“Aa mau ke mana?” Nirmala menatapi Izhar yang menggunakan jaketnya malam itu. “Ibu udah tidur?” tanya Izhar seraya menatap balik ke arah Nirmala. “Udah, kenapa? Aa mau ketemu Ayesha di belakang Ibu?” tanya Nirmala lagi. Izhar menghela nafasnya sejenak. “Mala, Aa harus ngasih Ayesha kepastian tentang ini. Sejak Aa bilang kalau Aa bakal pulang hari ini, Ayesha jadi enggak membalas pesan Aa atau mengangkat telepon dari Aa,” jelas Izhar. “Bukannya itu udah jelas, A? Berarti Ayesha juga menghindari Aa. Ayesha yang mau ini semua. Ayesha yang mau cerai,” tekan Nirmala berusaha meyakinkan Izhar. “Aa pengen dengar itu semua dari Ayesha. Kenapa kamu menahan Aa kayak gini? Apa semuanya yang kamu ucapkan enggak benar?” Izhar berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Nirmala. Nirmala seketika terdiam. “Izinkan Aa pergi, Aa enggak akan lama,” janji Izhar seraya mendekat ke arah Nirmala. “Aa enggak tahu rasanya jadi aku.
“Aa ada janji pertemuan buat bicara tentang kerjaan. Aa enggak akan lama, kok.” Izhar berpamitan pada Nirmala yang sudah pasti akan menahannya untuk pergi lagi. “Yakin itu tentang kerjaan?” tanya Nirmala berusaha mengkonfirmasi lagi pernyataan Izhar. “Iya, Sayang.” Izhar menghela nafasnya berusaha meyakinkan Nirmala. “Kamu enggak akan anter Nirmala buat periksa kandungannya hari ini?” tanya Mayang yang baru keluar kamarnya dan menemukan Izhar yang sudah hendak pergi pagi itu. “Janjian sama dokternya sore ini, kok. Nanti Aa jemput, kamu siap-siap aja sekitar jam 14.00.” Izhar kemudian pamit kepada ibu dan istrinya untuk pergi. Dia segera keluar dan tampak bergegas. Dia tampak gelisah lantaran harus berbohong kepada istri dan ibunya untuk menemui Ayesha. Toh, dirinya berbohong juga untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya dengan Nirmala. Izhar pergi dengan mobilnya menuju ke rumah sepupu Ayesha—Devan. Dia ingin menemui Ayes
Izhar mendekati Ayesha dan tanpa ragu memeluknya sebagai pelepasan rindunya. Sementara Ayesha yang masih setengah sadar dari tidurnya kini terdiam sambil memegangi pundak Izhar. Ada perasaan hangat di hatinya saat Izhar memeluknya erat seperti itu. Membuat Ayesha tak ragu untuk memejamkan matanya dan tangannya perlahan membalas pelukan Izhar. Pelan tapi pasti, Izhar membawa Ayesha ke posisi yang lebih nyaman dan membiarkannya terbaring lagi. Ayesha menatapi Izhar yang perlahan melepaskan pelukannya dan melakukan kontak mata dengannya. Ayesha sendiri tampak terhipnotis oleh Izhar. “Ay, Aa kangen kamu. Ay, boleh enggak?” Izhar meminta izin Ayesha dulu. “Hah?” Ayesha yang pandangannya kosong menatap Izhar tak mencerna dengan baik maksudnya. “Aa kangen sama kamu. Aa lagi mau kamu sekarang. Boleh?” pinta Izhar lagi. “Oh, ya.” Ayesha tampak linglung menatap Izhar, dia tak sadar jika yang terjadi itu sungguh terjadi. Dia pikir ini
“Aa bakal bilang kalau Bibi Diana yang sempat telepon Aa karena enggak kunjung menjemput kamu. Jadi, Aa harus menjemput kamu sesegera mungkin. Itu yang bakal Aa bilang ke ibu sama Mala,” jelas Izhar saat mereka berdua dalam perjalanan pulang. Ayesha hanya diam. Dia memang ingin bersama Izhar. Namun masih ada keinginan untuk tak bersama Izhar juga. Hatinya tak menentu dan dirinya tak bisa memutuskan dengan cepat. “Kenapa Aa mau mempertahankan Ay? Lagian Ay enggak hamil, Aa bisa aja menceraikan Ay secepat yang Aa mau. Toh, selagi hubungan kita juga belum lama.” Ayesha mendesah pelan. “Memang belum lama. Tapi itu pasti akan berbekas lama di ingatan Aa. Alasan Aa mempertahankan kamu ... singkatnya karena Aa sayang sama kamu,” jawab Izhar seadanya. Ayesha menyinggung senyum kemudian. Dia kadang tak percaya dengan ucapan manis seorang pria. Dia sering mendapatkan pernyataan bohong seperti itu sebelumnya. Namun dia lupa, jika kasih sayang yang sesung
Izhar menemani Nirmala memasuki ruangan dokter dan membantunya naik ke brankar pasien. Dokter Maryam adalah teman Nirmala sewaktu mereka di pesantren. Untuk itulah, mudah bagi Nirmala membuat janji dengan dokter yang merupakan temannya itu. “Wah, alhamdulillah! Turut senang dengar kabar kamu hamil,” ucapnya. “Iya, alhamdulillah.” Nirmala berbaring di atas brankar. Maryam menyingkap sedikit atasan yang digunakan Nirmala dan mengoleskan gel ultrasonik di perut Nirmala dan mengambil alat khusus seraya meratakan gel yang baru dioleskan ke perut Nirmala. Izhar melirik ke layar di mana tampak gambar yang ditampilkan, di mana itu adalah bayinya yang masih berukuran sebesar kacang tanah. Izhar seketika tersenyum senang melihatnya, dia melirik Nirmala yang tengah memperhatikan reaksinya. Ini yang mereka tunggu setelah sekian lama. “Dari hari pertama haid terakhir, kurang lebih usia kandungannya seharusnya sebulan atau sekitar empat minggu. Ta
Ayesha menuruni tangga yang curam untuk makan malam. Perutnya keroncongan karena tidak makan sama sekali. Dia punya sereal kesukaannya di dapur jika memang tidak ada makanan lain. Dia mendekati dapur dan mengintip apa yang ada di bawah tudung saji, apa yang bisa dia makan. Sayangnya itu kosong dan membuatnya mendecak pelan. Dia melewatkan makan malamnya, lagi. “Kamu cukup lancang juga untuk mencari makanan saat rumah sepi.” Ayesha terkejut setengah mati mendengar suara Mayang di tengah malam. Dia tersentak dan menatapi ibu mertuanya yang berdiri tepat di dekat dapur. Ayesha mengelus halus dadanya. “Kamu berharap ada sesuatu yang bisa kamu makan? Masaklah sesuatu sendiri! Kamu berharap Mala atau saya mau melayani kamu meski hanya dengan memberi kamu makan?” “Enggak juga. Cuman kalau ada makanan sisa, bukannya sayang kalau didiemin semalaman?” balas Ayesha, dia cukup realistis. “Kami juga bukan tipe orang yang mubazir soal ma
Izhar menatap ke arah kamar Ayesha saat hendak sarapan pagi itu. Dia melihat Mayang yang sedang membantu Nirmala menyiapkan sarapan. Mayang tampak manis pada menantunya yang sedang hamil itu. Izhar hanya tersenyum kecil melihat hubungan mereka berdua kembali baik. Izhar tak lupa akan Ayesha yang sekarang dalam pengasingan. Pria itu kemudian membawakan piring yang sudah diisi makanan untuk dibawa ke kamarnya Ayesha. Dia juga harus memantau kondisi Ayesha, semarah apa pun padanya, sebesar apa pun kesalahannya. “Aa mau ke mana?” Nirmala menatapi Izhar yang membawakan makanan dan minuman itu. “Aa harus cek kondisinya Ayesha. Aa yakin dia ngambek sekarang dan enggak akan mau turun buat makan. Sekalian Aa mau negur Ayesha juga,” jawab Izhar. “Enggak usah dibawain makanan juga, nanti kebiasaan manja kayak gitu. Kalau memang lapar, nanti juga pasti turun kayak semalam. Nunggu rumah sepi, habis itu dia nyari-nyari makanan di sini,” bals Mayang dengan n
Nafas Ayesha menderu di pelukan Izhar. Dia akui, dia senang berada di dekat Izhar dengan keadaan seperti ini. Jantungnya berdebar kencang setiap kali sehabis melakukannya. Dan ada perasaan yang kadang membuatnya egois ingin Izhar terus seperti ini, senantiasa membutuhkannya. “Kamu mencapai pelepasan kamu?” tanya Izhar berbisik. Ayesha kemudian memukul lengan besar pria itu. Dia lantas menatapi Izhar yang terkekeh sambil meringis. “Pertanyaan apa-apaan itu?” Ayesha tak nyaman dengan pertanyaan dari Izhar tersebut. “Salahkah bertanya kayak gitu sama istri sendiri? Itu buat memastikan kalau kamu juga puas. Aa enggak mau, kamu berpikir Aa menggunakan kamu untuk melampiaskan nafsu Aa semata. Aa mau kamu menikmati juga. Supaya kamu ikhlas setiap kali melakukannya, supaya kamu merindukan—”“Cukup!” Ayesha kemudian memerah dan menutup mulut Izhar yang terus bicara saat itu. “Kamu tersipu? Kamu merah sekarang,” goda Izhar memperhatikan wajah istrinya tersebut. “Enggak,” sangkal Ayesha se