Share

Terpaksa Menjadi Istri kedua
Terpaksa Menjadi Istri kedua
Penulis: Galuh Arum

Malam Pertama Penuh Luka

“Pakai bajumu!”

Edward melempar pakaian Yura ke wajahnya. Sedikit menurunkan harga diri, wanita yang baru saja dinikahi Edward Herlambang Wicaksono itu menatap tajam pria di hadapannya. Kalau bukan untuk melunasi hutang kedua orang tua, ia tidak akan mau menjadi istri kedua.

Netranya mulai mengembun saat ia teringat tentang perjanjian Madam Syin—ibunda Edward. Kala itu Yura melangkah perlahan saat mendengar suara nyaring terdengar dari dalam gubuk kedua orang tuanya. Ia menelisik sekeliling, mobil mewah bertengger di halaman luas yang lebih besar dari tempat tinggalnya.

Sudah hampir sebulan ia menginjakkan kaki di ibu kota dan kini kembali ke kampung halaman demi membawa beberapa lembar uang dan hadiah untuk kedua orang tuanya. Sejak ia bekerja di sebuah perusahaan besar di kota, ia terpaksa untuk pergi dari kampung halamannya.

Ada sedih mendalam saat ia mengintip dari balik pintu reot gubuk itu. Sang ayah menunduk penuh ketakutan, sedangkan sang ibu hanya bisa menangis di depan seorang wanita tua yang sering mereka panggil dengan Madam Syin.

“Beri kami waktu, Madam. Anak kami sudah bekerja di kota.” Waluyo—ayah Yura meminta waktu pada Madam Syin.

Namun, wanita itu tak mau tahu. Ia ingin segera mereka melunasi hutangnya.  Yura tak bisa berdiam diri, ia memberanikan masuk untuk tahu apa yang sedang terjadi dengan kedua orang tuanya.

“A—ada apa, Madam Syin?” tanya Yura.

Madam Syin menatap Yura dengan selidik. Penampilan Yura berbeda dengan saat ia masih bekerja di kebun teh miliknya. Gadis kampung yang sederhana kini berhias make up dan baju bagus.

“Orang tuamu memiliki hutang padaku dan jumlahnya sudah hampir 200 juta beserta bunganya,” ucap Madam Syin.

“Nggak mungkin sebanyak itu,” ujar Yura menggeleng.

“Kamu pikir bisa berkuliah dan bekerja tidak menggunakan uang? Atau memang kamu pikir dengan bertani, kedua orang tuamu bisa menyekolahkan kamu sampai seperti ini?” Madam Syin tersenyum sinis.

Yura terkesiap mendengarnya. Tak henti ia memindahi wajah kedua orang tuanya yang sudah rapuh. Hatinya getir mengingat perjuangan mereka membuat dirinya sukses.

“Aku akan melunasinya, tapi tidak sekarang,” ucap Yura lagi.

“Saya maunya sekarang, kamu bisa melunasinya dengan menikah dengan anakku dan beri aku cucu. Setelah itu, hutang 200 juta kuanggap lunas. Namun, jika kau tidak bisa memberikan saya cucu dalam jangka satu tahun, siap-siap, kupenjarakan mereka.” Madam Syin mengancam dan membuat Yura bergidik ngeri.

Lamunannya terhenti saat mendengar teriakan Edward kembali.

“Aku tidak akan menyentuhmu. Sudah aku katakan, tidak akan ada wanita lain yang bisa menggantikan istriku—Amelia,” ucapnya.

“Aku akan berusaha untuk kau sentuh,” ujar Yura getir.

Netra Edward menatap bengis istri keduanya. Namun, Yura tak kalah kembali menatap sinis wajah pria dengan lesung pipi dalam itu. Wajah rupawan dan tubuh atletis sang suami, seolah menghipnotis dirinya.

Yura menelan saliva, jika dalam satu tahun ia tak berhasil hamil, ia tidak tahu nasib kedua orang tuanya. Kembali ia nekat bangkit, ia kembali memeluk Edward dari belakang.

Edward pun menegang, tetapi ia teringat Amelia yang berada di kamar depan. Ia tak mungkin mengkhianati cinta mereka. Delapan tahun bersama, menunggu buah hati tak kunjung hadir.

Tangan besar Edward mendorong kasar tubuh Yura. Lalu, mencengkeramnya dengan kasar.

“Cepat menjauh, jangan pernah melakukan hal ini lagi atau kubunuh kau perlahan!” Lagi, Yura mendapatkan sebuah ancaman.

***

Amalia menunggu dengan cemas sang suami yang sedang berada di kamar belakang bersama dengan istri barunya. Ia mulai tak bisa tahan dan bangkit untuk melihat keadaan di luar sana.

Hatinya begitu sesak membayangkan sang suami bercinta dengan wanita lain. Apalagi demi seorang anak yang belum bisa ia berikan. Kegelisahannya bertambah saat mendengar sebuah suara dari dalam kamar pengantin baru itu.

“Nyonya Amalia, sedang apa?” tanya Bi Rukmini—asisten rumah tangga di rumah itu.

“Aku hanya sedang berpikir. Tidak tenang berada di dalam. Bibi tahu, kan wanita mana yang akan tenang jika tahu suaminya sedang bercinta dengan wanita lain.”

“Saya paham, tapi itu keputusan Nyonya besar.” Bi Rukmini mencoba menjelaskan.

“Tapi ini rumah tanggaku, Bi,” ujar Amalia.

“Tapi keturunan bagi keluarga Wicaksono adalah wajib. Apalagi Edward adalah pewaris tunggal. Bagaimana bisa jika tidak ada keturunan?” Madam Syin menghampiri Amalia dengan tatapan sinis.

“Mi, beri aku waktu,” pinta Amalia.

“Waktu apa lagi, sudah 8 tahun kami menunggu. Masih bagus tidak kuminta Edward menceraikan kamu, malah dia menjadikan syarat setuju menikah asal masih bisa mempertahankan kamu.”

Amalia tertunduk lesu mendengar ucapan sang mertua. Baginya, hal itu seperti belati yang menusuk jantung dan membuat luka teramat dalam. Kedua insan saling mencintai tanpa harus peduli ada atau tidaknya keturunan di antara mereka.

“Wanita mandul seperti kamu bisa-bisanya dipertahankan Edward. Apa lebih kamu, sih? Kalau Mami pikir, Yura lebih cantik,” ujar Madam Syin.

Ibu mertua Amalia melenggang masuk ke kamarnya tanpa peduli dengan penuturannya yang begitu menyakitkan bagi sang menantu.

“Sabar Nyonya Amalia,” ucap Bi Rukmini.

“Bibi sama saja, mendukung Mami, bukan?” Senyum sinis tersungging dari bibir Amalia.

Sang asisten rumah tangga itu bergeming. Siapa tidak tahu jika Bi Rukmini itu adalah pelayan setia Madam Syin. Apa yang diperintahkan sang majikan, wanita tua itu selalu berusaha untuk melakukan dengan sungguh-sungguh.

Amalia kembali menuju kamar, tapi ia terkejut dengan sebuah kecupan yang mendarat di leher jenjangnya.

“Edward? Kamu—“

Tak sempat menjawab, Edward sudah memeluk sang istri dan membawanya ke ranjang biasa mereka memadu kasih. Seharusnya, malam Edward bersama Yura bukan Amalia.

***

Yura memandang cermin, ia menatap wajahnya yang lebam akibat hantaman Edward. Bukan malam pertama yang indah didapatkannya. Namun, kepedihan dari sang suami. Yura meremas dada yang kian terasa sesak. Bagaimana pun caranya, ia harus memiliki anak dari pria itu.

Dia terdiam saat melihat benda tajam di meja rias. Pikirannya menjadi kacau saat tangannya menggapai gunting itu. Jika ia mati, mungkin semua beban hidupnya akan hilang dan tak usah menerima kembali cercaan dari pria yang baru saja menikahinya.

Namun, ia kembali mengingat nasib kedua orang tuanya yang mungkin akan masuk bui jika dirinya mati nanti. Yura sungguh tak sanggup menghadapi masalah pelik itu. Bahkan, dia seperti tak ada harga dirinya di depan Edward.

Yura kembali menangisi takdir yang begitu kejam padanya. Ia tak bisa melakukan apa pun selain menangisi semua yang kini terjadi.

Menjadi istri kedua membuatnya membantin begitu dalam. Seperti hina saja saat ia harus dinikahkan dan semua memandang ia sebagai perusak rumah tangga orang. Namun, bukan itu yang ia inginkan, keadaan yang membuat semua seperti itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status