LOGINMarta melambaikan jemari tangannya di depan wajah Anna yang nampak melamun setelah mendengar apa yang baru diucapkannya. “Anna….! Hei…., Anna…”Sebagai sahabat yang perduli dengan Anna, sudah barang tentu Marta tidak ingin bermasud lain atau berpikiran buruk tentang masa depan yang belum tentu akan terjadi. Namun, sebagai antisivasi dari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, tentu saja tidak ada salahnya untuk mengingatkan.“Eh…, iya,” kejut Anna dari lamunan sejenak.Perasaan cemas, takut akan kehilangan dan gemetar dalam jiwa kian menghantui pikirannya. Anna ingin menepis dan menyangkal ucapan sahabatnya, kendati sangat sulit untuk membuangnya.Raut wajah Marta nampak merasa bersalah, ia seharusnya tak menanyakan hal itu tadi. Namun, ia tipical orang yang tidak bisa menyimpan unek-uneknya seorang diri. “Anna, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk mengungkit masa lalu Mas Adam dan Kak Asma. Tapi, aku benar-benar khawatir sekaligus takut jika apa yang aku pikirkan itu sampai terj
Sedan hitam mewah itu ke luar dari pelataran luas milik Adam, melesat cepat membelah jalanan ibu kota di pagi pertama minggu ini. Kemacetan di lalu lintas jalanan sudah menjadi makanan sehari-hari pengguna kendaraan.Alunan music lembut mengiringi perjalanan mereka menuju kampus dan kantor. Anna yang semalam tidur terlalu malam, membuat pagi ini matanya masih diterjang rasa kantuk yang berat. Perlahan ia memejamkan kedua matanya, seraya menikmati lembutnya alunan music yang menyapa indra pendengarannya.Adam menarik sudut bibirnya, kala kepala istrinya bersandar manja di bahunya. Sesekali ia membelai rambut lembut istrinya dengan rasa sayang yang begitu hangat. Matanya ikut terpejam, merasakan jika dirinya sandaran ternyaman bagi istrinya. ‘Ya Tuhan, jadikanlah kami pasangan suami istri yang selalu tetap bahagia seperti ini,’ gumamnya dalam hati dengan sepenuh harapan layaknya doa.Asmara yang duduk di posisi depan samping pak supir, sesekali melirik diam-diam ke arah spion dalam untu
Adam dan kakek Zein sontak terkejut dengan perkataan Asmara. Begitu juga dengan Anna, sampai menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah sang kakak.“Kak Asma, serius?” tanya Anna di tengah keterkejutannya.Adam dan kakek Zein, serempak menganggukan kepala di tengah keterkejutannya menunggu jawaban atas pertanyaan Anna.Asmara terkekeh kala melihat wajah mereka yang seakan tidak percaya dengan kemampuannya bermain catur. Mengambil posisi duduk di bangku yang sebelumnya ditempati oleh Adam, lalu bersiap untuk menjalankan permainan. “Giliran siapa yang jalan sekarang, Kek?” tanyanya sambil mengamati barisan papan catur di hadapannya.Anna dan Adam malah terlihat menonton Asmara dan kakek Zein yang sedang bertanding catur. Tiba-tiba saja rasa kantuk Anna seketika menghilang bak tertiup angin begitu saja.Permainan semakin seru dan menarik, membuat suasana yang tadinya tegang berubah riuh dengan sorak Anna dan Adam ketika Asmara menyetarai kemampuan bermain kakek Zein.“Ayo, Kek, sudah t
Adam bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Anna yang hendak berjongkok. “Biarkan pelayan yang membersihkannya, Sayang!” serunya sambil memberi perintah kepada Pak Surip. “Tolong segera bereskan, Pak Surip!”“Baik, Tuan.” Pak Surip mengangguk hormat, lalu mengintruksi bawahannya dengan segera.“T-tapi, Mas, tehnya__”“Sudah, jangan ngeyel!” potong Adam tegas.Anna terdiam, tak lagi membantah. Kendati dalam benaknya, masih jelas memikirkan ucapan kakek Zein yang ditujukan untuk sang kakak.“Setelah membersihkan ini, tolong buatkan teh yang baru untuk Kakek, Bik!” titah Adam kepada pelayan yang baru datang.“Baik, Tuan,” sahutnya dengan anggukkan. Ia pun lantas melakukan apa yang menjadi pekerjaannya.Adam lantas menggandeng Anna dengan hati-hati melewati pecahan cangkir yang bertebaran di lantai. Raut wajah Anna nampak panic dan gugup, kala menatap kakek Zein yang juga sedang menatapnya saat ini. Ia tak berani menatap lama, hingga memilih menundukkan kepalanya.“Duduk, Nak!” titah kak
Asmara sangat menyayangkan kesempatan untuk membuat adiknya cemburu, ke depannya ia akan lebih berhati-hati lagi. Ia merasa kalau adik iparnya tersebut sudah menaruh curiga terhadapnya, karena gelagat yang selalu terbaca setiap apa yang hendak ia lakukan.Untuk beberapa hari ke depan, Asmara akan berpura-pura bersikap baik dan ramah kepada seluruh penghuni di mansion itu. Tanpa terkecuali, termasuk bersikap ramah terhadap kepala pelayan yang membuatnya jengkel setengah mati.Asmara merasa hanya dengan cara itu lah, keberadaannya akan diterima dan dipandang oleh Adam, pastinya. Ya, hanya itu yang terlintas dalam pikirannya untuk merebut hati seorang Adam Kusuma Wardana. Bahkan, Asmara harus mengorbankan adiknya sendiri untuk menghalalkan segala cara.“Apa yang sedang mereka lakukan di sana? Sebenarnya itu ruangan apa?!” gumam Asmara bertanya-tanya dengan rasa penasaran.Ya, selepas sarapan tadi, Asmara memang mengikuti dari kejauhan langkah kaki mereka yang masuk ke ruangan itu. Sudah
Anna terus menatap cukup lama dalam diam antara suami dan kakaknya. Ada yang ia lewatkan, karena tanpa menyadari mereka pulang bersamaan. Meskipun diam, tetap saja dalam isi kepalanya begitu berisik layaknya berada di keramaian. “Ada apa memangnya, Kak Asma?” tanya Anna menyelidik, lalu menatap bergantian ke arah suaminya. “Memangnya Mas Adam sudah melakukan apa, huem?!” tanyanya juga penasaran. Asmara hendak membuka mulutnya, ketika pertanyaan dilontarkan oleh adiknya. Namun, langsung dipotong cepat oleh Adam. “Kak…..” “Tidak ada apa-apa, Sayang,” sela Adam berusaha untuk meyakinkan istrinya. “Hanya incident kecil, yang tidak cukup berarti,” jelas Adam sambil menatap sinis seperkian detik ke arah kakak iparnya tersebut. Beruntung kakak iparnya langsung bungkam, dengan kata-kata Adam. Kalau tidak, istrinya bisa salah paham dan cemburu kepadanya. ‘Sialan…., Mas Adam bisa membaca pikiranku,’ dengkus Asmara dalam hatinya dengan tatapan memerah saking kesalnya. Kedua tangannya me







