Yura membanting benda tajam itu ke lantai, begitu pun tubuhnya yang luruh seperti tak bertulang. Ia tak tega jika dirinya mati, kedua orang tua yang susah payah membuatnya menjadi sukses akan masuk bui. Yura menarik napas panjang, tangisnya kembali pecah teringat perjuangan orang tuanya sampai terlilit hutang.
“Aku harus kuat, jangan sampai aku kalah. Tugasku hanya memberikannya anak, setelah itu, aku akan bebas. Begitu keluargaku,” gumam Yura.
Yura bangkit merapikan diri, untuk apa dia menangis jika takdir pun membuat hidupnya berubah begitu cepat. Baru saja ia bahagia menjadi karyawan di suatu perusahaan besar, tetapi begitu cepat semua berubah.
Kini, ia terpenjara dalam sebuah ikatan yang membuat dirinya tersiksa. Mimpi memiliki keluarga bahagia dengan pria yang dicintai, semua kandas begitu saja. Yura menjadi tahanan sebuah perjanjian yang memuakkan.
Yura melangkah ke arah pintu setelah mendengar suara orang memanggilnya. Ia membuka dan terkejut melihat Madam Syin sudah berdiri di hadapannya.
“Bagaimana bisa malam pertama kamu gagal?” tanya wanita berbaju tidur sutra itu.
“A—aku nggak bisa melakukan apa pun karena Edward mengabaikanku. Aku sudhs berusaha, Madam.” Yura kembali menunduk.
“Ingat Yura, kalau kamu tidak hamil sampai batas yang aku tentukan, jangan menangis memohon untuk kedua orang tuamu,” ancam Madam Syin.
Jantung Yura berdetak begitu kencang, rasanya seperti terhantam batu besar. Kembali ia diingatkan perjanjian itu. Netranya berkaca-kaca mendengar ancaman Madam Syin. Setelah wanita itu pergi, Yura kembali terduduk di meja rias sembari memandang wajahnya.
“Aku nggak jelek, bahkan pria di luar sana memperebutkan aku. Kenapa bisa aku diabaikan Edward?”
Jemari lentik itu kembali mengusap bedak ke wajah. Bukan cantik, malah terlihat kacau karena basah dengan air mata. Kembali, ia menangis frustrasi memikirkan cara agar bisa memiliki anak dari Edward.
Jalan hidup Yura begitu sulit sejak ia masih tinggal di desa. Namun, bagaimana pun kedua orang tuanya melakukan hal terbaik agar sang anak bersekolah dan menempuh pendidikan dengan layak. Yura mendapatkan bea siswa di kota besar, menempuh kuliah dengan cepat karena memang ia sangat cerdas. Namun, ia tak menyangka jika uang yang sering dikirimkan sang ayah adalah hasil meminjam dari Madam Syin. Jika seperti itu, ia memilih tidak melanjutkan pendidikan di kota itu.
**
Perbedaan umur Yura sangat jauh dari Amalia—istri Edward. Namun, walau begitu, Amalia masih terlihat cantik dengan perawatan yang mahal. Mereka semua berkumpul saat makan pagi. Sempat Edward terkesiap melihat Yura yang sangat cantik dengan balutan dress merah yang melekat di tubuh mungilnya.
Namun, Edward menepis rasa kagumnya itu. Melihat hal itu, Amalia menekuk wajahnya, ia merasa terganggu dengan kehadiran Yura di meja makan.
“Kamu mau ke mana?” tanya Madam Syin pada Yura.
“Aku mau bekerja, Madam.” Yura menjawab pelan.
“Untuk apa bekerja? Mulai sekarang, berhenti melakukan hal itu. Cukup diam di rumah menunggu Edward dan ingat, berikan aku cucu. Dan kamu, Amalia, jangan pernah menghasut Edward untuk tidur bersama kamu terus,” ujar Madam.
“Mi, jangan bicara seperti itu. Edward yang mau, bukan Amalia.l,” bantah Edwar membela sang istri.
“Bela saja istri mandulmu terus. Berpikir lah yang panjang, keluarga kita membutuhkan keturunan.”
“Ma, ada Edo, anak Mami bukan hanya aku.”
“Edo, adikmu tidak bisa di andalkan. Kerjanya hanya bermain perempuan, mau bangkrut perusahaan kita?”
Edward bangkit, pria berjas hitam itu tak tahan mendengar ucapan sang ibu. Ia bergegas pergi, diikuti Amalia yang mengantarnya ke mobil.
“Jangan dengarkan kata-kata Mami. Aku akan membuat Yura tidak tahan di rumah ini.” Sebuah kecupan mendarat di kening Amalia. Kemudian, Edward bergegas masuk ke mobil.
Amalia menatap kepergian sang suami, ia berbalik masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar namanya di panggil.
“Kakak iparku yang cantik, wajahmu sangat murung, apa Mamiku meminta anak lagi darimu?” Pria dengan wajah mirip dengan Edward menghampirinya, lalu mencuil hidup mancung Amalia.
“Jangan kurang ajar kamu Edo,” ucapnya kesal.
“Semakin galak, semakin uwww, “ goda Edo.
“Untuk apa kamu pulang, hidupku tenang tidak ada kamu.”
“Jangan seperti itu, apa kamu nggak merindukan aku? Sudah kukatakan, bersenang-senang bersamaku, akan kurahasiakan hal itu. Aku sehat dan mampu memberikan kamu anak. Nggak seperti Edward yang mandul.”
“Tutup mulutmu!”
Amalia benci dengan kehadiran Edo yang sangat meresahkan. Adik iparnya itu seorang petualang cinta. Pria dengan bau alkohol itu semakin menjadi jika tak ada Edward di rumah. Namun, Amalia selalu berlindung di samping Bi Rukmini.
Gegas ia masuk enggan meladeni pria mabuk itu. Ia masih memiliki sesuatu yang harus dikerjakan di dalam. Peringatan demi peringatan akan ia berikan pada Yura—istri kedua suaminya.
Amalia melihat sudah tak ada Madam Syin di dapur. Ia melihat Yura yang sedang merapikan piring. Gegas ia menghampiri wanita itu.
“Kamu lebih pantas menjadi pembantu dari pada Nyonya besar. Wanita dari kampung seperti kamu, nggak pantas bersama Edward.”
Yura menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Amalia yang memulai pertengkaran dengannya.
“Ini bukan mauku, Madam Syin memaksa aku melakukan hal yang aku pun nggak menginginkannya. Aku masih muda dan cantik, bisa saja mendapatkan pria kaya lain jika aku mau. Jangan cemas, aku hanya akan melahirkan keturunan dari keluarga ini yang nggak bisa kamu berikan. Setelah itu, Edward pun akan tetap bersamamu, kecuali tiba-tiba ia mencintaiku.” Senyum getir terlihat dari bibir Yura. Ia pun tak mau melukai Amalia, tapi ia tak suka dihina, apalagi mengingat ia berada di tempat itu karena orang tuanya dalam masalah jika ia tak mengikuti keinginan Madam Syin.
“Edward nggak akan mau menyentuhmu!” pekik Amalia.
“Kita lihat saja, bertahan berapa lama ia mengabaikan Gadis di hadapannya?”
Bibir Yura sedikit bergetar, kalimat demi kalimat tak enak ia lontarkan pada Amalia. Hanya hal itu yang membuatnya terlihat kuat di depan keluarga itu. Ia rapuh, tetapi tak mau terlihat oleh semua orang.
Yura mengelap tangan, lalu kembali merapikan piring. Amalia berdiri mematung melihat madunya dengan santai kembali melakukan aktivitasnya.
Bi Rukmini ingin bertepuk tangan melihat kejadian itu. Setelah tontonan gratis yang ia lihat, wanita tua itu gegas melapor pada majikannya.
“Jangan pernah mengusik aku, atau kau yang akan luar dari rumah megah ini, Nyonya Amalia yang terhormat.”
Netra keduanya bersirobok, Amalia menggigit bibir bawah. Ia tak menyangka jika Yura berani membela diri di depannya.
Amalia berpikir jika Yura lemah, tapi sayangnya semua pemikirannya salah. Yura begitu kuat dalam pendiriannya.
Yura pun tahu bagaimana hati wanita di hadapannya. Namun, ia pun tak suka jika dirinya di hina.
***
Edward tak dapat berpikir jernih saat semua pikirannya tertuju pada Yura—istri keduanya. Ia memijit kepala yang tak sakit, lalu kembali membayangkan kehadiran Yura saat di meja makan tadi pagi.Pria hitam manis itu mencoba menghilangkan Yura dari pikirannya, tapi ia tak bisa untuk menghapus semuanya. Tidak memungkiri jika istri keduanya sangat cantik dan menarik. Namun, ia tak mau menyakiti Amalia dengan melakukan hubungan untuk mendapatkan seorang anak.Kegusarannya terhenti saat Robby—asisten pribadinya datang membawa beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani. Pria dengan jas navy senada dengan dasinya mengernyitkan dahi melihat sang bos yang begitu kusut.“Harusnya ceria dong, bukanya semalam dapat gadis?” Robby menggoda Edward sembari merapikan berkas“Bikin pusing saja. Aku bermalam dengan
“Bagaimana bisa kamu dimadu?” tanya Bu Dian—ibunya Amalia.Amalia sudah menduga pasti sang ibu marah. Namun, apa yang bisa ia perbuat selain menurut perintah ibu mertuanya. Jika ia menolak, hidupnya akan hancur. Terpaksa,.ia setuju dengan pernikahan kedua suaminya.“Aku sudah berusaha, Ma. Tetapi masih belum hamil, Madam Syin lalu menikahkan Edward,” ujar Amalia pasrah.“Lalu, kami setuju begitu saja? Edward pun menerima saja keputusan sepihak mertua kamu?” Bu Dian sangat emosi mendengar penuturan sang anak. Ia baru saja pulang berlibur dari Bali, tentu saja menggunakan uang yang diberikan Amalia.Wanita dengan lipstik merah darah itu menarik napas panjang. Ia tahu kehadiran istri kedua Edward membuat posisi sang anak terancam. Jika wanita kedua itu berhasil hamil dan melahirkan keturun
Sejenak Madam Syin berpikir dengan apa yang dituturkan sang anak. Edward datang menjelaskan niatnya dan Amalia untuk program bayi tabung. Jemarinya tak henti bermain pulpen di meja, ia berpikir keras dengan rencana Edward kali ini.Edward langsung menemui sang ibu untuk membicarakan hal yang akan menyelamatkan rumah tangganya, walau ia tak tahu jika rencana itu juga yang akan menyelamatkan keluarga Amalia dari kemiskinan.“Kamu pikir dengan program bayi tabung akan berhasil setelah uang yang kamu keluarkan itu tidak sedikit?” Pertanyaan menohok sang ibu membuat Edward sedikit tersudut.“Kan, kita baru mau mencoba.” Edward kembali membela diri.“Kamu tidak usah cemas, jalani sama dengan Yura, toh Amalia masih tetap bersama kamu. Mami tidak setuju dengan jalan itu, Amalia sudah banyak menghabiskan ua
Yura mengusap bulir bening di pipi lalu, tersenyum getir menatap Edo yang bergeming di hadapannya. Wanita itu enggan menunggu jawaban Edo, ia langsung melewati pria itu melangkah ke dalam.Edward bersembunyi di balik pintu saat Yura masuk agar tidak terlihat oleh istri keduanya. Pria itu menatap punggung sang istri yang menghilang di balik pintu kamarnya. Sedikit rasa iba, ia baru tahu jika Yura pun terpaksa untuk menikah dengannya. Ia bingung menghadapi semua masalah di hidupnya.Paksaan sang ibu, belum lagi dengan keinginan Amalia yang membuatnya tidak bisa mengikutinya. Ia hendak melangkah, tapi terhenti saat Edo memanggil.“Pasti bingung mau masuk ke kamar mana?” tanya Edo dengan sinis.“Bukan urusan kamu.” Edward merasa tidak senang dengan ejekan Edo.Sejak kecil mer
Kedua istri Edward hanya bisa menunduk saat mereka berhadapan dengan Madam Syin—ibu mertua mereka. Edward yang berada di sana pun merasa bersalah atas apa yang terjadi antara mereka berdua.Edward menyesal karena emosi Amalia berasal dari kesalahannya semalam. Istri pertamanya itu begitu lembut, tapi ia tahu jika dia marah, apa pun akan menjadi sasaran. Itu kenyataan yang terjadi. Emosi Amalia tak akan bisa terkendali saat ia mulai tersudut atau merasa tersakiti.“Semua itu terjadi karena nggak mungkin ada asap jika nggak ada api. Apa yang membuat kalian seperti wanita nggak ada tatak rama?” Madam Syin menelisik ke arah kedua menantunya. Terutama Yura yang ia tahu menahan perih di pipi, tapi dia mencoba tenang.Edward ikut memindahi kedua istrinya. Ia iba melihat wajah Yura yang membiru akibat tonjokan Amalia. Namun, ia tak bisa bergerak meng
Edo memilih berada di kelab malam dari pada melihat drama rumah tangga sang kakak. Pria dengan kaos putih dipadu celana jin robek-robek itu duduk memindahi sekeliling tempat ramai itu. Sesekali ia meneguk minuman di depannya. Hari itu ia tak sedang berjanjian dengan siapa pun karena moodnya kurang baik. Sepertinya ia harus merileksasikan otaknya kali ini. Namun, lamunannya buyar seketika seseorang menepuk pundaknya. “Aku mau bicara,” ujar wanita di hadapannya. Edo memutar bola mata malas melihat wanita cantik dengan pakaian sexy di hadapannya. Ia bangkit dan mengikutinya ke luar kelab malam itu. Edo menyenderkan tubuh di tembok, sedangkan wanita di hadapannya siap mengatakan hal yang penting untuk pria itu. “Aku hamil, Do.” Edo menegang mendengar penuturan
“Aku harus kembali ke kamar Amalia sebelum dia bangun dan mencariku.” Edward mengambil baju yang berserakan di lantai. Ia kembali melihat ke arah Yura dan mencium keningnya lalu beranjak dari kasur. Yura masih bergeming melihat punggung Edward yang menghilang dari pandangannya. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa nyeri masih terasa begitu ngilu. Ia memunguti baju di lantai dan memakainya. Perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam itu, ia menyerahkan mahkotanya untuk Edward. Pria yang sejak pertama bertemu selalu saja kasar. Namun, akhirnya luluh dengan kesabaran Yura. Pipinya masih sangat nyeri, di bawah guyuran shower, Yura kembali mengingat malam indah bersama Edward. Namun, tangisnya kembali terdengar kala ia hanya dijadikan alat untuk memiliki keturunan. Jika dirinya tak kunjung hamil, pasti akan tergeser pula. Hatinya sudah berlabu pada pr
Awalnya Amalia tidak berniat datang ke rumah sang ibu. Namun, berulang kali ponselnya terdengar membuat ia semakin penat. Akhirnya, terpaksa Amalia datang menemuinya.Rumah itu masih sama seperti saat ia terakhir datang. Ruang besar yang seperti tak terurus, belum lagi banyak barang yang berserakan di lantai. Rumah itu juga menjadi tempat tinggal adiknya yang baru saja lahiran.“Kenapa kamu lama sekali mengirimkan mama uang?” tanya Bu Dian.“Ma, uang tabunganku sudah habis. Bukannya belum lama Mama meminta uang dengan alasan untuk kontrol ke dokter. Tapi apa, Mama malah berlibur ke Bali. Uangku habis, Ma.” Amalia mencoba meyakinkan sang ibu.“Kan ada suami kamu. Minta sama dia, mana mungkin dia menolak. Uangnya banyak, Lia.” Bu Dian selalu saja memaksakan kehendaknya.