로그인Mature (21+) “Pak... bukannya tadi sudah kita lakuin di sofa?” bisik Amara dengan wajah memerah saat Darian kembali melucuti pakaiannya. “Kau tahu, Amara, untuk satu anak... kita butuh lebih dari sekali untuk bercinta,” jawabnya berat, sebelum membaringkannya di atas ranjang. Amara Aurelia hidup sebatang kara dan tak pernah memikirkan pernikahan, sampai sebuah kecelakaan membuatnya kehilangan segalanya. Di ambang kematian, hanya satu penyesalan yang tersisa: ia belum merasakan menjadi seorang ibu. Darian Lancaster, CEO dingin dan kejam, tanpa sengaja terlibat dalam insiden itu yang dihantui rasa bersalah dan siap membayar ganti rugi apapun. Hingga sebuah kontrak gila pun lahir; pernikahan rahasia tanpa cinta. Amara harus menjadi istri tersembunyi, tinggal dibawah atap Darian dan dibawah pengawasan ketatnya. Namun, bagaimana jika hubungan yang dimulai hanya demi sebuah janin ini diam-diam mengubah segalanya?
더 보기“Apa yang kamu mau? Kompensasi atas kecelakaanmu?”
Suara Darian Lancaster terdengar berat dan dingin, memenuhi ruangan rumah sakit yang hening. Amara tercekat. Untuknya, masih hidup saja sudah syukur. Tapi satu penyesalan besar terus menghantui: ia tidak ingin pergi dari dunia ini tanpa meninggalkan jejak. Ia menelan ludah, lalu berbisik pelan, “Kamu mau jadi ayah anakku… atau hanya sekadar pria yang memberiku anak? Aku mau jadi ibu.” Darian membeku di tempat. Senyum sinis yang biasa menghiasi wajahnya memudar seketika, tergantikan kebingungan. Mata abu-abunya yang tajam menatap Amara intens, seolah hendak menembus pikirannya. Ia berdiri di dekat jendela; bayangan malam membingkai sosok tinggi tegapnya. Kemeja putih yang digulung sampai siku memperlihatkan otot lengannya yang kekar. Aura dominan yang biasa ia pancarkan terasa berlipat ganda, memenuhi ruangan sempit itu. “Maksudnya?” suaranya rendah, menusuk. Amara memberanikan diri menatap balik. “Aku mau jadi ibu,” ulangnya lebih jelas, meski dadanya berdebar kencang. Darian melangkah mendekat, setiap gerakannya terukur. Suara beratnya yang biasanya tajam kini terdengar serak, “Kamu tidak takut bicara begitu padaku?” Amara hanya menelan ludah, hatinya memukul rusuknya dengan irama tak beraturan. Nafas Darian terasa di atas kepalanya. Tensi di antara mereka begitu pekat hingga seolah bisa disentuh. Kecelakaan itu masih jelas di ingatan Amara. Sore itu Darian memerintahkannya hadir di rapat perusahaan kompetitor. Semuanya berjalan lancar sampai ia pulang dan menyeberang jalan sambil bicara lewat ponsel. “Apa lagi ini?” suara Darian di telepon terdengar tajam. “Kamu pikir aku punya waktu membaca laporan bodohmu?” “T-tapi Tuan Lancaster, kalau Anda lihat data di halaman tujuh...” “Aku tidak peduli halaman tujuh, delapan, atau berapa pun!” bentaknya. “Aku hanya peduli hasil, dan laporanmu tidak pernah memberikan hasil. Dengar, kamu adalah salah satu staf paling payah yang pernah aku rekrut. Aku tidak tahu kenapa aku membiarkanmu bekerja di perusahaanku.” Kata-kata itu seperti pukulan ke ulu hati. Amara menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba suara klakson mobil melengking memecah udara. Sebuah mobil melaju kencang, terlalu cepat. Ia bahkan tidak sempat berteriak. BRAK! Suara benturan terdengar jelas di telepon. Jeritan orang-orang, lalu hening. Darian membeku di seberang telepon, wajah dinginnya diliputi kepanikan yang tak ia kenali. “Amara!” ia berteriak. “Amara, kau dengar aku? Amara…” Yang Amara ingat kemudian hanya gelap. Di ambang maut, ketakutan itu datang: bagaimana jika ia mati tanpa pernah punya keluarga? Tanpa pernah menjadi ibu? Itulah mengapa sekarang, dengan tubuh penuh rasa sakit dan mata penuh tekad, ia berani menyampaikan permintaan gila itu pada Darian Lancaster. Darian menunduk sedikit, matanya menyapu wajah Amara yang pucat. Rambut cokelat tua Amara tergerai di atas bantal, bibir penuh kemerahan kontras dengan kulitnya yang putih. Mata besar itu memancarkan kepolosan yang membuat Darian muak sekaligus penasaran. “Lalu, apa yang kamu minta?” tanyanya lagi. Nada suaranya tetap dingin, tapi ada sesuatu yang lain di sana. “Aku… aku hanya ingin menjadi ibu.” Amara meraih tangan Darian yang terkepal di sisinya. Sentuhannya lembut, tapi Darian langsung menarik tangannya, seolah tersengat listrik. “Hidupku nyaris berakhir, dan satu-satunya penyesalan yang kupikirkan adalah aku belum pernah punya kesempatan menjadi ibu.” Darian mendengus. “Kamu pikir ini semudah membeli barang di toko? Kamu pikir aku akan memberimu kompensasi omong kosong itu?” “Aku tidak meminta cinta darimu, Pak. Aku tidak meminta pernikahan,” kata Amara dengan suara bergetar. “Dokter bilang rahimku mengalami guncangan keras. Peluangku hamil normal setelah ini tipis, bahkan nyaris mustahil. Prosedurnya hanya bisa dilakukan sekali.” “Lalu kenapa tak minta kekasihmu?” Darian mendengarkan saksama. “Saya belum pernah berpacaran, Pak.” Darian menatapnya lama, seolah mencoba memahami wanita yang di matanya hanyalah staf biasa, hingga insiden ini terjadi. Sesuatu di dadanya terasa berubah.Mereka tiba di ruang makan yang dihiasi dengan lampu gantung kristal dan meja panjang dari kayu jati solid. Pelayan mulai menghidangkan menu makan siang, mulai dari Creamy Mushroom Soup sebagai pembuka, hingga Wagyu Steak dengan saus truffle yang aromanya menggugah selera. Nenek Martha menarik kursi tepat di sampingnya untuk Amara. "Ayo, Nak, duduk di sini. Kau harus makan banyak. Rian bilang kau baru pulih dari operasi, kau terlihat sedikit pucat." "Terima kasih, Nek. Mas Darian memang sangat memperhatikan asupan makananku selama di Penthouse," jawab Amara sopan, melirik Darian yang duduk di seberangnya. "Memperhatikan atau memaksa?" goda Nenek Martha yang membuat Amara tersipu. Selama makan siang, percakapan mengalir deras. Nenek Martha menceritakan kembali dengan sangat detail bagaimana Amara menyiramkan kopi ke gaun gadis sombong di supermarket. Kakek Bill mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk bangga. "Dunia bisnis Solterra itu kejam, Amara," ujar Kakek Bill sa
Suasana di ruang tamu utama mansion Lancaster seketika berubah menjadi penuh haru. Nenek Martha tidak bisa menyembunyikan binar kebahagiaan di matanya, sementara Kakek Bill yang biasanya sedingin es, kini menatap Amara dengan raut wajah yang jauh lebih lunak. "Rian... kau benar-benar menyembunyikan ini dari Nenek?" Martha bertanya dengan nada protes namun bibirnya tersenyum. Ia mendekati Amara, memegang kedua tangan wanita muda itu dengan hangat. "Nak Amara, jadi pria dingin ini adalah suamimu? Mengapa kau tidak mengatakannya saat mengantarku pulang waktu itu?" Amara tersipu malu, wajahnya merona merah. "Maafkan saya, Nek. Saat itu saya... saya belum merasa ini waktu yang tepat untuk bercerita." Darian yang masih berdiri mematung di samping Amara, akhirnya tersadar dari keterkejutannya. "Tunggu... Nenek mengenal Amara? Jadi wanita yang Nenek puji habis-habisan karena telah menyiram kopi ke gadis sombong itu... adalah Amara?" TAK! Tongkat kayu ebony Nenek Martha mendarat
Pagi hari di kota Solterra disambut dengan langit biru yang bersih. Di dalam Penthouse, Amara berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dengan perasaan campur aduk. Ia mengenakan gaun selutut berwarna soft peach yang memberikan kesan anggun namun tetap sederhana. Rambutnya yang kini bebas dari perban dibiarkan tergerai rapi, menyembunyikan bekas jahitan di pelipisnya yang mulai memudar berkat salep dari Dokter Hartono. "Kau terlihat sangat cantik, Amara. Berhentilah meremas jemarimu sendiri," suara berat Darian terdengar dari arah pintu. Pria itu tampil menawan dengan kemeja navy berkualitas tinggi yang dipadukan dengan celana kain hitam, tampilan yang santai namun tetap memancarkan aura kekuasaan. Amara menoleh, napasnya sedikit tertahan. "Aku hanya takut, Mas. Bagaimana jika Kakek dan Nenekmu merasa aku tidak pantas bersamamu? Aku hanya staf biasa, dan keluarga Lancaster adalah..." Darian melangkah mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Amara dan me
Lima hari telah berlalu, sejak Amara menginjakkan kaki di unit Penthouse mewah milik Darian Lancaster semenjak usai kepulangannya dari Rumah Sakit. Selama lima hari itu pula, Amara merasa seolah waktu berjalan melambat di dalam kamar utama yang luasnya hampir menyamai luas seluruh apartemen lamanya itu.Kamar itu bukan lagi sekadar tempat beristirahat, melainkan benteng pertahanan yang dijaga ketat, sebuah perpaduan antara kemewahan kelas atas dan fasilitas medis tingkat tinggi. Setiap pagi, rutinitas Amara dimulai dengan aroma menenangkan dari lilin terapi dan suara langkah kaki Maya yang masuk dengan ceria. Maya, sahabat setianya, tidak pernah absen datang untuk menemaninya, membawa sedikit kehidupan dari dunia luar ke dalam ruangan yang terasa sunyi itu. "Selamat pagi, Amara! Lihat siapa yang membawakan 'cairan ajaib' hari ini," sapa Maya sambil meletakkan nampan kecil di atas nakas. Di sana terdapat botol kaca besar berisi Ramuan Tujuh Energi. Amara tersenyum, menyandarkan p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
리뷰더 하기