"Sial!" umpat Ezra, di atas ranjang.
Meski sudah ditepisnya, entah mengapa Helena terus saja menari-nari di pikirannya. Parasnya yang cantik dengan hidung bangir itu, tak jarang masuk ke alam mimpi Ezra. Bahkan ia terpesona dengan bentuk tubuhnya yang tidak seperti wanita berusia 39 tahun pada umumnya. Tidak ada garis keriput sama sekali di sekujur tubuhnya, kalah dengan gadis-gadis kembang desa di sana. “Ahh ... tante Helena, kenapa kamu begitu cantik, sih? Aku, ‘kan jadi pengen!”Ezra semakin menggila. Bahkan pria itu sudah berandai-andai menikahi ibu dari sahabatnya. Tak peduli umur berselisih 15 tahun, yang penting ia harus mendapatkan hati wanita yang mengelabui pikirannya.'Pokoknya aku harus mendapatkan tante Helena,' pikirnya.Diambilnya, ponsel lalu mengirimkan pesan pada Helena.[Tepat jam 8 malam, aku tunggu di Restoran biasa kita bertemu.]Di sisi lain, Helena mengulas senyumnya kala membaca pesan dari seorang yang tidak dikenal. Meski demikian, ia yakin bahwa sang kekasih yang mengajaknya pergi karena Helena tidak pernah keluar rumah dengan pria lain, selain dengan pujaan hatinya.Dengan cepat, Helena segera mengganti pakaiannya— meninggalkan secangkir teh hangat yang baru saja di buat."Nah, perfect!" Helena bercermin sembari berputar, ia merasa dirinya cantik sekali.Wanita keturunan Belanda–Indonesia itu sudah menggunakan dress selutut berwarna putih, membiarkan rambut hitam sebahunya tergerai rapi. Kecantikannya tak kalah dengan ratu Istana yang ada di buku-buku dongeng. Heels berwarna hitam mengeluarkan suara ke anggunan langkah kaki Helena, mengiringinya berjalan sampai ke depan mobil hitam. ****“Pokoknya, ke tampananku ini hanya untukmu, Tan!”Ezra berkaca ditemani jas dengan dasi hitam panjang. Ia terlihat gagah sekali apalagi rambutnya sudah tertata rapi. Ketampanannya selalu membuat daya tarik wanita-wanita seusianya, tetapi entah kenapa Ezra memilih wanita yang mulai menua.Sesampainya di restoran, ternyata wanita itu belum tiba, akhirnya ia memesan meja nomor 16 ditemani lilin menyala di tengah-tengahnya. Di sisi lain, setiba di restoran tersebut, tempat ia sering bertemu dengan kekasihnya, Helena celingukan mencari keberadaan Nico— kekasihnya. "Hai, Tan!" Helena membalikkan badan, saat seseorang menepuk pundaknya. "Ezra?" gumamnya. Ia tertegun mendapati anak kekasihnya.Helena memundurkan langkah, menjauh dari Ezra. "Kenapa kamu ada di sini?" "Apa Tante tidak sadar siapa yang mengirim pesan itu?" tanya balik Ezra dengan santai.Helena terbelalak sambil menggeleng. Ternyata ia salah dugaan. Anak dari kekasihnya yang mengajaknya dinner malam ini.Akhirnya ia membalikkan badan kembali, melangkah keluar dari restoran itu, tetapi Ezra segera meraih pergelangannya. "Mau pergi ke mana, Tan?" tanya Ezra, "Kita duduk dulu, yuk?" Helena menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeraman Ezra. Bahkan enggan untuk menoleh padanya. "Kenapa kamu mengajak Tante ke sini? Memalukan sekali!"Ezra mengernyitkan kening, perlakuan wanita itu jauh dari ekspektasinya. "Tante tidak suka? aku sengaja mengajak Tante ke sini, karena sudah lama aku menyimpan perasaan kepada Tante."Tak peduli banyak mata yang menjurus pasangan beda usia itu yang berdiri di tengah-tengah. Helena menoleh cepat ia menatap tajam padanya. "Banyak wanita yang lebih pantas denganmu. Memangnya kamu tidak tahu jika Tante menjalin hubungan dengan Ayahmu?" "Jelas saja aku tahu," jawab Ezra santai."Apa kamu pun tahu jika Ayahmu sudah janji akan menikahiku bulan depan. Ezra, anak tante saja belum berpikir tentang pernikahan. Bisa–bisanya kamu suka sama Tante, ibu dari sahabatmu sendiri?" cecar Helena. Ezra yang masih bersikap tenang menghadapi Helena. “Ikut Ezra dulu, yuk?”Ezra meraih jemari lentik wanita itu kembali. Menuntunnya untuk duduk di kursi yang sudah ia pesan. Rasanya tidak nyaman karena sampai saat ini mereka menjadi pusat perhatian pengunjung lain.Tak banyak mengulur waktu, Ezra mengambil sebuah kotak kecil perhiasan di kantongnya. Itu adalah sebuah cincin yang tak kalah bagusnya dengan yang di pakai oleh wanita berhidung bangir itu."Aku tidak peduli jika nantinya aku bersaing dengan Ayahku sendiri, Tan. Terimalah ..." Ujar Ezra menyodorkan kotak berwarna merah kepadanya.Helena menolak, ia menggeleng bahkan dengan cepat segera menarik tangannya saat sahabat anaknya akan melingkarkan cincin di jemari yang lain."Aku tidak mungkin menerimamu. Sebaiknya kamu cari wanita yang lebih pantas untukmu. Kamu sangat tampan. Tante yakin kamu mendapati wanita yang tak kalah cantiknya dengan Barbie," celetuk Helena bangkit, kemudian berjalan keluar dari restoran itu meninggalkan makanan yang tak secuil pun dinikmatinya.“Tante!”Ezra diam. Ia hanya bisa menatap punggung Helena yang terus menjauh dari pandangan. Sulit di percaya yang ternyata wanita pujaannya itu memilih untuk berhubungan dengan sang ayah. 'Tidak. Tante Helena harus menjadi milikku. Jangan sampai dia masuk ke dalam perangkap Ayah!'"Tante ... Tunggu!" teriaknya.Ezra mengusap wajah kasar. Berharap Helena masih ada di sekitar restoran itu, ia berlari keluar meninggalkan kotak beserta cincinnya di atas meja.“Kau benar-benar membuatku, gila!” teriak Ezra frustrasi.Malam hari yang di sambut cuaca dingin, tidak mengubah kesedihan Ezra. Ia membelah jalan ibu kota dibarengi berpikir keras mencari solusi untuk menjauhi Helena dengan Ayahnya."Astaga ... Apa yang harus aku lakukan? Masa aku terang-terangan bilang kalau Ayah tukang selingkuh?" Ezra memukul-mukul setir mobil karena frustrasi. Pikirannya sedang kacau sekali.Pria muda itu sering mendapati Nico— Ayahnya di sebuah club malam, dikelilingi wanita. Sebenarnya Ezra sudah muak melihat tingkah laku sang Ayah, tetapi mau bagaimana lagi, karena ia selalu kalah dengan kekuasaannya.“Ok, Ezra. Sekarang kamu harus bertindak! Jangan sampai kalah sama pak Tua itu!” gumamnya. Persetan yang merasuki tubuh Ezra kali ini sangat mendukung amarah yang sudah memuncak. ia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.Ciiiiittt!"A–ayah?" gumam Ezra mendadak menekan pedal rem. Saat mendapati sosok pria yang persis sekali dengan ayahnya di seberang jalan.“Dasar, pak Tua sialan!” tanpa sadar, jemari kekarnya mengepal. Melihat sang Ayah menggandeng seorang wanita bertubuh seksi.Ia berjalan dengan hati menggebu-gebu. Ini bukan kali pertamanya ia memergoki Nico berganti-ganti pasangan."Ekhem!" Hanya sekali deheman dari Ezra, mampu membuat pria paruh baya dan wanita seksi di sampingnya menoleh."Ini wanita yang ke berapa, Yah?" tanya Ezra dengan tatapan sinis. Pria yang masih menggunakan jas kantor itu memang benar ayahnya. Ia tertegun mendapati Ezra yang sudah penuh kebencian padanya, sementara wanita seksi itu bersembunyi di belakang tubuh Nico."Sejak kapan kamu peduli sama Ayah?" tanya Nico berusaha untuk tenang. Baginya Ezra adalah putra tunggal yang cuek. Karena tidak biasa Ezra marah saat memergokinya sedang berdua dengan wanita."Stop menyakiti hati wanita, Yah! Karena ada pria lain yang menyayangi wanita itu!" Sindiran dari Ezra membuat sang ayah mengernyitkan kening karena kebingungan. "Maksudmu?""tante Helena," jawabnya singkat.Nico tertawa kecil, ia menepuk pelan bahu sang anak dan berbisik padanya. "Dengar Ezra, di Indonesia ini sudah menjadi rahasia umum jika pria menikahi wanita lebih dari satu!"Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi