Share

5. Kemungkinan yang Terduga

Dari pagi sudah suntuk.

Dalvin menghela napas panjang seiring dengan mata yang terpejam lelah. Dia tidak bisa tidur, mengingat semalam dia terpaksa menginap di hotel bintang tiga yang harganya kelewat murah. Dalvin tidak suka menghamburkan uang, karena ingin segera membeli tempat tinggal sendiri supaya bisa menghindari Raras yang setiap hari selalu mengoceh mengenai pernikahan serta hal-hal lain.

Oh iya, kamar hotel yang Dalvin tempati kurang terawat. Kasurnya keras, berdebu, dan berbau tak sedap. Lelaki itu ingin marah saat teringat bahwa semalam ada kecoak di kamar mandi dan dia paling membenci kecoak. Hewan kecil berwarna cokelat dengan kaki berbulu serta berpotensi menyerang kapan saja--memeriksa kembali

"Pak, ngelamun terus dari pagi."

Dalvin memiliki keinginan kuat mencekik Biya yang sekarang berdiri di sampingnya. Jam makan siang tengah berlangsung sehingga para karyawan tengah beramai-ramai ke kantin. Mereka berdiri di depan lift, menunggu lift berhenti di lantai lima.

"Ngelunjak kamu." desisnya sebal tanpa menatap Biya. Kedua alis bertaut dalam, bibir mengerucut samar, kantung mata menghiasi wajah benar-benar memperlihatkan jika Dalvin selelah dan semalas itu meladeni Biya.

"Ya abisnya Pak Dalvin juga jahatin saya. Ya saya jahatin balik dong biar adil."

Sebenarnya Biya adalah perempuan penyabar, penyayang, dan super lembut walau tidak feminim-feminim amat. Sifatnya terbentuk oleh keadaan di mana sudah harus mengurus rumah akibat kehilangan sosok Mama di usia yang masih sangat belia. Biya juga pandai memasak, karena setiap pagi menyiapkan sarapan untuk Ayah dan Kakak. Kalau kata Ayah, masakan Biya mirip sekali dengan masakan mendiang Mama.

Banyak sekali kebaikan dalam diri Biya, tapi akan hancur dalam sekejap jika sudah menemukan seseorang yang berpotensi menjadi musuh, seperti Dalvin. Biya paling tidak suka bekerja di bawah tekanan lingkungan dan sifat paling jeleknya adalah balas dendam menggunakan ancaman.

"Mana bisa gitu. Kamu udah ngebanting terus sekarang ngancam saya juga," balas Dalvin tak terima. Kejadian di bioskop sungguh tak bisa dilupakan begitu saja. Dia mendelik; kedua tangannya bersiap mencekik Biya. "Saya nggak akan mati dalam waktu dekat dan sialnya saya harus ketemu sama kamu setiap hari. Muka kamu bikin umur saya berkurang tahu, nggak?!"

"Kayak muka Bapak bagus aja."

Mendengar cibiran Biya, telinga Dalvin terasa panas dalam sekejap. Apalagi Biya juga menguadarakan tawa kecil yang sok bersahabat di telinganya. Kemudian, begitu lift terbuka, mereka berdua melangkah masuk ke sana. Dalvin langsung memalingkan wajah; menjaga jarak sebisa mungkin dari Biya.

"Pak Dalvin."

"Apa?! Apa lagi, Biya?!" Dalvin pikir Biya ingin mengganggu lagi. Wajah lelaki itu memerah akibat emosi disertai raut galak. "Kamu sampai kapan mau ganggu saya terus? Sampai rahasia kebongkar ke semua orang di kantor?!"

Memperoleh respon super sewot, Biya jelas menautkan alis kebingungan. Biya memanggil baik-baik tanpa ada niatan mengajak debat. Namun, karena yakin mood Dalvin memang sejelek itu, Biya pun sekadar mengatakan seadanya.

"Resleting celana Bapak kebuka. Saya cuma mau ngasih tau aja kok." ucapan Biya otomatis mengakibatkan mata Dalvin membelalak kaget. Dia secepat kilat menoleh ke bawah--benar saja, resleting celananya terbuka.

Dalvin mengubah posisi tubuh membelakangi Biya. Membenarkan resleting celana. Matanya tertutup rapat akibat frustrasi serta malu yang teramat sangat.

'Hidup gue kenapa gini amat, sih???' Dalvin merutuki keadaan yang sama sekali tidak berpihak padanya. Sejak kemarin selalu dihinggapi kesialan usai Biya terlibat dalam hidup melalui kejadian tak terduga. Bisakah Dalvin menyingkirkan perempuan itu sekarang juga?

Dalvin ingin menjadi Thanos. Sungguh.

"Awas kamu ngasih tahu orang-orang." ancam Dalvin sesudah membenarkan resleting celana dan kembali menghadap ke arah Biya. Dalvin ingin sekali berteriak, tapi takut jika Biya menangis atau menyebabkan kehebohan di kantor.

"Nggak bakal."

Dalvin jelas tidak percaya dan tambah sebal, karena meyakini jika Biya pasti akan kembali mengancam. Maka dari itu, dia cemberut lalu bergumam, "Jelas aja batal nikah."

"Tadi Pak Dalvin ngomong apa?"

Dalvin terjingkat setelah mendengar pertanyaan dari Biya. Masalahnya, nada Biya kurang bersahabat dan cukup rendah kala mengikis jarak. Dalvin berusaha tak menghiraukan dengan cara membuang muka ke arah lain, tapi sayang, setibanya lift di lantai satu--Biya malah melayangkan pukulan pada wajah Dalvin akibat tersinggung.

Ketika pintu lift terbuka, para karyawan yang berdiri di sana menunggu lift jelas terkejut setengah mati saat melihat wakil kepala manajer akuntansi mengaduh kesakitan sembari menutupi hidungnya yang berdarah.

"Aduh Bapak!" Biya ikut-ikutan sok peduli. Dia mendekat. Berbohong dengan memastikan bahwa Dalvin baik-baik saja. "Pak Dalvin nggak papa? Aduh, darahnya banyak banget!"

Rasa malu Dalvin kian berlipat ganda.

***

19.28

Dalvin ingin memperoleh kemungkinan di mana dia juga bisa mengetahui rahasia lain milik Biya agar bisa balas dendam. Dalvin tahu, balas dendam menggunakan ancaman sama sekali bukan dirinya. Dalvin lebih suka bermain bersih dibanding bermain kotor seperti Biya.

Amarah Dalvin kian berlipat sesudah melihat pesan masuk dari Mama--Raras.

[Mama: Pulang kamu. Dicariin sama Papa

Mama: Dolphin pulang

Mama: Dolphin

Mama: Dolphin

Mama: Dalvin

Mama: Autocorrect..

Mama: Mau dicoret dari kk?]

"Apaan sih Mama," dia menggerutu sebal, karena Raras selalu mengancam akan mencoret namanya dari kartu keluarga. Dalvin hanya mendiamkan pesan Raras pada kolom notifikasi. Terlalu malas untuk meladeni Raras, yang pasti kembali mengungkit masalah pernikahan.

Dalvin enggan bicara dengan siapapun. Suasana hatinya yang jelek tak kunjung berubah, ditambah lagi, akibat kejadian hidung berdarah di lift sampai semua orang panik.

Dalvin ingin Biya memperoleh karma secepat mungkin!

"Aduh!" Dalvin mengeluh jengkel saat turun dari mobil sembari membawa kantong plastik berisikan beberapa kotak susu serta satu box besar sereal rasa cokelat.

Dalvin Tak sengaja menginjak permen karet bekas yang dibuang sembarangan. Tak ada yang berjalan sesuai rencana sejak kemarin. Dalvin memejamkan mata frustrasi, mengumpat berulang kali dalam hati, dan nyaris memukul badan mobil sebelum mengambil tisu kering di dalam kendaraan tersebut.

Dalvin mengambil permen karet dari pernukaan sepatu lalu membuangnya ke tong sampah. Dia berjalan masuk ke dalam hotel tersebut tanpa bisa berhenti menggerutu.

Hotel itu tak memiliki lift, sehingga Dalvin harus berjalan menaiki anak tangga sampai ke lantai empat. Ditambah lagi, lampu di lorong tiap lantai juga tak seterang itu. Lokasinya mirip sekali dengan film horror.

Dalvin meraih kunci kamar hotel dari saku celana dan membuka pintunya. Tapi, bertepatan dengan itu, kamar hotel yang hanya berjarak sepuluh langkah tiba-tiba terbuka.

Memperlihatkan sosok Biya, yang mengenakan pakaian minim disertai aroma rokok super menyengat.

"P-Pak Dalvin?"

Genggaman Dalvin pada kantong plastik melemah sampai kotak susu serta sereal berhamburan ke lantai. Dalvin sama tercengangnya seperti Biya. Di tengah remangnya cahaya lorong hotel, mereka saling menatap dengan penuh keterkejutan.

"Kamu ... ngapain di sini, Biya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status