Suasana rumah itu kembali sunyi setelah pintu kamar tertutup di belakang Amelie. Adrian tidak bergerak. Ia hanya duduk di sofa dengan tangan bertumpu di lutut, memandangi lantai seperti mencari sesuatu yang tak terlihat.
Suaranya masih terngiang. “Aku gak punya waktu untuk pura-pura peduli.” Dan dia memang tidak peduli. Bahkan sejak lama. Adrian menghela napas panjang. Tapi tidak ada tekanan di dadanya. Hanya kelegaan—seperti beban yang perlahan tanggal satu per satu. Ia tahu, perceraian mereka hanya masalah waktu. Dan waktu itu… semakin dekat. Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah panggilan masuk. Amelie. Bukan untuknya, melainkan sedang berbicara lewat speakerphone. Suaranya terdengar dari balik pintu kamar yang setengah terbuka. “Aku gak bisa lama-lama nelpon, dia di rumah,” suara Amelie terdengar pelan tapi tajam. “Aku cuma mau tahu… jadi, minggu depan kita jPonsel Adrian masih tergeletak di meja, layar menyala, menampilkan pesan pendek itu. Hanya tujuh kata, tapi nadanya seperti pisau yang siap ditancapkan.Kamu pikir ini sudah selesai?Callista masih duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari layar itu. “Dia mau bikin kita goyah,” ucapnya perlahan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.Adrian memindahkan ponsel ke sisi lain meja, menjauhkannya dari pandangan mereka. “Kalau dia pikir ancaman kayak gini bisa bikin kita berhenti… berarti dia nggak kenal kita sama sekali.”Callista memutar tubuhnya sedikit, menatapnya penuh. “Bukan soal ancamannya, Adrian. Aku cuma… nggak mau kita bereaksi karena emosi. Itu yang dia mau.”Pria itu mengangguk tipis, lalu mencondongkan tubuhnya, meraih jemari Callista dan menggenggamnya. “Makanya kita tetap di sini dulu. Di ruang ini, nggak ada orang lain yang bisa nyentuh kita. Nggak ada yang bisa pecahin apa yang kita punya.”Hening merayap, tapi buk
Layar ponsel Adrian kembali menyala, menampilkan sederet notifikasi baru. Callista yang masih setengah bersandar di pelukannya menggeser tubuh, mencoba mengintip.“Gelombang kedua?” tanyanya.Adrian mengangguk tipis. “Ya. Dua jurnalis yang kita target udah posting. Mereka nggak nyebut nama Amelia langsung, tapi arah tulisannya jelas banget. Netizen mulai nyambungin titiknya.”Callista meraih ponselnya, membuka linimasa media sosial. Tagar baru mulai naik, mencampur dukungan dan debat. Ada yang membela, ada yang menyerang, tapi yang paling penting—orang-orang mulai mempertanyakan versi cerita yang selama ini dibiarkan berdiri sendiri.“Lihat ini,” Callista menunjuk salah satu postingan. Seorang tokoh publik menulis panjang lebar tentang pentingnya mendengar dua sisi sebelum menilai. Ia tidak menyebut mereka secara langsung, tapi isyaratnya jelas.Adrian membaca cepat, lalu mengangguk. “Dia yang tadi aku kirimin materi pendukung. Aku tahu d
USB itu kini tergeletak di meja seperti detonator yang menunggu waktu untuk diaktifkan. Callista duduk bersila di sofa, matanya tak lepas dari benda kecil itu. Adrian berdiri di dekat jendela, ponsel di tangannya, berbicara singkat dengan seseorang yang suaranya terdengar tegas di ujung sana.“Semua sudah siap,” ucapnya setelah menutup panggilan. “Begitu kita kirim, mereka akan pastikan ini sampai ke tangan orang yang tepat.”Callista menatapnya. “Orang yang tepat itu berarti…?”“Media independen, beberapa akun yang nggak takut ditekan, dan satu orang yang aku percaya seratus persen—dia tahu cara membuat ini viral tanpa kelihatan dipaksa.”Gadis itu mengangguk pelan. “Kalau semua ini pecah, Amelia bakal nyerang balik lebih keras.”“Itu memang yang akan dia lakukan,” jawab Adrian datar. “Tapi kali ini, kita punya pegangan. Kita nggak cuma melawan rumor. Kita bawa fakta.”**Adrian duduk di sampingnya, meraih laptop, lalu
Ciuman mereka terputus perlahan, tapi tangan Adrian masih menahan wajah Callista. Napas keduanya belum stabil, dan tatapan mereka tetap terkunci, seperti tak mau membiarkan dunia luar masuk.“Kamu tahu…” suara Adrian rendah, “setiap kali aku pegang kamu kayak gini, aku ingat kenapa semua ini layak diperjuangkan.”Callista menatapnya lama, lalu membiarkan senyum kecil muncul. “Kalau gitu, jangan pernah lepas.”“Aku nggak akan,” jawabnya singkat, tegas.Mereka masih saling menatap ketika suara getar ponsel kembali terdengar. Adrian mengulurkan tangan, melihat layarnya. Kali ini bukan Amelia—melainkan salah satu kontak yang mereka percaya.“Dia udah siap ngomong,” ucap Adrian sambil menutup layar.“Siapa?”“Orang yang dulu kerja bareng Amelia. Dia pegang data transaksi, foto, dan… rekaman percakapan.”Callista merapatkan duduknya. “Kalau kita dapat itu, semua ceritanya berubah.”Adrian mengangguk. “Tapi ki
Ponsel Adrian bergetar di meja. Getaran itu seperti menembus keheningan ruang, membuat Callista membuka mata yang masih terasa berat setelah momen panjang mereka barusan.Adrian meraih ponsel itu, menatap layar, lalu menunjukkan pada Callista. “Nomor Amelia.”Callista duduk lebih tegak. “Kamu mau angkat?”“Bukan sekarang.” Adrian meletakkan ponsel itu menghadap ke bawah, menutupnya dari pandangan. “Dia pasti nggak cuma mau bicara. Dia mau ganggu ritme kita.”Gadis itu mengangguk pelan. “Dan kalau kita angkat, dia menang.”Adrian menatapnya dengan sorot mata yang tenang, tapi di baliknya ada ketegangan yang terukur. “Dia akan coba semua cara, Cal. Kalau bukan lewat media, lewat orang-orang terdekat kita. Kita harus siap.”Callista mencondongkan tubuhnya, jemarinya menggenggam tangan Adrian. “Aku udah siap. Dari awal, aku tahu kita nggak akan punya jalan yang mulus.”Senyum tipis muncul di bibir pria itu, tapi cepat hilang
Langkah mereka meninggalkan gedung komite tidak melambat sampai pintu mobil tertutup rapat. Adrian duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya tetap di setir tanpa langsung menyalakan mesin. Callista meliriknya, menyadari rahang pria itu sedikit mengeras.“Masih kepikiran?” tanyanya pelan.“Bukan kepikiran,” jawab Adrian tanpa menoleh. “Aku cuma lagi mengatur urutan langkah selanjutnya. Setelah ini, Amelia nggak akan diam. Dia akan nyerang lebih kotor.”Callista meraih tangannya, membuat genggaman itu lepas dari setir. “Kalau dia kotor, kita jangan ikut kotor. Kita punya cara sendiri.”Tatapan Adrian akhirnya beralih padanya. Ada ketegangan yang belum hilang di matanya, tapi di balik itu, ada rasa lega. “Kamu bikin aku nggak lupa tujuan kita.”Mereka tidak berbicara lagi sampai mobil keluar dari area parkir. Jalanan terasa seperti lorong panjang yang menuntun mereka ke satu tujuan: tempat aman yang sudah lama jadi benteng mereka.B