Share

Bab 2. Penolakan Alex

Author: Queenby
last update Last Updated: 2025-09-20 21:11:04

Malam hari ini, kamar Karin hanya diterangi cahaya redup dari lampu meja di sudut ruangan. Aroma lavender dari lilin aromaterapi samar memenuhi udara, memberi sedikit ketenangan pada hatinya yang gundah. Karin duduk di tepi ranjang, menatap foto kedua orang tuanya yang sudah lama berpulang.

Tangannya mengelus lembut permukaan bingkai kayu itu, seakan bisa merasakan kembali kehangatan mereka. Suaranya bergetar pelan, seperti berbisik pada bayangan masa lalu.

“Pa, Ma… andai saja kalian masih hidup.” Ia menarik napas panjang. “Apa kalian juga akan menyuruhku cepat-cepat menikah seperti kakek tua itu? Huh… dia sungguh menyebalkan, tahu? Selalu memaksaku segera menikah, punya anak, supaya rumah ini ramai.”

Karin mendengus kesal, lalu menjatuhkan dirinya ke atas kasur. “Ck… dipikir aku ini pabrik anak apa?!” gerutunya. Namun tak lama, tatapannya kembali melunak. “Tapi bagaimanapun juga… aku tetap sayang sama orang tua itu. Tanpa kakek, entah bagaimana hidupku sekarang…”

Air matanya mengalir pelan, jatuh membasahi foto yang ia peluk erat di dada. “Kenapa sih, Pa, Ma… kalian harus pergi secepat itu? Meninggalkan Karin sendirian. Andai saja kalian masih hidup, pasti aku tidak akan kesepian dan dikurung dalam dirumah ini,” bisiknya dengan suara bergetar.

Perlahan, kelopak matanya menutup. Lelah fisik dan hati membuatnya terlelap sambil tetap memeluk foto orang tuanya.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Kakek Andi masuk, langkahnya pelan agar tidak membangunkan cucu satu-satunya itu. Ia menatap tubuh mungil Karin yang terlelap dengan mata sedikit membengkak karena bekas menangis tadi. Hatinya diremas oleh perasaan bersalah.

Kakek Andi duduk di sisi ranjang, tangannya yang berkeriput membelai lembut rambut hitam cucunya. Pandangannya jatuh pada foto anak dan menantunya yang masih tergenggam erat di pelukan Karin. Dengan hati-hati, ia mengambil foto itu dan meletakkannya kembali di atas meja kecil di samping tempat tidur.

Suara seraknya pecah dalam bisikan lirih, hampir tak terdengar.

“Maafkan kakek, Nak… semua ini kakek lakukan demi kebaikanmu. Kakek nggak bisa membiarkanmu hidup sendiri. Dunia diluar sana terlalu kejam…”

Air mata tipis menggenang di sudut mata lelaki tua itu. Ia menunduk, menatap wajah cucunya yang tertidur pulas. “Kalau saja ayah dan ibumu masih ada… kakek tidak akan seprotektif ini. Tapi hanya kamu yang kakek punya, Karin. Hanya kamu…”

Ia mengecup kening Karin dengan lembut, lalu berdiri, meninggalkan kamar dengan langkah gontai. Pintu ditutup perlahan, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

*

*

*

Dua hari kemudian, suasana rumah besar keluarga Sanjaya tampak lebih ramai dari biasanya. Lampu gantung kristal berkilau terang, meja tamu dipenuhi kue-kue kecil dan teh hangat yang disiapkan khusus untuk tamu istimewa.

Kakek Andi berdiri tegak di depan pintu, ditemani Karin yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Senyumnya manis, tapi di dalam hati ia sedang menggerutu. Tidak bisakah semua ini ditunda?

Tak lama, mobil mewah berjejer memasuki halaman. Dari dalam keluar Dodi Kusuma, sahabat lama Kakek Andi, dengan wajah penuh wibawa. Di sampingnya, tampak Pak Heru—menantunya—serta istrinya, Bu Desi. Dan tentu saja, Alexander, cucu mereka yang sejak tadi terlihat sibuk menunduk pada layar ponselnya.

“Selamat datang, Dodi! Senang sekali akhirnya kamu bisa datang kemari,” sapa Kakek Andi dengan ramah, menyalami sahabat lamanya.

Karin ikut memberi salam dengan sopan, meski dalam hatinya berdesah pelan. Inikah calon tunangan yang dipilihkan kakek untukku, yang katanya baik dan pintar? Bahkan dia sibuk main ponsel bahkan saat kunjungan keluarga besar begini?

Mereka semua kemudian duduk di ruang tamu yang megah. Basa-basi pun dimulai.

“Bagaimana kabar kalian semua?” tanya Kakek Andi ramah.

“Baik, Andi… sangat baik,” jawab Dodi sambil tersenyum.

Kakek Andi lalu mengalihkan pandangan ke arah Pak Heru. “Saya juga mendengar kabar kalau saham perusahaan Kusuma sedang mengalami penurunan, apakah benar begitu?”

Wajah Pak Heru sedikit menegang, tapi ia cepat menangkis dengan senyum tipis. “Ah, itu hanya gosip, Pak Andi. Perusahaan Kusuma baik-baik saja. Justru sedang berkembang.”

Namun saat itu, Karin menangkap raut wajah Kakek Dodi yang tampak menahan amarah. Alisnya berkerut, rahangnya mengeras, seakan sedang menyembunyikan sesuatu. Karin mengerling pelan, batinnya curiga. Ada yang aneh dengan hubungan antara Kakek Dodi dan Pak Heru, menantunya.

Di sisi lain, Bu Desi yang sejak tadi hanya diam, akhirnya tersenyum sopan dan berkata, “Kalau boleh tahu, Pak Andi, ada hal penting apa sampai Anda mengundang kami datang kesini hari ini?”

Karin menoleh pada kakeknya, jantungnya berdetak cemas. Ia tahu sebentar lagi kehidupannya akan berubah.

Kakek Andi tersenyum lebar. “Sebenarnya, saya ingin menyampaikan kabar bahagia. Sahabat saya, Dodi, mungkin juga sudah menantikannya.”

Semua mata kini tertuju pada Kakek Dodi. Lelaki itu berdehem, lalu dengan nada penuh kebanggaan berkata, “Karin… sudah bersedia menerima perjodohan dengan Alexander.”

Hening.

Karin menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang menegang. Sementara itu, Alexander yang sejak tadi sibuk menunduk menatap ponselnya, sontak terperanjat.

“A—apa?!” serunya kaget. Ponselnya terlepas dari tangan, jatuh ke lantai dengan bunyi keras. Semua mata langsung memandang ke arahnya.

Wajah Alex memucat, matanya membesar tak percaya. “Tunggu sebentar… saya… bertunangan dengan dia?” Ia menunjuk Karin dengan tatapan terkejut sekaligus panik.

Karin mendongak, menatap Alex dengan mata yang sama terbelalak. Dalam hati ia bergumam, Baguslah…kalau dia kaget. Berarti benar, dia tidak pernah serius dengan perjodohan ini.

Sementara itu, Kakek Andi dan Kakek Dodi hanya saling pandang dengan tatapan penuh arti, seolah keterkejutan Alex sama sekali di luar dugaan mereka.

*

*

*

Alex yang sejak tadi masih terkejut, tiba-tiba berdiri. Ia menatap Karin dengan wajah tegang lalu berkata dengan suara bergetar,

“Ehmm… Karin, bisa kita bicara empat mata sebentar? Ada hal yang ingin aku tanyakan.”

Karin hanya mengangguk tenang. Ia bangkit dan berjalan mendahului Alex menuju teras samping, jauh dari ruang tamu tempat keluarga mereka masih berbincang. Malam itu udara terasa dingin, suara jangkrik bersahutan, dan angin berhembus lembut menyapu rambut Karin.

Begitu sampai di teras, Alex langsung menatap Karin tajam. “Apa maksudmu menerima pertunangan ini? Bukankah selama ini kamu selalu menolak?”

Karin mendesah pelan, menatap Alex tanpa ekspresi. “Aku hanya ingin menurut pada kakekku, Lex. Aku ingin membuat kakekku bahagia. Emang salah?”

Alex menggeleng cepat, wajahnya memerah. “Bukan begitu, Karin. Tapi aku tidak bisa! Aku sudah punya kekasih, dan aku berniat menikahinya. Jadi jangan harap aku mau menerima perjodohan gila ini.”

Karin menyilangkan tangan di dada, suaranya dingin. “Ya terserah. Yang penting aku sudah menerimanya. Kalau kamu menolak, itu hakmu.”

Alex mengepalkan tangannya. “Baik. Aku yang akan menolak perjodohan ini!” katanya mantap, lalu berbalik dan melangkah cepat kembali ke ruang tamu.

Karin hanya menatap punggungnya menjauh, bibirnya membentuk senyum tipis penuh kelegaan. Bagus… biarlah dia sendiri yang menolak, jadi aku bisa bebas tanpa terlihat durhaka di mata kakek.

***

Di ruang tamu, suasana mendadak tegang ketika Alex masuk dengan langkah tergesa. Semua mata langsung tertuju padanya.

“Aku menolak perjodohan ini!” ucap Alex lantang.

Kakek Andi dan Dodi sontak melongo, tidak percaya. Biasanya Alex hanya diam jika perjodohan ini dibicarakan, membiarkan Karin yang selalu menolak. Tapi hari ini berbeda—Karin justru menerima, sementara Alex yang terang-terangan menolak.

“Hentikan ucapan konyolmu itu, Alex!” suara Kakek Dodi meledak.

Alex menatap kakeknya dengan keberanian yang jarang ia tunjukkan. “Tidak, Kek. Aku dengan tegas menolak perjodohan ini. Aku sudah punya kekasih, dan aku akan menikah dengannya.”

BRUKK!

Tamparan keras mendarat di pipi Alex. Semua orang terkejut. Karin yang baru masuk ke ruangan spontan menahan napas melihat adegan itu.

“Anak tidak tahu diuntung!” bentak Kakek Dodi dengan wajah merah padam.

Keheningan menyelimuti ruangan. Pak Heru hanya bisa menunduk, sementara Bu Desi menutup mulutnya menahan teriakan kecil.

Dengan nada menyesal, Dodi lalu menoleh pada sahabatnya. “Maaf, Andi. Aku tidak bisa mendidik cucuku dengan baik. Kalau begitu, kami pamit dulu. Kita bahas lagi soal perjodohan ini… lain kali, kalau Alex sudah siap.”

Tanpa menunggu jawaban, Dodi Kusuma lalu berjalan keluar, sambil menahan malu dan amarah. Pak Heru dan Bu Desi lalu ikut berdiri dan segera pamit pada kakek Andi dan Karin. Sementara Alex hanya menunduk, memegang pipinya yang masih memerah. Mereka bertiga lalu berjalan keluar, meninggalkan kediaman keluarga Sanjaya dengan suasana dingin dan penuh kekecewaan.

Karin menatap punggung Alex yang menjauh, dengan senyum misterius. Sementara itu, Kakek Andi hanya duduk terpaku, wajahnya muram. Tidak pernah ia bayangkan pertemuan ini berakhir mengecewakan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   BAB. 14

    "Alex, sayang, kamu di mana?"Suara Fiona di ujung telepon terdengar lelah namun hangat, menggema di tempat parkir yang sepi itu. Senja mulai merayap, melukis langit Jakarta dengan jingga dan ungu."Di cafe, Sayang. Lagi ketemu temen lama aku, Rendra. Kamu kenal kan, yang dari Bandung itu?" balas Alex, suaranya riang. Di latar, terdengar gemericik gelas dan suara obrolan ramai.Fiona menghela napas pendek. "Oh iya, ingat. Aku masih di kantor, ini baru mau pulang. Capek banget hari ini. Banyak kerjaan."“Kamu nyusul aja kesini sayang. Aku kenalin kamu sama dia. Sekalian makan malam, daripada kamu masak sendiri," ajak Alex bersemangat. Suara Rendra yang dalam terdengar menyela, "Iya, Fiona. Nanti habis makan sekalian kita mampir ke club malam baru, milik temanku."Fiona tersenyum kecil. Lelahnya seketika terasa lebih ringan. "Baiklah, aku akan menyusul ke sana. Kirimin lokasinya ya.""Oke, hati-hati di jalan, Sayang," sahut Alex sebelum telepon mati.***Parkiran kantor sudah sepi. Ha

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 13

    Dengan punggung tangan kanan yang memerah dan berdenyut, dia mengangkat tangan kiri yang memegang cangkir kopi, dan mengetuk pintu."Masuk," suara datar dari dalam ruangan terdengar.Karin membuka pintu, siap menghadapi bosnya yang menakutkan, dia sudah siap menerima hukuman dari sang CEO. Karin memasuki ruangan dengan hati berdebar, cangkir kopi di genggamannya terasa lebih berat dari biasanya. "Kamu telat, Nona Karin," ucap Rafael tanpa mengangkat kepala dari dokumen yang dibacanya. Suaranya dingin, memotong udara. "Sudah lebih dari sepuluh menit kamu baru datang.""Maaf, Tuan," jawab Karin, suaranya sedikit bergetar. "Saya telat tadi... ada sedikit insiden yang terjadi.""Insidens?" Kali itu Rafael menatapnya, alisnya berkerut. "Apa yang terjadi?""Hanya insiden kecil, Tuan," jawab Karin berusaha meremehkan, sambil berjalan mendekat dan meletakkan cangkir kopi di atas meja kerjanya dengan hati-hati.“Akh…!”Tanpa sengaja,punggung tangan kanannya yang melepuh menyenggol sudut taja

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 12

    Pagi ini, hari pertama Karin menjadi sekretaris CEO. Suara ketukan pintu yang ragu-ragu memecah kesunyian ruang kerja yang mewah itu. "Selamat pagi, Tuan Kusuma."Rafael Kusuma, yang sedang memandang keluar jendela dari kursi kerjanya yang tinggi, tidak segera menoleh. Suara itu tidak asing, dia selalu terngiang- ngiang dengan suara lembut nan merdu itu. Suara itu adalah milik sekretaris barunya, Karin.Setelah dipersilahkan, tak lama masuklah seorang wanita muda dengan setelan formal yang rapi. Wajahnya masih memancarkan nuansa fresh graduate, namun matanya berusaha tampil percaya diri. "Saya Karin Sanjaya, sekretaris baru Anda," ucapnya memperkenalkan diri sekali lagi, seolah mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Barulah kemudian, dengan gerakan lambat dan penuh kendali, kursi Rafael berputar perlahan. Dia kini menghadap langsung kepada Karin. Sorot matanya tajam, mengamati setiap detail dari calon tangan kanannya yang baru."Selamat pagi, Nona Sanjaya," suaranya rendah dan datar.

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab. 11

    Kakek Dodi dengan bangga mengantarkan Rafael ke ruangan yang megah, ruang kerja CEO. Dinding kaca, perabotan kayu mahogany berkilau, dan pemandangan kota yang mempesona dari lantai tertinggi. "Selamat datang, Nak," ucap Kakek Dodi, suaranya hangat penuh kebanggaan. "Mulai sekarang, ini adalah ruanganmu. Kamu bisa mengubahnya sesuai keinginanmu." Rafael hanya mengangguk, matanya menyapu setiap sudut ruangan, seakan ingin menilai dan menganalisis segala sesuatu di dalamnya. "Oh ya, kenalkan ini Bagas," kata Kakek Dodi sambil menunjuk seorang pria muda yang berdiri dengan postur tegap dan raut wajah loyal. "Dia adalah orang kepercayaanku. Dan ia sekarang akan menjadi asistenmu." Bagas segera memberi hormat. "Selamat datang di Perusahaan Kusuma, Tuan." "Terima kasih. Ke depannya, mohon bantuannya," balas Rafael dengan sopan, namun tetap menjaga jarak profesional. "Tentu, Tuan. Saya akan sangat senang bisa membantu Anda," jawab Bagas dengan tulus. Kakek Dodi lalu menurunkan su

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan    Bab. 10

    “Apartemen yang bagus," komentar Rafael, matanya menyapu ruang tamu dan sekeliling apartemen Karin."Silahkan duduk dulu, Om. Saya ambilkan minum." Karin hendak menuju ke dapur, namun langkahnya terhenti. "Oh ya, Om Rafael mau minum apa?""Air mineral saja," jawabnya sambil duduk di sofa, memperhatikan dekorasi ruangan yang mencerminkan kepribadian Karin.Tak lama, Karin kembali dengan sebotol air dingin. Rafael meneguknya sedikit, lalu menatap Karin."Aku dengar kamu juga bekerja di Perusahaan Kusuma?""Iya, aku masih jadi pegawai magang di bagian pemasaran."Rafael mengerutkan kening. "Bukankah kamu lulusan S2 Manajemen Bisnis? Kenapa kamu mau ditempatkan jadi karyawan magang di bagian pemasaran? Setidaknya kamu bisa langsung jadi manager di sana.""Aku ingin memulai karirku dari bawah, Om. Aku tidak mau memanfaatkan nama keluargaku untuk mendapatkan posisi yang tinggi," jawab Karin dengan tegas.Merasa percakapan sudah cukup dan waktunya tidak tepat, Karin berdiri. "Ini sudah malam

  • Terperangkap Gairah Paman Tampan   Bab 9

    Ruangan luas di rumah keluarga Kusuma bergetar oleh gemuruh suara dan tawa. Aroma anggur dan parfum mewah membaur di udara, menandai sebuah acara keluarga yang tampak harmonis. Di tengah kerumunan, Kakek Dodi, berdiri dengan tegap. Suasana seketika hening. "Perhatian, semua!" suaranya lantang dan berwibawa. Semua mata tertuju padanya. "Perkenalkan, ini adalah Rafael Kusuma, anak bungsuku yang sejak kecil tinggal di London, tinggal bersama ibunya.”Sorotan lampu seakan berpindah kepada seorang pria tampan dengan balutan jas yang sempurna. Senyumnya hangat namun mengandung sepercik keragu-raguan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang jeli."Sekarang," lanjut Kakek Dodi dengan bangga, "dia pulang kesini untuk memimpin Perusahaan Kusuma."Gemuruh sambutan dan tepuk tangan riuh menyambut pengumuman itu. Senyum mengembang dari semua tamu. Namun, di balik topeng keramahan itu, tersimpan dua pasang mata yang memancarkan sinisme tajam.Pak Heru, suami kakak Rafael, dan Alex, putra mereka,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status