teras. Untuk beberapa saat, tak satu pun dari mereka bicara. Hanya suara jangkrik dan angin malam yang menjadi pengisi sunyi.Sampai akhirnya, Bayu angkat bicara.“A
Langit mulai mendung ketika Bayu tiba di pelataran Hotel Skypark, sebuah penginapan mewah yang hanya dihuni kalangan atas. Namun bagi Bayu, kemewahan itu kini hanya tampak seperti sarang busuk yang menyembunyikan aib.Sementara Rafi sudah menunggu di lobby hotel. Ia mengenakan hoodie dan topi, menyamar agar tak menarik perhatian. Begitu melihat Bayu, Rafi langsung mendekat.“Mereka masih di kamar 1605,” bisiknya. “Baru saja Dion turun sebentar ke minimarket dekat hotel. Sementara Mbak Nadya masih di atas. Saya sudah arahkan staf hotel untuk tidak mencatat keberadaan Dion. Mereka pikir dia tamu bayangan.”“Bagus,” jawab Bayu cepat. “Sekarang giliran kita ambil langkah,” ucapnya dengan suara tegasnya.Rafi menyerahkan sebuah alat kecil. “Ini perekam dan transmitter. Cukup tempelkan di dalam kamar, nanti kita bisa rekam semua percakapan mereka, bahkan dari mobil.”Bayu menyel
Suara ketukan lembut di pintu depan membuat Jihan menoleh dari dapur. Ia sedang menyiapkan makan siang sederhana untuk Bastian, tumis tahu dan sup ayam hangat yang aromanya menenangkan.Tangannya masih menggenggam sendok kayu ketika suara Bastian terdengar dari ruang tengah.“Kak! Ada tamu!” teriak Bastian kepada sang kakak.Jihan berjalan perlahan. Saat matanya menangkap sosok pria tinggi berjas abu-abu itu berdiri di ambang pintu dengan kantong belanjaan di tangan, jantungnya langsung berdetak lebih cepat.“Mas Bayu?” gumamnya lirih. Matanya menatap Bayu dengan senyum tipis di bibirnya.Pria itu tersenyum hangat. “Hai.”“Aku kira Mas Bayu lagi sibuk...” Jihan mengerjap, mencoba menyembunyikan harunya.“Memang,” jawab Bayu sambil masuk. “Tapi aku lebih sibuk mikirin kamu akhir-akhir ini. Jadi, kuputuskan datang sekalian bawa makan siang.”Ia mengangkat kan
Pagi itu, Jihan membuka mata dengan rasa kantuk yang belum tuntas. Ia melirik ke arah jam dinding. Pukul enam lebih sepuluh.Matahari baru mulai menyembul di ufuk timur, menyinari tirai kamarnya yang belum sempat ditutup sepenuhnya tadi malam.Tapi ada sesuatu yang aneh.Ia merasa seperti diawasi. Bukan oleh Bastian, bukan juga oleh tetangga atau teman. Tapi oleh seseorang yang tidak ia kenal.Perasaan itu sudah muncul sejak semalam. Saat ia duduk di balkon belakang, memandangi langit malam dan mengelus perutnya, bulu kuduknya berdiri meski udara tidak dingin. Ia sempat menoleh ke belakang, tapi tidak melihat siapa pun.“Ah, mungkin cuma perasaanku saja,” bisiknya saat itu.Namun, pagi ini... perasaan itu kembali.Setelah mencuci muka dan mengganti pakaian tidur dengan daster longgar, Jihan berjalan pelan ke dapur. Ia membuka kulkas, mengambil sebotol susu, lalu duduk di meja makan kecil.Hening. Terlalu hening, bah
Pagi itu, suasana rumah besar milik Bayu masih terasa lengang. Nadya belum turun dari kamar, mungkin masih pura-pura tidur atau sedang menyusun kebohongan baru untuk menutupi kegugupannya semalam.Bayu sendiri sudah bangun sejak fajar, duduk di meja kerja dengan laptop terbuka dan secangkir kopi hitam di sampingnya.Di layar, panggilan video dari seseorang menyala.“Pak Bayu,” sapa pria berkacamata di seberang layar. “Saya sudah membaca semua dokumen dan bukti yang Anda kirimkan. Termasuk rekaman suara dan catatan transaksi kartu kredit atas nama Ny. Nadya.”Bayu mengangguk. “Bagaimana menurut Anda, Pak Fahmi?”“Jelas ada indikasi penggelapan dana dalam rumah tangga, juga perselingkuhan. Bila Anda ingin melayangkan gugatan cerai dan membawa ini ke ranah hukum, kita bisa menyiapkan dokumen secepatnya.”“Tapi saya belum akan bertindak sekarang,” jawab Bayu tenang. “Saya ingin semuanya siap rapi. Saat saya menjatuhkan ini ke meja pengadilan, tidak akan ada satu pun celah bagi dia untuk m