Notifikasi masuk bertubi-tubi, tapi Adrian tidak langsung menyentuh ponselnya. Ia duduk tenang di kursi, jemarinya mengait di depan wajah, matanya terfokus pada satu titik di lantai. Callista berdiri di dekat jendela, menatap ke luar, seolah dunia di luar sana akan memberi tanda kapan harus bergerak lagi.
“Komentar baru masuk setiap detik,” ucap Callista pelan, akhirnya menoleh. “Beritanya udah diangkat media internasional. Mereka nyebut ini sebagai salah satu skandal kampus terbesar tahun ini.”Adrian tidak tampak terkejut. “Bagus. Semakin besar sorot lampu, semakin sulit buat dia kabur.”Callista melangkah ke meja, mengambil ponselnya, lalu menaruhnya di depan Adrian. “Ini… kiriman dari teman lamaku di fakultas hukum. Katanya pihak komite etik kampus sudah mulai investigasi internal. Amelia dipanggil besok.”Adrian akhirnya mengangkat pandangan. “Cepat juga mereka bergerak.”“Bukan cepat,” Callista mengoreksi. “Mereka panik.”SPintu ruangan komite etik terbuka lebar. Deretan kursi melingkar menghadap meja panjang di tengah, tempat beberapa anggota komite sudah duduk, kertas-kertas di depan mereka tertata rapi. Udara terasa tebal, seperti setiap partikel di dalamnya membawa muatan ketegangan.Adrian melangkah masuk lebih dulu. Callista mengikutinya, langkahnya mantap meski jantungnya berdetak kencang. Pandangan mereka berdua langsung tertuju pada sosok di ujung ruangan—Amelia.Ia duduk bersandar di kursinya, tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah tahu hasil akhir permainan. Gaun formalnya sempurna, rambutnya tertata tanpa cela, tapi tatapannya… dingin.Adrian menarik kursi di sisi meja dan duduk, Callista di sebelahnya. Ia tidak melepaskan pandangan dari Amelia, bahkan ketika salah satu anggota komite berbicara.“Kami mengundang Anda berdua,” suara pria paruh baya di kursi tengah terdengar formal, “untuk memberikan klarifikasi terkait tuduhan yang saat ini sedang
Notifikasi masuk bertubi-tubi, tapi Adrian tidak langsung menyentuh ponselnya. Ia duduk tenang di kursi, jemarinya mengait di depan wajah, matanya terfokus pada satu titik di lantai. Callista berdiri di dekat jendela, menatap ke luar, seolah dunia di luar sana akan memberi tanda kapan harus bergerak lagi.“Komentar baru masuk setiap detik,” ucap Callista pelan, akhirnya menoleh. “Beritanya udah diangkat media internasional. Mereka nyebut ini sebagai salah satu skandal kampus terbesar tahun ini.”Adrian tidak tampak terkejut. “Bagus. Semakin besar sorot lampu, semakin sulit buat dia kabur.”Callista melangkah ke meja, mengambil ponselnya, lalu menaruhnya di depan Adrian. “Ini… kiriman dari teman lamaku di fakultas hukum. Katanya pihak komite etik kampus sudah mulai investigasi internal. Amelia dipanggil besok.”Adrian akhirnya mengangkat pandangan. “Cepat juga mereka bergerak.”“Bukan cepat,” Callista mengoreksi. “Mereka panik.”S
Notifikasi berita baru muncul di ponsel Adrian. Ia menekannya, dan layar menampilkan tayangan langsung dari salah satu stasiun televisi besar. Amelia duduk di kursi wawancara, rambutnya rapi, senyumnya dibuat manis. Tapi tatapan matanya tidak bisa menutupi ketegangan.Callista meraih ponsel itu, menonton bersama Adrian.“Pertama-tama,” suara pembawa acara terdengar di televisi, “terima kasih Amelia sudah datang. Kami ingin membahas rekaman yang saat ini ramai dibicarakan. Banyak pihak mengaitkan suara di rekaman itu dengan Anda. Apa benar?”Amelia tersenyum tipis. “Tidak. Itu manipulasi. Saya tahu ini sengaja dibuat untuk menjatuhkan saya.”Pembawa acara mencoba menggali. “Tapi suara itu sangat mirip dengan Anda, bahkan beberapa kata sama dengan yang pernah Anda ucapkan di forum tertutup.”“Saya ulangi,” Amelia memotong, “itu rekayasa. Dan saya yakin pihak yang menyebarkannya punya motif pribadi.”Callista merasakan darahnya mend
Adrian menekan tombol play sekali lagi, memastikan potongan rekaman yang mereka pilih terdengar jelas. Suara Amelia di speaker laptop memenuhi ruangan, tegas dan tanpa celah untuk disalahartikan.“…buat mereka hancur sebelum mereka bisa nyentuh aku. Nggak peduli caranya.”Callista menatap layar, matanya tidak berkedip. “Lima detik terakhir itu… udah cukup buat orang ngerti konteksnya.”“Makanya kita pakai ini dulu,” jawab Adrian. “Nggak semua orang kuat nahan rasa penasaran. Begitu mereka mulai nyari kelanjutannya, kita punya pegangan buat kendaliin narasi.”Ia memindahkan file itu ke ponselnya, lalu menyambungkannya ke sebuah akun anonim yang baru ia buat beberapa jam lalu. Semua disiapkan dengan hati-hati—VPN berlapis, server asing, bahkan perangkat yang bukan milik mereka berdua.Callista duduk di sebelahnya, memperhatikan langkah-langkah itu tanpa menyela. Hanya suara napas mereka yang terdengar, dan ketukan jari Adrian di layar ponse
Ketika ketukan itu terdengar, Callista sudah berdiri di dekat pintu. Ia menatap Adrian sekilas—tatapan singkat yang mengandung pesan siap dan waspada—sebelum membuka.Seorang pria berjaket gelap berdiri di ambang, wajahnya tegang. Bukan ekspresi orang yang santai datang untuk sekadar ngobrol. Callista mempersilakannya masuk, tapi tetap menjaga jarak. Adrian duduk di sofa, posisinya menghadap langsung ke pintu, seperti sengaja ingin memastikan pandangannya tak terhalang.Pria itu melangkah pelan, duduk di kursi seberang. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan amplop tipis. “Aku nggak punya banyak waktu,” katanya tanpa basa-basi. “Apa yang ada di sini… kalau jatuh ke tangan yang salah, bisa bikin banyak orang kehabisan napas.”Callista menatap amplop itu, lalu memindahkan pandangannya ke Adrian. “Kenapa kamu kasih ini ke kami?”Pria itu menghela napas, pandangannya beralih ke jendela seolah takut ada mata yang mengawasi. “Karena aku udah lihat sendiri
Suara notifikasi di laptop memecah kesunyian ruang itu. Adrian melirik layar, lalu menggeser kursinya mendekat. “Mulai,” gumamnya.Callista ikut mencondongkan tubuh, melihat deretan pesan yang masuk hampir bersamaan. Beberapa dari orang yang namanya baru saja mereka lingkari di papan tulis.“Aku rasa jebakan kita bekerja lebih cepat dari yang kita kira,” ucap Callista pelan.Adrian mengklik salah satu pesan. Isinya berupa percakapan tangkapan layar dari grup internal kampus. Tiga nama yang mereka targetkan ada di sana, saling menuduh siapa yang menyebarkan informasi sensitif.Kalimat-kalimatnya tajam, penuh sindiran. Ada yang terang-terangan menuduh, ada yang berpura-pura membela sambil menyelipkan keraguan.“Lihat ini,” kata Adrian, menunjuk satu baris. “Dia bilang ‘gue cuma nyampein ke orang yang gue percaya’. Itu sama persis kayak alasan yang kita perkirakan bakal keluar.”Callista membaca cepat, lalu mengangguk. “Mereka mulai