"Nak, Ayah mohon kamu mau menikah dengan Nak Adam Kusuma Wardana, Cucu satu-satunya Juragan Zein," pinta Sabda Ahmad, ayahku dengan wajah penuh harap. "Ya, Nak! Hanya kamu yang bisa menggantikan pernikahan Kakakmu, besok. Maafkan kesalahan Ayah dan Ibumu, yang menjadikanmu sebagai Istri Pengganti dari Asma. Dia tega sekali, diam-diam telah pergi." Wajah ibuku yang bernama Dinda Ayu, nampak memelas. *** Seperti mimpi buruk yang sedang menyapa, gadis belia seumurku harus menerima kenyataan pahit yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Di mana, kepulanganku untuk menikmati hari libur Semester, malah terpaksa harus menjadi Istri Pengganti untuk kakakku sendiri. Apa penyebab Kak Asma pergi di malam sebelum pernikahannya? Apa penyebab Ayah dan Ibuku terus memaksaku untuk menikah, menggantikan Kakakku? Seperti apakah sebenarnya, sosok calon Suami Kak Asma yang bernama Adam Kusuma Wardana itu? Apakah pernikahan terpaksa ini akan berjalan lancar atau sebaliknya?
View More--Happy Reading--
Tidak ada satu wanita pun yang menginginkan memiliki suami tidak sempurna. Namun, jika itu sudah takdir atas jodohnya dari Tuhan yang maha kuasa, mau dibilang apa? Percayalah, setiap apa yang menurut kita baik, belum tentu menurut Tuhan juga baik. Sebaliknya, setiap apa yang menurut kita buruk, boleh jadi menurut Tuhan itu sangat baik. *** Pov Autor. Asmara menarik koper besar miliknya dari dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa cantiknya. Kamar yang menjadi impian setiap gadis yang akan menikah dan menghabiskan malam pengantin dengan pria yang menjadi suaminya kelak. “Kamu mau ke mana, Asma?” tanya Dinda Ayu, ibu kandungnya. “Aku mau ke kota, Bu. Aku tidak sudi menikah dengan laki-laki cacat.” Tanpa menghentikan langkahnya, Asma terus menarik kopernya. “T-tapi, Nak. Pernikahanmu besok, bagaimana?” Dinda Ayu gelagapan bingung. Dia pun mencoba menahan kepergian putri sulungnya itu. Apa yang akan dia hadapi besok? Bagaimana dengan para tamu undangan yang terlanjur sudah tersebar? Apa yang harus dikatakannya kepada keluarga besannya? Asma seolah tidak perduli terus melewati para kerabat dan tetangga dekat yang sedang membantu untuk persiapan pernikahannya besok pagi, dia pun sukses menjadi perhatian semua pasang mata yang melihat ke arahnya. “T-tunggu, Asma! Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik. Jangan main kabur seperti ini, Sayang! Ka…” lengan Dinda ditepis oleh Asma, ketika hendak menyentuhnya. “CUKUP, BU!” bentak Asma dengan suara meninggi memotong ucapan Dinda. “Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Bu. Aku tidak bisa menikah terpaksa seperti ini. Aku tidak mau mengabdikan diri, seumur hidup untuk melayani pria lumpuh dan buta itu.” Tanpa menoleh ke arah ibunya lagi, Asma terus melangkah pasti menuju mobil yang sudah terparkir di depan pagar rumah. Dia tidak perduli dengan tatapan para kerabat dan tetangga dekat yang sedang membantu memasak untuk persiapan pernikahannya besok. Dia menghilang dengan cepat, seiring kendaraan beroda empat itu melaju dengan cepat meninggalkan pekarangan rumah yang terbilang sederhana. Tubuh Dinda Ayu bergetar hebat, kedua bola matanya menatap nanar kepergian putri pertamanya itu. Dia begitu lemah, tidak bisa mencegah apa yang dilakukan oleh Asmara Ahmad, putri sulungnya. Para kerabat dan tetangga pun sontak terkejut, ternyata Asma pergi karena tidak ingin menikah dengan calon suaminya yang lumpuh dan buta. Padahal, sepengetahuan mereka, calon suami Asma itu pria yang nyaris sempurna. Memiliki wajah tampan, kaya raya dan jabatan yang tinggi di kota. Brukk… Tubuh lemah Dinda ambruk menyusuri lantai, kedua kakinya lemas bagaikan tak bertulang. Kedua bola matanya berkunang, dengan tatapan berkabut. Pikirannya limbung, menerawang kosong. Jiwanya terguncang, dengan napasnya yang tersenggal-senggal. Rasa sesak di dalam dadanya semakin menyiksanya, hingga Dinda pun hampir tak sadarkan diri. Kerabat yang melihatnya pun tidak bisa mencegah kepergian Asma. Mereka hanya bisa membopong tubuh kurus milik Dinda yang terkulai lemah di lantai, kemudian membaringkannya di tempat tidur kamarnya. “Yang sabar, Bu Dinda. Ini, adalah cobaan,” ucap salah satu kerabatnya yang membantu memberikan minyak angin di leher dan dahi Dinda. Dinda hanya tersenyum getir, tidak ada satu kata pun terucap dari bibirnya yang pucat. “Si Asma itu memang keterlaluan. Seleranya itu memiliki level yang terlalu tinggi. Kenapa waktu dilamar seminggu yang lalu dia mau, tapi akhirnya jadi seperti ini?” “Padahal, cucu Juragan Zein itu sangat tampan, katanya.” “Selain tampan, cucu Juragan Zein juga pasti kaya raya. Secara, Juragan Zein kan pemilik perkebunan teh di desa ini.” “Aneh, memang si Asma itu.” “Tidak tahu diuntung memang si Asma.” “Tapi, kata Asma tadi, calon suaminya itu lumpuh dan buta, bukan?” “Ya, pantas saja si Asma melarikan diri.” “Kalau memang buta dan lumpuh, kenapa kemarin-kemarin Asma menerima lamaran cucu Juragan Zein?” “Tidak habis pikir, si Asma itu.” “Bagaimana nasibmu nanti, Dinda? Pasti, Juragan Zein akan marah besar, jika tahu pernikahan cucunya akan gagal.” Ocehan dan cibiran yang dilontarkan oleh para kerabat dan tetangga itu pun, membuat Dinda tidak sanggup menahan kepedihan hatinya. Sungguh, mau ditaruh di mana lagi mukanya yang kini sudah sangat memerah menahan malu. “Sudah-sudah! Biarkan Bu Dinda, istirahat. Lebih baik kalian kembali ke dapur dan lanjutkan pekerjaan kalian!” ujar salah satu tetangga dekat Dinda yang bernama Atun. Dia tidak tega melihat kondisi Dinda yang memperihatinkan, malah harus mendengarkan cibiran dan ocehan para kerabat dan tetangganya. Akhirnya, semua orang yang berkerumun di kamar Dinda pun kembali ke dapur dan melanjutkan pekerjaan mereka yang sempat terbengkalai, karena masalah kaburnya Asma. “Terima kasih. Bu Atun,” ucap Dinda lirih. “Sama-sama, Bu Dinda. Istirahat saja dulu. Nanti, setelah suaminya kembali, baru dibicarakan lagi perihal masalah ini.” Dinda pun mengangguk lemah, lalu mencoba memejamkan matanya sebentar. Meskipun dirinya tidak yakin bisa terpejam dengan masalah yang sedang dihadapinya saat ini. *** Pov Annaya Ahmad. Namaku Annaya Ahmad, usiaku baru genap dua puluh tahun. Aku biasa dipanggil Anna oleh orang-orang yang mengenalku. Statusku masih anak mahasiswa semester empat, jurusan ekonomi. Aku anak kedua dari dua bersaudara, atau disebut anak bungsu yang harus selalu jadi anak yang penurut. Nurut sama perintah kedua orang tua dan nurut sama perintah kak Asma. Aku pulang ke desaku, dijemput oleh ayah dengan sepeda motor kesayangannya. Meskipun motor tua, tapi sangat berjasa untuk kami sekeluarga. Sesampainya kami di rumah, kedua bola mataku menyapu semua sudut ruangan yang tertata rapi dan indah. Semua warna didominasi dengan nuansa hijau, kesukaan kak Asma. Banyak bunga-bunga tersebar di beberapa bagian, dengan semerbak harum yang menyeruwak menusuk indra penciumanku. Aku terpejam, menikmati setiap hembusan harum bunga mawar dan melati yang tersetuh semilir angin malam. “Ayo, sayang!” ajak ayahku, membuat aku tersadar dari belaian harum bunga yang membuat aku sekejap terbuai. “Eeh, iya, Ayah.” Aku mengekori langkah kaki ayah yang bergerak, sambil menarik koper kecilku yang berisi pakaian dan barang-barang berhargaku yang tidak seberapa itu. Banyak para kerabat dan tetangga rumah yang menyambut kedatanganku dengan raut wajah yang sulit aku terka. Begitu juga dengan ayah, ternyata merasakan hal yang serupa denganku. “Ada apa?” tanya Sabda, ayahku. Dia terlihat bingung, aku pun sama. “Di mana istri dan putriku, Asma?” tanyanya lagi. “B-bu Dinda ada di dalam kamarnya,” sahut ibu Atun terbata. “Ya, Ibu Dinda ada di kamarnya,” sahut yang lainnya ikut menimpali. Ayahku mengangguk, kemudian bergegas menuju kamar, setelah mendengar jawaban dari kerabat dan tetanggaku. Aku hanya mengekori langkah kaki ayah, untuk menemui ibu. Setelah menemui ibu, baru aku berencana menemui kak Asma. “Kamu di sini saja, Anna. Jangan masuk dulu!” cegah ibu Atun menahan lenganku. “Kenapa? Aku hanya ingin bertemu dengan Ibuku. Aku merindukannya.” Aku berusaha untuk membantah. “Kamu akan segera tahu, setelah ini,” ujarnya. “Lebih baik sekarang kamu segera membersihkan diri. Biarkan kedua orang tuamu bicara berdua.” Aku menaikkan satu alisku dan mengernyitkan dahiku heran. Di dalam otakku banyak pertanyaan yang sedang berkecamuk. Ada apa dan kenapa? Mengapa aku tidak diizinkan menemui ibuku sendiri? *** Aku terpaksa melangkahkan kakiku ke dalam kamarku terlebih dahulu, untuk membersihkan tubuhku yang sangat lengket dan capai. Setelah itu, baru aku akan menemui ibu dan kak Asma. Aku ingin menghabiskan malam terakhir kak Asma sebagai seorang gadis lajang, karena esok hari kak Asma sudah berubah statusnya menjadi seorang istri. Baru saja aku berganti pakaian, pintu kamarku sudah diketuk dari luar. Aku tersenyum riang, berpikir ibu dan kak Asma yang datang menemuiku. Pasti, mereka sangat merindukanku, karena sudah lama kami tidak bertemu. “A-ayah,” ucapku lirih. Apa yang aku pikirkan ternyata salah. “Bolehkah Ayah masuk, Anna?” “Silahkan, Ayah!” aku memberi jalan ayahku masuk ke dalam kamar. “Ada apa, Ayah? Ibu dan Kak Asma di mana?” tanyaku sambil menatap heran wajah ayah yang terlihat muram dan sendu. Ayah duduk di bibir ranjang, lalu mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan-lahan. Sepertinya, ada sesuatu yang ingin disampaikan kepadaku, terlihat bibirnya mulai terbuka. “Ayah ingin meminta tolong kepadamu, Anna.” Ayah menatapku dengan wajah nanar dan kedua bola matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun nampak bergetar dengan suara yang terdengar parau. Aku tersenyum tipis, melihat ekspresi ayah yang tidak biasa. Hanya sekedar meminta tolong, mengapa harus sampai seperti itu? “Selama Anna bisa membantu, Anna akan menolong. Apa yang bisa Anna lakukan, Ayah?” “B-begini, Sayang. Ayah ingin…” Ayah menjeda ucapannya untuk beberapa saat, sambil memejamkan matanya. Nampak sekali bibirnya bergetar kala mengucapkan kata di hadapanku dengan tatapan sendu. Aku masih menunggu ayah melanjutkan ucapannya, tidak berniat untuk mencecarnya. “A-apakah kamu bersedia menggantikan posisi Kakakmu, Anna?” Ayah menyambung ucapannya dengan pertanyaan yang sangat mengejutkanku. “M-maksud, Ayah?” aku belum sepenuhnya mencerna pertanyaan ayah. “Kakakmu melarikan diri, saat Ayah menjemputmu pulang tadi. Ayah ingin, kamu yang menggantikan Kakakmu untuk menikah dengan cucu juragan Zein,” ungkapnya dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Ayahku sudah tidak sanggup membendung air matanya yang kian mendesak untuk menetes. Akhirnya, jebol juga benteng pertahanan yang dia tahan sedari tadi. DUARRR… Bagai disambar petir, jantungku tersentak. Kedua bola mataku pun terbelalak, hampir ke luar dari sarangnya. Bagaimana mungkin, aku yang menggantikan pernikahan kak Asma? Usiaku pun baru dua puluh tahun, masih jauh dari harapan dan cita-citaku untuk menikah secepat ini. "Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa kepulanganku ke rumah malah jadi seperti ini? "Apa Ayah tidak salah bicara?" "Tidak, Sayang," ucapnya menggeleng pelan. "Ayah berharap, kamu bisa mengerti, Sayang," sambung Ayah lirih, menatap penuh dengan harap. Aku menggeleng pelan, aku masih belum bisa mengambil keputusan sebesar ini. "Sejujurnya, Ayah pun tidak ingin semua ini terjadi. Namun, pernikahannya hanya tinggal besok pagi. Ayah pun tidak mungkin mencari Kakakmu untuk kembali ke rumah. Bagaimana dengan keluarga Juragan Zein? Bagaimana dengan para kerabat dan tetangga yang sudah membantu? Bagaimana dengan nasib Ayah dan Ibumu, nanti?" Aku hanya bisa bergeming, air mataku tidak terasa menetes dan tubuhku begitu lemas bagai tak bertulang. Aku tidak mampu untuk menolak permintaan Ayah. Akan tetapi, aku pun tidak tahu, apakah aku bisa menjalani pernikahan ini? Menjadi istri pengganti untuk kak Asma. --To be Continue--Setelah memeriksakan kehamilan istrinya ke dokter, Adam pun segera mengabari berita bahagia tersebut kepada sang kakek dan mertuanya. Betapa senang sekaligus terkejutnya mereka, kala berita itu disampaikan langsung oleh Adam Kusuma Wardana. Anna yang melihat raut wajah suaminya sumringah ketika berbicara di telpon, nampak mengulum senyum sambil mengusap lembut perutnya yang masih rata itu. “Terima kasih, calon dedek bayi ku. Mama senang, kamu telah tumbuh di rahim ini,” gumamnya lirih. “Video call….,” ucap Adam di tengah pembicaraannya dengan sang mertua, sambil melihat ke arah istrinya. Seolah tahu maksud ucapan suaminya, Anna pun nampak mengangguk-anggukkan kepalanya lirih dengan mengulas senyuman tipis. Melihat respon istrinya, Adam pun lantas menekan tombol recorder untuk melakukan video call dengan sang mertua. “Assalamualaikum, Ibu dan Ayah….” Anna nampak mengucapkan salam sambil melambaikan tangannya di depan camera telpon dengan raut wajah bahagia. “Waalaikumusalam, Nak….
--Happy Reading-- Dua bulan kemudian. Di kampus. Anna nampak lemas dan tidak semangat. Sedari pagi, napsu makannya tiba-tiba hilang. Begitu juga saat ini, di kantin kampus. Ia memaksakan diri untuk menyuap makanan yang ada di hadapannya. Namun, tiba-tiba perutnya seperti di kocok dan ingin muntah. Owek! Anna berlari ke arah washtafel di dapur kantin, lalu memuntahkan isi perutnya yang kosong. Hanya cairan kental berwarna bening, yang ke luar dari dalam rongga mulutnya. “Anna….!” Panggil Marta segera menyusul sahabatnya itu, lalu membantu memijit tengkuk Anna, saat Anna sedang menunduk di depan washtafel untuk memuntahkan isi perutnya. “Apa kamu sakit, Anna?” tanya Marta yang sangat cemas. Anna pun tidak segera menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Ia hanya menggeleng sambil membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari washtafel. Ia tidak merasa sakit, ia hanya mual dan tidak nafsu untuk makan sedari pagi tadi. “Wajah kamu pucat, Anna.” Marta memperhatikan dengan menel
--Happy Reading--Pagi ini, dua pasang suami istri itu sedang menikmati breakfast di restoran sekitar hotel mereka menginap.Mereka memesan menu makanan beraneka macam jenis yang tersedia di restoran tersebut, dengan berbagai nama masakannya yang unik.Anna dan Marta pun menyicipi satu persatu jenis makanan khas kota Paris tersebut. Nama yang asing di telinga mereka, yaitu Escargote, Ratatouille, Foie Gras dan masih banyak lagi nama-nama jenis makanan yang lainnya.Untuk pertama kalinya, Anna dan Marta benar-benar menikmati makanan khas kota Paris yang membuat lidah mereka ketagihan.Adam dan asisten Bisma yang sudah pernah berkali-kali mencicipi makanan itu pun, hanya menggeleng dan mengulum senyum dengan tingkah istri mereka yang terlihat lucu di matanya.Usai mengisi perut mereka dengan berbagai menu pilihan tersebut, dua pasang suami istri itu pun meninggalkan hotel penginapan tersebut, menuju berbagai tempat wisata yang telah mereka rencanakan sebelumnya
--Happy Reading--Dua Minggu telah berlalu.Pesta pernikahan asisten Bisma dan Marta Kirani pun akhirnya berlangsung dengan mewah dan megah di kota Garut. Tepatnya, di hotel bintang lima yang cukup ternama di kota itu.Semua biaya pernikahan mereka, hadiah dari Adam Kusuma Wardana. Ia yang memang sudah berjanji kepada asisten Bisma untuk menanggung semua itu. Mulai dari biaya lamaran, undangan, akad nikah, seserahan, resepsi pernikahan dan yang terakhir, bulan madu ke Paris.Ya, Adam sudah berencana akan honey moon ke Paris bersama sang istri, setelah menunggu asistennya menikah. Karena, honey moon mereka sempat gagal sewaktu itu.Kedua orang tua asisten Bisma dan Marta pun, sangat berterima kasih kepada Adam dan istrinya, Anna. Mereka sangat bersyukur atas kebaikan Adam dan istrinya, yang sudah membantu membiayai semua dana pernikahan dan bulan madu anak-anaknya.Dengan kerendahan hati, Adam dan Anna tidak bersikap sombong atau pun congkak. Mereka nampak sen
--Happy Reading--“Terserah, Pah! Papah mau bilang Mama kurang sopan, kek. Kurang etika, kek. Terserah Papa! Sepertinya, Mama kurang setuju untuk menikahkan Marta dengan laki-laki ini. Mama tidak terima, ia bertanya sangat tidak sopan kepada Mama. Pokoknya, Mama sudah membatalkan lamaran ini. Mama tidak akan memberikan restu untuk kalian, walaupun kalian tetap akan menikah. Titik!”Ibunda Marta pun lantas meninggalkan mereka semua, dengan lelehan air bening yang sudah membanjiri wajahnya, tanpa menunggu suaminya membalas perkataannya.“Mama….” Marta memanggil ibundanya lirih dengan rasa yang menghimpit sesak di dalam dadanya.“Dasar orang tua keras kepala kamu, Mah!” umpat ayah Marta kesal, istrinya suka sekali mengambil keputusan sendiri.Ya, sifat istrinya memang kerap kali naik turun, sering labil dan sedikit egois dengan kehendaknya sendiri.Sontak, semua orang yang mendengar perkataan ibunda Marta pun sangat terkejut dibuatnya. Terlebih lagi, asisten Bis
--Happy Reading--Suasana tiba-tiba menjadi hening, ada sedikit rasa tegang dan terkejut. Ucapan ibunda dari calon menantu keluarga asisten Bisma sedikit mengusik hati dan pikiran semua orang yang hadir di acara lamaran tersebut.Terlebih lagi, Marta dan asisten Bisma, selaku orang yang berkepentingan paling utama.“Maaf, Nyonya! Apa maksud, Nyonya?” Adam buru-buru bertanya memecahkan keheningan yang datang tiba-tiba. “Saya sudah menikah. Dan, ini Istri saya yang paling saya cintai,” kata Adam to the point, seraya menggenggam tangan Anna.Anna pun tersenyum tipis, merasa kikuk dan canggung.“Mama…” gumam Marta, seraya menggeleng kuat. Ia benar-benar merasa tidak enak hati dan malu dengan ucapan sang ibu. Walaupun ia yang salah, belum sempat mengenalkan asisten Bisma secara langsung, karena hubungan mereka yang terlampau singkat. Namun, setidaknya sang ibu sudah pernah saling berbincang lewat video call.“Oh, saya tidak bermaksud apa-apa, Nak. Saya hanya salah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments