Raisa duduk anggun di meja rias, dikelilingi para pelayan yang membantunya dan berias, sama sekali bukan kebiasaannya namun disini ia dituntut harus seperti ini.
Setelah selesai, Raisa tersenyum manis pada mereka. "Terimakasih." "Ini sudah menjadi tugas kami, Nyonya Muda." Kemudian para pelayan pun pergi dari kamarnya satu per satu, meninggalkan Raisa sendirian. Dalam kesendirian itu, Raisa teringat akan Dinda, dan ibunya yang baru saja menjalani operasi. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Dinda untuk menanyakan kabar ibunya. "Dinda, gimana keadaan ibu? Operasinya berhasil kan?" tanya Raisa dengan suara yang penuh kecemasan. "Tenang, Sa. Operasinya berhasil kok, dan sekarang Bibi sedang dalam masa pemulihan," jawab Dinda dengan suara yang meyakinkan. Raisa merasa lega mendengar kabar itu. "Aku ingin bicara dengan ibu, apa boleh?" Dinda menarik napas sejenak sebelum menjawab, "Maaf, Raisa. Tapi Bibi sedang istirahat. Dokter menyarankan agar beliau tidak terlalu banyak bicara untuk sementara waktu." Mendengar hal itu, Raisa menghela napas dan mengerti situasinya. "Baiklah, Dinda. Terima kasih ya, beri tahu aku kalau ada perkembangan tentang ibu." "Siap, Rais. Semoga pekerjaanmu hari ini berjalan lancar. Doaku selalu menyertaimu," ujar Dinda sebelum mereka mengakhiri percakapan. Raisa meletakkan ponselnya dan menatap dirinya di cermin, berusaha menyemangati diri sendiri. Mahesa berjalan menuju mobil yang akan mengantarnya ke kantor. Ia teringat saran Zara untuk mengambil libur dan menikmati waktu berdua dengan Raisa demi keberhasilan pembuahan. Namun, rencana itu harus ia batalkan karena sekretarisnya mengabarkan ada masalah mendesak di kantor yang membutuhkan kehadirannya. Di dalam mobil, Mahesa duduk di kursi penumpang sambil memandangi pemandangan di luar jendela. Pikirannya melayang jauh, Mahesa merasa ada sesuatu yang berbeda pada malam itu. Sopir itu melirik ke arah kaca spion, terlihat Mahesa yang hanya diam namun matanya bergerak-gerak seperti gelisah. Ia mencoba untuk tidak terlalu peduli, namun rasa penasaran dan kekhawatiran mulai menguasainya. Ia akhirnya memutuskan untuk bertanya, "Pak Mahesa, apa Bapak tidak enak badan?" Mahesa menjawab, "Tidak." "Tapi, Pak, kalau Bapak sakit atau ada masalah, tolong beritahu. Saya khawatir kalau sampai kenapa-napa," ujar sopir itu dengan nada tulus. Mahesa menghela napas dalam, kemudian menegaskan, "Apa perlu saya ulangi?" "T-tidak Pak." Sopir itu menggelengkan kepala, lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada jalan. Di rumah sakit, Bu Mira perlahan membuka matanya, merasa cahaya yang masuk ke ruangannya terasa begitu menyilaukan. "Bibi Mira, bagaimana perasaan Bibi sekarang?" tanya Dinda dengan wajah khawatir. "Aku... masih lemas, Nak," jawab Bu Mira dengan suara serak. "Bagaimana dengan Raisa? Apa dia memberi kabar?" Dinda tersenyum kecil, mencoba menenangkannya. "Raisa tadi menelpon, Bi. Dia ingin berbicara dengan Bibi, tapi karena Bibi sedang tidur, dia memutuskan untuk kembali bekerja dulu. Raisa bilang dia akan segera datang begitu ada kesempatan." Bu Mira menghela napas lega, meskipun tubuhnya masih terasa lemas, setidaknya dia bisa merasa sedikit tenang mengetahui Raisa baik-baik saja. Dia merasa bersyukur karena memiliki Dinda yang selalu setia menemaninya di saat-saat sulit seperti ini. Dinda mengambil segelas air putih dari dispenser dan memberikannya pada Bu Mira. "Ini, Bu, minum air dulu." Bu Mira menatap Dinda dengan pandangan yang lemah. "Makasih ya, Din." Tangannya yang gemetar mencoba meraih gelas air, tetapi Dinda segera membantu dengan menopang tangan Bu Mira agar air tidak tumpah. "Bibi sangat bersyukur kamu mau datang merawat Bibi," bisik Bu Mira setelah menyesap air yang disodorkan Dinda. Dinda tersenyum tipis, mengusap peluh di dahi Bu Mira dengan lembut. "Tidak usah berterima kasih, Bi. Ini juga kewajiban Dinda sebagai tetangga sekaligus sahabatnya Raisa," balas Dinda.Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan