Markus berhenti sejenak di depan gedung klub malam yang baru pertama kali ia kunjungi. Dari luar, tempat itu tampak seperti klub biasa—lampu neon menyala terang, dentuman musik terdengar dari dalam, dan antrian tidak terlalu panjang. Tapi bagi Markus, malam ini bukan malam biasa.Ia sengaja memilih klub ini karena lokasinya cukup jauh dari tempat-tempat yang biasa ia datangi. Ia tahu betul, makin sering ia muncul di tempat yang sama, makin besar pula risiko orang-orang mencurigainya. Belakangan, Markus jadi lebih berhati-hati. Ia menyadari bahwa rumor tentang penyakitnya mulai tersebar pelan-pelan. Sudah dua kali ia ditolak masuk ke klub favoritnya. Bahkan dua orang yang dulu biasa duduk bersamanya di bar, kini memilih menjauh.Itu sebabnya, malam ini ia tidak ingin ambil risiko. Ia ingin tempat baru. Orang-orang baru. Dan yang terpenting: tak ada yang mengenalinya.Mobil yang ia parkir di pinggir jalan tidak mencolok, cukup mewah tapi bukan yang biasa ia gunakan. Ia turun dengan tena
“Apa kau ini sudah gila, Markus? Kau sengaja ingin menyebarkan virus HIV/AIDS yang kau derita pada orang lain? Ini benar-benar jahat!” bentak Sophia dengan suara yang sudah naik satu oktaf.Wajahnya memerah. Tangannya gemetar karena emosi. Dia berdiri di tengah ruang tamu sambil menunjuk pria yang baru saja masuk ke rumah tanpa rasa bersalah sedikit pun. Markus hanya berdiri di depan pintu, tersenyum santai, seolah apa yang ia dengar barusan adalah lelucon biasa.Lalu pria itu mendekat ke arah wanita yang menolak untuk dia nikahi.“Kau sudah menularkan virus ini padaku. Sekarang anak kita juga. Lalu apa yang bisa bikin kamu tidak pernah kapok? Pengasuh anak kita juga ikut tertular, kau tak lupa itu kan? Sekarang lagi kau rencanakan untuk menulari orang lain juga? Kau akal-akalin seperti itu?” lanjut Sophia, suaranya bergetar karena marah dan kecewa sekaligus.Markus menarik napas pelan, kemudian berjalan ke sofa dan duduk tanpa rasa bersalah telah membuat wanita ini marah. Dia menyand
Setelah melewati hari-hari penuh tekanan, kesedihan, dan emosi yang menguras tenaga, Angelica dan Alex akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah mereka.Keputusan itu tidak diambil dalam satu malam. Angelica butuh waktu untuk benar-benar yakin bahwa hatinya sudah siap melangkah ke babak berikutnya. Ia sadar, rasa kehilangan tak akan pernah benar-benar hilang, tapi hidup harus tetap berjalan.Sebelum berangkat, Angelica menyerahkan sepenuhnya urusan administrasi dan hukum kepada Davin Abimanyu. Ia sudah menandatangani surat kuasa. Semua pengalihan aset, pengesahan surat wasiat, dan proses hukum akan dikawal langsung oleh pria yang kini sudah seperti ayahnya sendiri itu.“Biarkan Aunty dan Uncle urus semuanya. Kamu tenang saja, ya,” kata Naura saat melepas kepergian mereka dari rumah.Angelica mengangguk sambil tersenyum tipis. Matanya tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya. Rasa duka memang masih ada, tapi kini ia sudah berdamai dengan kenyataan. Yang terpenting sekarang ad
“Aunty akan bantu Uncle urus semuanya, Nak. Aunty doakan mama mertuamu cepat pulih dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Yakinlah, ke depan kamu pasti hanya akan menyisakan kebahagiaan. Kamu anak yang hebat,” ucap Naura sambil meremas lembut tangan Angelica. Suara perempuan paruh baya itu terdengar tulus. Tatapannya pun penuh simpati, bukan sekadar basa-basi. Ia tahu Angelica tidak sedang baik-baik saja. Siapa pun yang kehilangan orang tua kandung, apalagi keduanya sudah pergi, pasti akan merasakan kehampaan yang sulit diungkapkan.“Terima kasih, Aunty. Terima kasih banyak,” jawab Angelica lirih.Perempuan muda itu berusaha tersenyum, tapi senyumannya hanya sekilas, seperti asap yang lenyap dihembus angin. Matanya masih sembab, dan hidungnya sedikit merah karena terlalu banyak menangis sejak pagi.Hanya orang yang benar-benar hidup sebagai yatim piatu yang bisa memahami isi hati Angelica sekarang. Jika orang tua kita masih hidup—meskipun ada jarak, konflik, atau rasa kecewa—selama
“Kamu itu sangat rakus. Sewaktu kamu masih jadi istrinya Bram, hidupmu enak. Shopping pakaian mahal, liburan ke luar negeri, pesta sana-sini. Semua uang yang didapat Bram sudah dialihkan ke kamu dan anak-anakmu. Dan sekarang... harta milik mamanya Angelica masih kamu incar juga?” suara Davin Abimanyu meninggi, nadanya tidak main-main.Ruangan tempat pembacaan surat wasiat itu langsung terasa menegang. Suasana duka yang seharusnya menjadi waktu untuk mengenang orang yang telah tiada, berubah menjadi arena pertengkaran.Melinda berdiri di hadapan mereka dengan posisi kaki yang mulai gelisah. Wajahnya datar, tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Bahkan ketika disebut rakus, wanita itu tidak bereaksi, seolah terbiasa dengan tuduhan seperti itu.“Dasar perempuan licik! Kalau kamu tidak terima dengan pembacaan surat wasiat ini, aku tidak masalah. Kita selesaikan semuanya secara hukum!” Davin mengepalkan tangan kanannya, kalimat yang dia ucapkan penuh tekanan. Suaranya menggema di rua
“Papaaa!!” jerit Angel lagi histeris.Para dokter yang sedari tadi memantau langsung bergerak cepat. Seorang dokter muda segera memberi instruksi, “Kode Biru! Siapkan defibrillator!”Seorang perawat sudah memasang alat ke dada Bram. Tubuh tua itu tersentak karena kejutan listrik. Tapi tak ada respons. Monitor tetap diam.Angel menangis keras, tubuhnya ditahan dua suster agar tidak mendekat. “Tolong, jangan diamkan Papa! Tolong selamatkan Papa saya!” suaranya parau dan histeris.“Lanjutkan CPR! Kita belum boleh menyerah!” seru dokter sambil terus memompa dada Bram.Tapi... waktu terus berjalan. Lima menit. Sepuluh menit.Darah Angelica seakan membeku melihat sang Papa tidak juga bereaksi. Matanya mulai kabur oleh air mata yang tak berhenti mengalir.Akhirnya, kepala dokter menarik masker medisnya perlahan. Ia menatap rekan-rekannya sejenak sebelum menghela napas panjang.“…Waktu kematian: 14.37 WIB.”Angelica tidak langsung memproses kata-kata itu. Tapi saat dokter melepas sarung tanga