Share

Mencari Pembenaran

Edward tak dapat berpikir jernih saat semua pikirannya tertuju pada Yura—istri keduanya. Ia memijit kepala yang tak sakit, lalu kembali membayangkan kehadiran Yura saat di meja makan tadi pagi.

Pria hitam manis itu mencoba menghilangkan Yura dari pikirannya, tapi ia tak bisa untuk menghapus semuanya. Tidak memungkiri jika istri keduanya sangat cantik dan menarik. Namun, ia tak mau menyakiti Amalia dengan melakukan hubungan untuk mendapatkan seorang anak.

Kegusarannya terhenti saat Robby—asisten pribadinya datang membawa beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani. Pria dengan jas navy senada dengan dasinya mengernyitkan dahi melihat sang bos yang begitu kusut.

“Harusnya ceria dong, bukanya semalam dapat gadis?” Robby menggoda Edward sembari merapikan berkas

“Bikin pusing saja. Aku bermalam dengan Amalia, bukan Yura.”

“Jadi, namanya Yura?”

Edward mengusap wajah kasar, kali ini ia benar-benar sangat frustrasi memikirkan keinginan sang ibu. Ia pun sejujurnya menginginkan seorang anak dalam pernikahan dengan Amalia. Namun, sudah 8 tahun pun belum ada tanda-tanda kehamilan. Bahkan, ia sempat berpikir jika dirinya mandul.

Malam tadi hasratnya membara melihat Yura yang begitu cantik. Lagi-lagi ia teringat dengan Amalia. Ia sengaja pergi dari kamar istri keduanya dan melampiaskan pada Amalia. Namun, bayang-bayang Yura memenuhi pikirannya.

“Cantik?” tanya Robby lagi.

Edward hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan asistennya. Pria jangkung itu kembali menunggu jawaban bosnya, tapi Edward tetap saja diam. Baginya hanya Amalia yang cantik, tetapi memungkiri jika Yura lebih muda dan cantik.

“Oke, sepertinya hati bos sedang bergelut. Memikirkan untuk memuji wanita cantik selain istrimu.”

Wajah Edward masam mendengar penuturan Robby. Gegas ia mengambil dokumen yang dibawa asistennya itu dan langsung memeriksanya. Besar kemungkinan ia mulai menyukai Yura, benar apa yang dikatakan Robby. Ia sedang berusaha untuk mengelak tentang kenyataan ia tertarik pada istri keduanya.

“Kucing di kasih ikan asin mana ada yang nolak. Sama kaya laki-laki, setia kaya apa juga kalau ada wanita cantik dan menggoda, masa bisa menolak.”

Pulpen yang digenggam Edward mendadak berada di wajah Robby. Sementara, asistennya itu hanya terkekeh melihat kelakuan bosnya.

“Bawa berkas ini, silakan keluar.”

Edward memutar kursinya membelakangi Robby yang masih saja terus menggoda sang bos. Setelah puas, asisten itu bangkit pamit kembali bekerja.

“Sial, Robby, apa yang dikatakannya itu benar!” Edward bergumam sendiri.

***

Edo terkesiap melihat siapa yang ada di hadapannya. Netranya tak berkedip melihat Yura yang cantik. Ia melangkah mendekat, mencium parfum Yura yang menggoda.

“Aduh!” teriak Edo.

“Jangan ganggu dia, dia istri kedua kakakmu!”

Madam Syin melihat Edo yang menghampiri Yura, ia pun gegas memukul pria itu dengan kipas di tangannya. Ia sudah paham dengan sikap anak bontotnya  yang suka menggoda semua wanita. Bahkan banyak wanita datang hanya sekadar meminta pertanggungjawaban Edo setelah diajak kencan semalaman.

“Kakak ipar baru? Mami, sisakan satu untukku bidadari seperti ini,” ocehnya.

Madam Syin kembali memukul lengan sang anak. Ia geram karena sikap Edo tak pernah dewasa. Berpikir untuk lebih baik pun tidak ada, malah semakin menjadi setiap harinya. Bermain wanita dan mabuk-mabukan.

“Yura, masuk ke dalam. Saya mau bicara dengan kamu, tapi mau memberikan pelajaran dulu anak kurang ajar ini.”

Yura hanya mengangguk mengikuti perintah Madam Syin. Ia kembali ke kamarnya karena ia pun takut dengan Edo.

Madam Syin menarik Edo ke ruang keluarga. Ia meminta sang anak duduk mendengarkan ia bicara. Edo pun menurut karena jika menolak, sebagian uangnya akan hilang dalam beberapa menit.

“Dia nggak puas dengan satu istri?” tanya Edo.

“Mami yang meminta Edward untuk menikahi Yura agar bisa memiliki keturunan.”

“Hah, apa Mami yakin Yura bisa hamil? Mami pernah nggak berpikir, kalau misalnya Edward yang bermasalah.”

Madam Syin bergeming dengan ucapan Edo. Beberapa kali ia sempat berpikir seperti itu, tetapi ia menepisnya dan berpikiran jika yang bermasalah adalah Amalia, bukan Edward. Ia tak mau membayangkan jika Edward tidak sehat.

“Hmm ... untuk apa menikahkan dengan wanita baru kalau ternyata Edward yang mandul?”

Edo tersenyum getir saat tamparan mendarat di pipinya. Ia hanya mengatakan hal yang ada di kepalanya, Edo pun sadar apa yang dilakukannya selalu salah. Tidak pernah benar di mata sang ibu.

“Jaga bicaramu, anak keturunan keluarga Dirgantara tidak ada yang mandul. Amalaia yang bermasalah.”

“Sadar, Mi. Mami hanya berpikir sepihak, cek saja kesehatan mereka.”

Edo bangkit meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Berdebat dengan sang ibu membuat ya malas karena tak akan pernah benar. Nomor satu adalah kebenaran yang selalu dia katakan. Nomor dua kembali pada nomor satu.

Madam Syin menarik napas panjang. Ia kembali melangkah ke kamar Yura untuk membicarakan beberapa hal dengannya.

“Masuk, Madam.”

Madam Syin masuk setelah mendengar suara Yura memintanya masuk.

Madam Syin memindai sekeliling kamar Yura. Tampak sangat rapi juga harum, harusnya Edward betah berada di kamar itu. Bukannya kembali pada Amalia malam tadi seperti yang dikatakan Bi Rukmini.

“Saya tahu semalam Edward tidak bersama kamu, apa kamu bodoh membiarkan dia bersama Amalia?” tanya Madam Syin.

“Aku sudah berusaha, tapi Edward tetap pergi. Sampai harga diriku pun jatuh di depannya.”

“Berapa harga, harga diri kamu?”

Yura tersenyum miris mendengar Madam Syin berbicara. “Harga diriku tak sebanding dengan 200 juta yang membuat aku terkurung di sini. Apa orang seperti Anda selalu menilai orang dengan takaran uang? Bahkan, manusia pun tak ada harga dirinya di depan Anda!”

Kali ini Yura merasakan perih di pipi saat Madam Syin kembali melayangkan tangannya.

“Jaga bicaramu!”

“Aku terpaksa berada di sini karena ulah manusia yang tak punya hati nurani yang membiarkan wanita saling menyakiti.”

“Yura, jaga bicaramu!”

Madam Syin semakin naik pitam dengan bantahan dari Yura. Sikap pembangkang menantunya membuat ia sakit kepala. Ia sangat berharap Yura bisa hamil anak Edward, bukan membantahnya.

“Maksud kamu apa?” tanya Madam Syin.

“Mana bisa aku berbahagia di atas penderitaan orang lain. Aku bersenang-senang denga Edward, sedangkan ada Amalia istri pertama yang cemas berpikiran tak tenang membayangkan suaminya bercumbu dengan wanita lain. Apa aku tega?”

“Mungkin kamu lebih tega jika kedua orang tuamu masuk penjara?”

Tangan Yura mengepal keras mendengar penuturan dari Madam Syin. Hatinya bagai teriris pisau saat membayangkan kedua orang tuanya menderita di sel tahanan. Ancaman Madam Syin kembali membuatnya tak berkutik.

Hatinya menangis, harusnya ia bisa melindungi keluarganya dari lintah darat seperti ibu mertuanya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Yura hanya bisa menerima nasib yang sudah digariskan untuknya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status