Bisikan dari Nico, menggema ke gendang telinganya, membuat Ezra tidak bisa lagi menahan kesabarannya.
"Tapi bukan Tante Helena juga, Yah. Aku tidak terima!" sentak Ezra ditemani netranya berubah merah, menahan amarah yang tak mungkin diluapkan. Karena wanita berpakaian seksi itu menghadang, berdiri di tengah-tengah."Helena siapa, Mas?" tanya wanita bertubuh seksi itu. "Sebaiknya kamu pergi. Jangan ganggu urusan Ayah!" ujar Nico menatap tajam padanya, ia bergegas pergi sambil menggandeng tangan wanita seksi itu.Ezra mendengus kesal. Ia beranjak kembali masuk ke mobil. Mengacak-ngacak rambutnya yang tertata rapi. Bingung, berkutat di dalam pikirannya yang terus mencari solusi.Brugh! Ezra membanting pintu kamarnya, bahkan merentangkan tubuh di atas ranjang tanpa melepas jas hitam yang di kenakannya."Ezra, keluar!" teriak Nico.Pria muda yang sedang menenangkan pikiranya, mendengus kesal. Bergegas menemui sang ayah yang berada di balik pintu."Ada apa?""Baru kali ini kamu peduli kepada wanita yang dekat dengan Ayah. Asal kamu tahu, seminggu kemudian Ayah akan menikahi Helena, itu tandanya tidak ada wanita lain selain dirinya, Ezra!" jawab Nico dengan nada tinggi."Apa aku peduli dan percaya? Apa di mata Ayah aku anak yang bodoh? Tidak tahu sudah berapa wanita yang dinikahi Ayah?" Sindiran dari Ezra, membuat Nico terbelalak."Kau!" Nico menunjuk sang anak dengan tatapan tajam, bukannya takut nyatanya Ezra justru tertawa terbahak-bahak."Apa? Lima wanita yang sudah Ayah nikahi sampai akhirnya Ayah sendiri yang tega menceraikan mereka tanpa sebab, Ayah pikir aku akan diam saja melihat nasib Tante Helena ke depannya?" Ezra meluapkan pertanyaan-pertanyaan yang memutari pikirannya sejak lama."Jangan-jangan kamu mencintai Helena juga, ya?" Ezra mengangguk."Aku mencintainya pakai hati, bukan mengutamakan nafsu!" Ezra masuk ke kamar dengan membanting pintu kencang, membiarkan Nico mengerang di balik pintu.Sikap pendiam yang di perlihatkan kepada sang Ayah bukan tanpa sebab. Melainkan ia menyimpan banyaknya dendam atas perlakuan tidak baik Nico kepada wanita. Padahal saat Ibunya masih ada, Ezra mengagumi sang Ayah yang begitu setia dan selalu meluangkan waktu kedekatannya. Sekarang, kekaguman itu ia kubur dalam-dalam. Diganti dengan kebencian atas perubahan sikap Nico kepadanya."Kamu sudah gila, Ezra. Untuk apa mencintai Helena yang berbanding jauh usianya denganmu!" teriak Nico yang masih tidak terima."Yang gadis belum tentu perawan, bukan?" teriak Ezra lebih kencang."Sekarang ayah pilih, menikah dengan Tante Helena dan biarkan aku pergi, atau biarkan aku berjuang mendapati Tante Helena, dengan begitu Ayah puas menikmati ribuan wanita tanpa aku larang?" Nico mengacak-ngacak rambut frustrasi, ia pun membantingkan tubuhnya ke sofa. Hanya sebotol wine yang bisa menemaninya saat ini, ia mengambil minuman keras itu yang berada di depannya dan meneguknya."Astaga ... Pilihan macam apa, itu!" gumam Nico tertawa terbahak-bahak. Ia sudah memasuki alam lain karena pengaruh dari minuman itu.Pagi hari ...Perdebatan malam itu membuat Ezra dan Nico sama sekali tidak bertegur sapa. Meskipun jarak keduanya hanya beberapa meter saja, mereka fokus dengan gawai canggihnya masing-masing."Ezra, kamu mau pergi ke mana?" tanya Nico basa-basi. Melihat Ezra bangkit, melangkah pergi melewatinya."Jawab pertanyaanku. Jika Ayah tetap diam, itu tandanya Ayah memilih aku pergi!" ancam Ezra, membuat Nico mendadak bingung kembali. Rasanya menyesal bertegur sapa dengannya, bukannya berdamai, sang anak masih melanjutkan perdebatan yang belum usai."Demi cinta apa kamu tega meninggalkan Ayah?" tanya Nico."Selama Ibu gak ada, apa Ayah memberikan perhatian kepadaku? bahkan pernikahan Ayahku sendiri, aku tahu dari orang lain!" sindir Ezra.Meskipun rasa sakit itu sudah di rasakan beberapa bulan yang lalu, tetapi Ezra tidak bisa melupakannya. Kepedihan yang di kubur pun, bukannya tenggelam malah semakin menyayat hati. Nico menghela napas panjang. Pagi hari yang seharusnya membuat hati damai, kini malah membuat suasana kembari keruh, terutama suasana hati.Ezra yang saat ini sudah berada di mobil untuk kepergiannya ke kantor, ia bergegas mengambil gawai canggihnya di saku celana. Hatinya tidak tenang, jika Helena belum aman di tangannya.[Tante ... aku mohon jauhi Ayah.]****“Aku sangat mencintaimu, Nico. Kenapa sekarang kamu jarang menghubungiku?” tanya Helena kepada diri sendiri. Sambil memandangi raut wajah sang kekasih yang terpampang di ponselnya.Helena tidak punya kesibukan lain kecuali mengurus anaknya yang sebaya dengan Ezra, membuat kehidupannya terasa jenuh karena tidak melakukan aktivitas lain. Namun, bukan berarti tidak punya pemasukan. Mengingat kekasihnya yaitu Nico selalu memberikan uang. Tak hanya itu, barang mewah serta rumah besar yang di tempatinya, pemberian sang kekasih.Ting!"Omong kosong macam apa, ini?" gumam Helena menggeleng kepala. Wanita berusia 39 tahun itu menyunggingkan bibir setelah membaca pesan dari Ezra.Jam dinding sudah menunjuk angka 5 sore, akhirnya ia bangkit dan keluar dari kamar.Ting! Helena mendengus kesal, ia baru saja melangkah sampai depan pintu, sudah mendengar kembali ponselnya berbunyi yang menganggap pesan itu dari Ezra lagi. Karena penasaran, ia mengambil gawai canggihnya yang tergeletak di tas ranjang.[Sayang, nanti malam aku jemput, ya? Maaf jika beberapa hari ini aku tidak memberi kabar.]Senyum kecut darinya berubah menjadi senyum semringah. Ternyata kekasihnya yang mengirim pesan. Kedekatannya dengan Nico beberapa minggu ini memang sempat renggang. Sang kekasih jarang menemuinya bahkan memberi kabar pun terhitung tiga kali dalam sehari. Dress hitam selutut dengan rambut tergerai panjang sudah menghias di tubuh Helena. Tak lupa ia menggunakan make up. Mengoleskan lipstik berwarna nude, dengan anting bulat tertempel di daun telinganya."Mas Nico?" gumam Helena, menghamburkan senyum semringah. Saat mendengar suara bel di balik pintu rumahnya."Hai, Mas," sapa Helena. Yang datang tak lain adalah kekasihnya— Nico, ayahnya Ezra."H–Hai,” jawab seorang pria menggunakan jas hitam terbata-bata.Sang kekasih terpaku melihat kecantikan Helena. Netra coklat yang bening, bibir merah muda yang menggoda, bahkan tubuh putih dari pemilik nama Helena itu membuat desiran darah melonjak. Bagian tubuh yang mencetak jelas di dada. Itulah yang menjadi sorot pandangnya. "Silakan masuk!" Helena mengajak Nico masuk ke dalam rumah. Pria gagah itu melangkahkan kaki pelan sembari menelan saliva berat. Tergoda dengan Helena yang melenggak-lenggokkan bagian tubuh yang menonjol, sangat menggiurkan. Tatapannya semakin memikat pada dirinya."Duduk dulu, Mas. Aku ke belakang sebentar," ujar Helena setelah keduanya berada di ruangan utama.Nico mengangguk, tak rela mengedipkan mata yang masih terhipnotis dengan keanggunan wanitanya.Tak lama menunggu, Helena datang sembari membawa dua cangkir teh di atas nampan. Wanita itu sengaja duduk di depan sang kekasih. "Silakan, Mas," Ia menyuguhkan minuman yang dibawa. Nico segera menerimanya, tenggorokan seketika kering melihat posisi duduk wanita itu yang semakin membuatnya menggoda karena belahan paha yang tercetak jelas."Hmm ... Bagaimana kabarmu?" tanya Nico basi-basi."Baik. Kenapa Mas sekarang jarang memberi kabar padaku?" tanya balik Helena. Sengaja menumpangkan kaki di kaki yang lain, memperlihatkan bagian kaki yang bersih itu."Bahkan, mas melupakan hari ulang tahunku." Helena memasang raut wajah sedih.Nico tertegun, ia bingung harus menjelaskan apa kepadanya. Khawatir Helena marah jika tahu apa yang dilakukan di belakangnya."Mas?" tanya Helena lagi."Maaf. Sebenarnya Mas sedang sibuk menyiapkan pesta pernikahan kita," ujar Nico."Yakin menikah denganku?" tanya Helena."Kamu tidak percaya? Kalau begitu, sekarang kamu ikut denganku untuk pergi ke gedung pernikahan kita!"Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi