Saat Karin sedang fokus bekerja, pintu divisi pemasaran terbuka. Seorang wanita cantik dengan dandanan menor masuk sambil mengetuk hak sepatunya keras-keras di lantai. Semua mata seketika menoleh.“Siapa di sini yang bernama Karin?” tanyanya lantang dengan nada arogan.Karin sempat melirik kanan-kiri, bingung. Perlahan ia berdiri. “Saya… yang bernama Karin.”Wanita itu—Fiona—melangkah mendekat dengan senyum tipis penuh meremehkan. Matanya menyapu tubuh Karin dari atas sampai bawah seolah sedang menilai barang dagangan. “Oh, jadi kamu yang namanya Karin,” ucap Fiona, nada suaranya seakan mengandung ejekan.Ia kemudian mendekat, mencondongkan tubuh, lalu berbisik di telinga Karin. “Kamu lumayan cantik… tapi sayang, Alex hanya menyukai aku.”Karin terperangah, namun sebelum ia sempat merespons, Fiona menatapnya tajam. “Aku tahu kamu tunangannya Alex. Tapi jangan pernah berharap dia akan melirikmu, karena Alex… milikku. Jadi jangan coba-coba mendekatinya. Paham?”Karin hanya menarik s
“Tunggu, Karin! Aku… aku ingin membuat perjanjian denganmu.”Langkah Karin terhenti. Bibirnya tersungging tipis.” Inilah yang aku tunggu. Alex tidak akan melepaskanku begitu saja,” batinnya. Ia berbalik, lalu kembali duduk di kursinya.“Perjanjian apa?” tanyanya datar.Alex menarik napas, menatap Karin penuh kesungguhan yang terkesan dipaksakan.“Kita… bertunangan pura-pura saja. Demi membuat kakek-kakek kita bahagia. Tapi kita bebas memiliki hubungan dengan orang lain. Setelah aku mendapatkan bagian saham di perusahaan kakekku, kita berpisah. Bagaimana?”Karin mendengus pelan, matanya menyipit.“Itu hanya menguntungkanmu, Alex. Apa untungnya untukku?”Alex terlihat panik. “Aku… aku bisa membayarmu.”Karin menyilangkan tangan di dada, menatapnya dingin.“Kamu pikir aku kekurangan uang?”Alex terdiam, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.“Lalu… apa yang harus kulakukan agar kamu setuju?” suaranya melemah.Karin mencondongkan tubuhnya, lalu berbisik pelan namun penuh tekanan:“10
Sesampainya di rumah besar keluarga Kusuma, suasana yang awalnya tenang langsung berubah panas. Begitu pintu ruang tamu tertutup, suara tamparan kembali terdengar.PLAKK!Alex terhuyung ke samping, pipinya merah menyala.“Memalukan!” bentak Kakek Dodi, wajahnya memerah karena amarah. “Aku sudah bilang padamu: tinggalkan wanita murahan itu dan menikah dengan Karin! Kenapa kamu justru menolaknya, saat Karin akhirnya mau menerima perjodohan ini?!”Bu Desi, yang berdiri di sisi Alex, meringis pilu. Ia ingin melindungi putranya, tapi tatapan garang sang ayah membuatnya tak berani bergerak. “Pa… tolong maafkan Alex. Dia nggak bermaksud membuat Papa malu tadi…”“Kamu masih membela anak sialan ini?!” Kakek Dodi menggebrak meja hingga vas bunga berguncang. “Jelas-jelas selama ini dia diam saja setiap kali perjodohan dibahas, dan tidak pernah memberikan penolakan. Tapi giliran Karin mau menerimanya, dia malah menolak! Dengan alasan bodoh: sudah punya kekasih!”“Kek…” Alex menegakkan tubuhnya me
Malam hari ini, kamar Karin hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja di sudut ruangan. Aroma lavender dari lilin aromaterapi samar memenuhi udara, memberi sedikit ketenangan pada hatinya yang gundah. Karin duduk di tepi ranjang, menatap foto kedua orang tuanya yang sudah lama berpulang.Tangannya mengelus lembut permukaan bingkai kayu itu, seakan bisa merasakan kembali kehangatan mereka. Suaranya bergetar pelan, seperti berbisik pada bayangan masa lalu.“Pa, Ma… andai saja kalian masih hidup.” Ia menarik napas panjang. “Apa kalian juga akan menyuruhku cepat-cepat menikah seperti kakek tua itu? Huh… dia sungguh menyebalkan, tahu? Selalu memaksaku segera menikah, punya anak, supaya rumah ini ramai.”Karin mendengus kesal, lalu menjatuhkan dirinya ke atas kasur. “Ck… dipikir aku ini pabrik anak apa?!” gerutunya. Namun tak lama, tatapannya kembali melunak. “Tapi bagaimanapun juga… aku tetap sayang sama orang tua itu. Tanpa kakek, entah bagaimana hidupku sekarang…”Air matanya mengalir
Ruang keluarga Sanjaya yang megah itu mendadak hening, hanya terdengar detak jam antik yang menggema dari dinding. Karin berdiri di hadapan kakeknya, kedua tangannya mengepal, menahan gejolak yang sudah berbulan-bulan ia simpan.“Tidak, Karin!” suara Kakek Andi meledak, menggetarkan udara seisi ruangan. “Aku tidak setuju kamu tinggal sendiri di luar sana!”Karin menggigit bibirnya. Ia tahu, sejak kecil kakeknya begitu protektif. Namun, kali ini ia tidak bisa menyerah. “Kek, ayolah…” ucapnya dengan nada memelas. “Karin sudah dewasa. Umur Karin sudah dua puluh dua tahun. Karin ingin merasakan hidup bebas, seperti teman-teman Karin yang lain.”Tatapan Kakek Andi melunak sesaat, lalu kembali mengeras. “Karin, kamu cucu kakek satu-satunya. Sejak orang tuamu meninggal waktu kamu berusia tujuh tahun, cuma kamu harta yang kakek punya. Kalau terjadi apa-apa padamu, bagaimana nasib kakek?”Karin menunduk, suaranya lirih namun penuh tekad. “Karin janji akan jaga diri. Karin mohon, sekali ini saj