Share

Bab 1 Pertemuan Pertama

"Tapi aku tidak mau menikah dengannya. Bibi tolong cobalah mengerti. Aku berjanji aku tidak akan merepotkanmu atau anakmu lagi. Kumohon, Bi." Gadis bernama Sadia itu meratap, pelupuk matanya berkaca-kaca, memohon belas kasihan bibinya. Ia benar-benar tak ingin menikahi lelaki brengsek yang ia temui beberapa hari yang lalu.

"Berhentilah merengek. Berhenti membuatku merasa seolah-olah aku telah melakukan kejahatan besar. Seharusnya kau bersyukur, ada orang sekaya itu yang mau menikahimu. Kalau bukan dia, mana ada pria yang tertarik denganmu? Sekarang, berhentilah bertingkah begitu keras kepala!" Wanita itu membentak, tak sedikitpun ingin memikirkan perasaannya.

Tak ada yang mengerti perasaannya. Bahkan, Naya, adik kandungnya sendiri pun tak mau membantunya. Sadia telah melakukan banyak hal karena ia begitu menyayangi adiknya itu, namun semua itu sama sekali tak terbalas.

Ia sudah terbiasa menangis sendirian tanpa pernah menunjukkannya di depan orang lain. Namun, hari ini, semuanya berbeda. Hari ini, semua mimpinya hancur.

***

DUA HARI SEBELUMNYA

Hari itu, Sadia diberitahu oleh Alya, bibinya, bahwa akan ada tamu yang datang. Mereka berencana untuk mempertemukan putra mereka dengannya. Bibinya terus mengatakan padanya jika putra mereka setuju untuk menikah dengannya, maka ia akan menjadi gadis yang sangat sangat beruntung.

Keluarga itu akan datang untuk makan malam sekaligus membicarakan tentang perjodohan mereka. Sekitar jam setengah delapan, bel pintu berbunyi menandakan bahwa tamu yang dinanti telah tiba.

Ketika tamu itu masuk, Sadia masih berdiam diri di kamarnya. Namun mau tak mau ia harus mengikuti keinginan bibinya untuk menemui mereka. Ia menyetujuinya bukan karena ia tak mampu mendapatkan laki-laki lain, namun karena rasa hormatnya terhadap paman dan bibinya, ia tak ingin mempermalukan mereka. Meskipun mereka sama sekali tak pernah menyayangi Sadia. Mereka hanya menyayangi Naya, bahkan selalu memujinya. Dan, itu sudah cukup bagi Sadia untuk melihat adiknya bahagia.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, bibinya membelikannya sebuah gaun. Sadia begitu senang menerima gaun yang begitu indah itu, ia memadukan gaun itu dengan hijab berwana serasi. Ia memakainya lalu beranjak ke ruang tamu, menemui wanita yang sedari tadi sudah berbincang-bincang dengan paman dan bibinya. Entah kenapa, ia merasa jantungnya berdegup kencang.

"Assalamu'alaikum," ucapnya lirih, hampir tak terdengar seolah berbisik pada diri sendiri. Ia sempat ragu apakah orang lain bisa mendengarnya.

"Walaikumus salam Sadia. Kemarilah," ucap wanita paruh baya yang sepertinya akan menjadi ibu mertuanya. Wanita itu mengisyaratkannya untuk duduk di sebelahnya.

"Maa Syaa Allah, kau terlihat cantik." Wanita itu berseri-seri sambil menatap wajah Sadia.

Sadia merasa tenang setelah berbicara dengan calon ibu mertuanya, ia terlihat baik. Sesaat kemudian, mereka sudah asyik mengobrol. Wanita itu menanyakan banyak hal padanya, tentang hobi, pekerjaan, dan sebagainya.

"Oh iya Risa, di mana Husam? Bukankah kita mengatur pertemuan ini untuknya?" Bibi Sadia menanyai wanita yang duduk disampingnya. Entah kenapa, baru mendengar nama pria itu saja sudah meningkatkan detak jantung Sadia dan mengubah suasana dalam pikirannya menjadi penuh hiruk pikuk.

"Umm.. dia sedang dalam perjalanan," jawabnya sambil melirik jam tangannya. Setelah itu, mereka melanjutkan perbincangan mereka. Ia mengatakan bahwa suaminya tidak bisa ikut hari ini karena masih berada di luar kota dan baru akan pulang Minggu depan.

Tiba-tiba semua orang tersentak kaget sembari menoleh ke arah pintu ketika terdengar kegaduhan dari sana.

"Itu dia. Husam, dari mana saja kamu?" Ibunya langsung menginterogasinya. Suaranya yang tajam menunjukkan bahwa ia begitu kesal.

Sadia tak berani menatap pria yang berada di depan pintu itu, namun dari sudut matanya ia bisa merasakan bahwa pandangan pria itu tertuju padanya. Ia beringsut merasa tak nyaman, jantungnya berdegup tak karuan.

Pria itu tak kunjung masuk, ia masih berdiri di sana. Tak lama kemudian terdengar suara kegaduhan lain, menandakan bahwa seseorang yang lain juga telah datang, mungkin teman pria itu. Tapi semua orang berhenti berbicara, menambah kecemasan di hati Sadia. Membuatnya terpaksa melakukan satu hal yang membuatnya menyesal. Ia mengangkat kepalanya dan saat itu juga matanya bertaut dengan sepasang mata cokelat terang yang mempesona dan membuatnya seolah-olah tenggelam di dalamnya. Ia tak mampu menggambarkan betapa tampan pria itu, karena otaknya bahkan tak mampu menjelaskan apa yang sebenarnya terlihat oleh matanya.

Pria itu menatap Sadia dalam-dalam, membuat pipinya memanas dan tanpa sadar ia mengigit bagian dalamnya dengan keras hingga rahangnya terasa sakit. Dengan segera, ia mencoba untuk menurunkan pandangannya, namun itu tidak terjadi. Belum pernah ia melihat seseorang yang begitu tampan dan mempesona.

Tapi semua itu memudar begitu saja ketika ia melihat seorang gadis jelita bermata indah, bibir ranum dan hidung lancip begitu serasi di wajahnya. Rambut ikal kecoklatannya tergerai begitu saja di belakang tubuhnya, menambah keanggunannya. Lengan gadis itu melingkar erat pada pinggang pria di sampingnya. Lengan pria itu tergerak melingkar di bahu gadis itu sembari tersenyum sinis menatap Sadia. Mulut Sadia ternganga.

"Husam, apa-apaan ini? Siapa gadis itu?" Wanita itu berdiri dari sisi Sadia dan bergegas menghampiri pria bernama Husam itu. Saat itulah, Sadia tersadar tinggal ia sendiri yang masih duduk terpaku di tempatnya.

Pria itu mencoba melangkahkan kakinya untuk pergi, namun ia tersandung. Terlihat jelas bahwa ia sedang mabuk. Matanya pun sembab seolah habis menangis. Pria itu tak lagi menatap Sadia, ia mengalihkan pandangannya pada ibunya.

"Kenapa ibu tidak mendengarkanku? Sudah kubilang aku tidak akan menikah dengan siapa pun!" pria itu berteriak. Sadia menatap kasihan pada wanita itu yang terlihat malu dan tak bisa mengatakan sepatah katapun.

"Haah! Haah! Ini jalang kecil yang kau pilihkan untukku. Serius ibu? Apa yang kau lihat dalam dirinya?"

Sadia menelan saliva yang mengganjal di tenggorokannya ketika ia mendengar pria itu mengucapkan kata-kata makian untuk dirinya. Apa yang telah ia lakukan? Ia tak habis pikir tentang apa yang pria itu katakan.

"Beraninya kamu!" hardik Sadia. Pria itu sontak menoleh ke arahnya, api kemarahan menyelimuti netra cokelat terang yang tersemat di matanya itu. Sadia berusaha untuk tidak memperhatikan betapa tampannya pria itu, namun semua usahanya sia-sia.

"Jadi, jalang kecil ini tahu bagaimana berbicara, huh?" ucapnya dengan sinis.

Sadia bisa merasakan pria itu memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki, hingga sesaat kemudian ia membentak kembali. "Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku akan menikahimu? Apakah kamu tidak melihat dirimu di cermin?"

Sadia tidak pernah merasa dirinya cantik. Ia selalu merasa baik-baik saja dengan penampilannya yang sederhana. Tetapi ketika ada orang lain yang menghinanya, itu terasa begitu menyakitkan untuk didengar. Hingga, tanpa sadar, ia menangis.

"Cukup Husam! Sudah cukup!" Ibu pria itu mengomel padanya.

"Tapi itu salahmu ibu. Kau.. kau tahu bahwa aku tidak ingin menikah dengan siapa pun!" Pria itu menjawab kembali, kemudian mendekat ke arah Sadia dengan langkah terseok-seok, tersandung setiap dua langkah. Sadia terdiam dipenuhi kegugupan, ia berpikir bagaimana jika pria itu memukulnya.

Pria itu menghentikan langkahnya tepat di hadapan Sadia lalu membuka mulutnya. "Sekarang, kau dengarkan aku." Pria itu menunjuk tepat di wajah Sadia sambil menatapnya tajam.

"Hilangkan keinginanmu untuk menikah denganku, karena kau tidak tahu siapa aku dan apa yang bisa kulakukan."

Sadia benar-benar tak mendengar sepatah katapun darinya. Ia terpikat oleh sepasang netra cokelat terang yang menawan di hadapannya. Ia menyadari ada sesuatu yang salah dalam dirinya.

Setelah mengatakan itu, pria itu membalikkan tubuhnya lalu melangkah keluar. Gadis di sampingnya meniru tindakannya.

Sadia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, semua orang terperangah sama seperti dirinya. Setelah meminta maaf pada keluarganya, ibu pria itu juga pergi.

Sadia terpana dengan aksi kecil yang pria itu lakukan. Tak seorang pun di rumah itu yang mengatakan apa pun setelah mereka pergi. Seolah-olah itu tidak pernah terjadi.

Kemudian malam itu ia berbaring di tempat tidur kecilnya, menunggu kantuk untuk mengambil alih kesadarannya, namun itu tak kunjung terjadi. Sepasang mata cokelat terang itu terus membayangi pikirannya. Ia mengerang frustasi.

Tak lama kemudian ponsel Sadia berdenting, menandakan bahwa ia menerima sebuah pesan. Ia menggeser layar ponselnya lalu membaca pesan yang terpampang di sana, membuatnya benar-benar kehilangan kesempatan untuk memejamkan mata malam ini.

Pesan itu ditulis dengan huruf kapital dan dikirim oleh nomor yang tak dikenal.

[ TEMUI AKU DI KAFE EL MOUNTE BESOK JAM 4 SORE. JANGAN BERANI MENOLAK ]

[ HUSAM ALHARIS ]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status