MasukBeberapa menit setelah meminum minumannya, tubuh Karin mulai terasa aneh. Kepalanya berat, wajahnya panas, dan napasnya tersengal.
“Kenapa… tubuhku rasanya seperti ini?” gumamnya panik. Dia lalu berjalan menuju toilet, bermaksud untuk mencuci muka. Saat baru keluar dari toilet, seorang pelayan mendekatinya. “Nona, Tuan Kusuma menyuruh saya memberikan kunci kamar ini. Beliau melihat Anda sepertinya tidak enak badan.” Tanpa curiga, Karin menerima kunci itu dan segera menuju kamar di lantai tiga, sesuai arahan dari sang pelayan. Tubuhnya terasa lemas dan panas, ia langsung merebahkan diri di ranjang saat sudah sampai di kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang pria melangkah masuk dan terkejut melihat seorang gadis asing di kamarnya. “Hei! Siapa kamu?” tanyanya heran. Karin membuka mata dengan susah payah, tubuhnya semakin panas dan gelisah. Ia bangkit dengan sisa tenaga dan mendekati pria itu. “Tolong… tubuhku panas sekali…” bisiknya lirih. Dalam kebingungan, Karin tiba-tiba mencium bibir pria itu dengan penuh desakan, kehilangan kendali. Sinar bulan menyelinap melalui jendela, menerangi ruangan yang hening. Rafael yang baru saja tiba, terkejut ketika seorang wanita tiba-tiba mendekat dan mengecupnya. Namun, kejutan itu segera tergantikan oleh sensasi bibir lembut yang menempel pada miliknya. Tanpa bisa menolak, nalurinya membalas ciuman Karin. Nafsu yang lama terpendam seakan menemukan salurannya. Rafael mulai menuruni kelembutan itu, dari bibir ke leher Karin. Ia menghirup dalam-dalam wangi lembut yang memabukkan dari tubuhnya, seperti aroma bunga di malam hari. Dengan penuh hasrat, ia menghisap pelan kulit leher Karin, meninggalkan jejak merah yang akan menjadi bukti kenangan malam ini. “Akh…” Desahan pelan Karin menggema di telinganya, seperti bensin yang menyulut api. Suara itu memancing gairah Rafael. “Siapapun kamu, nona… Kamu yang merayuku duluan. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku terpancing,” bisiknya lirih, seolah meyakinkan diri sendiri. Dengan gerakan cepat dan penuh keyakinan, Rafael menggendong Karin dan merebahkannya di kasur, lalu melepaskan pakaian yang membungkus tubuh Karin. Rafael terpana. “Indah. Ini sangat indah,” gumamnya pelan. Di hadapannya, Karin menggeliat-geliat di atas kasur, matanya berkaca-kaca dan penuh dengan tatapan sayu akibat efek obat perangsang. Dia mengulurkan tangannya lemah ke arah Rafael. “Tuan… Tolong sentuh aku… Badanku panas,” rintih Karin, suaranya parau dan penuh penderitaan. Rafael pun tersadar. Wanita di hadapannya bukan sedang berusaha merayunya, dia sedang menderita, karena efek obat. Sebuah keputusan singkat melintas di benaknya. “Dengan senang hati, nona. Aku akan menolongmu,” jawab Rafael dengan senyum tipis yang mengandung niat ganda, antara nafsu dan belas kasihan. Ia segera melepaskan kemejanya sendiri, lalu berada di atas tubuh polos Karin. Kembali, ia menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang dalam, sementara tubuhnya menempel erat pada kelembutan Karin. Ia berusaha memperlambat setiap gerakan, mencoba untuk tidak terlalu kasar. Namun, saat Rafael akan memulainya, dia tiba-tiba menghentikan gerakannya. Sebuah penghalang kecil membuatnya sadar akan sesuatu yang sangat penting. Matanya membelalak dalam keheranan. “Dia… masih perawan?” bisiknya dalam hati, tercekat. Seketika, nafsunya beradu dengan nurani. Dia enggan melanjutkan. Merusak keperawanan seorang gadis adalah tanggung jawab besar yang tidak direncanakannya. Dia tidak ingin menjadi penjahat yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Akan tetapi, sebelum ia bisa menarik diri, Karin justru meraih tubuhnya dengan kuat. “Tolong…,” pintanya lagi, rintihannya penuh dengan penderitaan yang tak tertahankan. Obat itu telah sepenuhnya menguasai akal sehatnya. Terjebak antara keinginannya untuk melindungi dan permohonan Karin yang tak terbendung, Rafael pun memutuskan untuk terus melanjutkan. Hatinya merasa berat, tetapi langkah ini seolah sudah tidak bisa dibatalkan. Gairah dalam dirinya juga sudah berada di puncak. “Tahan sebentar. Mungkin akan terasa sakit,” ucap Rafael berusaha menenangkan. Setelah beberapa kali usaha, akhirnya ia berhasil menembus penghalang suci itu. Karin langsung memekik keras, menahan rasa sakit yang tajam dan menusuk. “Akh… Pelan-pelan, ini sakit,” rintihnya, dengan air mata berlinang. “Tenanglah, aku akan melakukannya dengan lembut,” bujuk Rafael, berusaha menghibur. Seiring waktu, rasa sakit yang menusuk pada Karin pun berangsur-angsur menghilang. Desahan sakitnya perlahan berubah, bercampur dengan erangan yang berbeda—suara yang menandakan bahwa rasa sakit mulai berganti dengan sensasi nikmat yang asing namun menggugah. Dalam pelukan Rafael, penderitaan Karin berubah menjadi sebuah gelombang kenikmatan yang tak terduga, mengubah malam penuh gejolak ini menjadi sebuah pengalaman yang tak terlupakan bagi keduanya. * * * Sementara itu, pegawai hotel yang tadi memberikan kunci kamar kepada Karin kembali ke meja resepsionis. Belum sempat ia duduk, temannya langsung menegurnya. “Sin… kamu tadi kasih kunci kamar nomor berapa?” tanya rekannya curiga. Sinta mengerutkan dahi. “Nomor 301. Memangnya kenapa?” Rekannya langsung menepuk kening. “Aduh! Gimana sih… Harusnya kamu kasih kunci kamar 310 untuk wanita itu!” “Hah? Tapi di catatan tamu tertulis jelas kok, pesanan atas nama Tuan Kusuma adalah kamar 301,” jawab Sinta bingung. “Iya, memang ada dua tamu bermarga Kusuma yang pesan kamar malam ini. Kamar 301 itu untuk Tuan Rafael Kusuma. Sedangkan yang seharusnya ditempati wanita tadi adalah kamar 310 atas nama tuan Alexander Kusuma!” jelas temannya dengan nada panik. Mata Sinta membesar. “Astaga… jadi maksudmu, wanita itu sekarang sudah masuk ke kamar Tuan Rafael?” “Ya itu lah! Makanya hati-hati kalau bekerja. Tanya dulu kalau kamu tidak tahu!” sahut temannya, kesal. Sinta menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. “Terus… aku harus gimana? Kalau ternyata tuan Alex sudah ada di kamar dan mengadukanku ke Manager? Bisa-bisa aku dipecat…” Temannya mengangkat bahu, pasrah. “Terserah deh. Kamu urus saja sendiri. Aku nggak mau ikut-ikutan.” Sinta hanya terdiam, wajahnya pucat pasi. Ia sadar, kesalahan kecilnya bisa berubah jadi masalah besar malam ini… Sinta menelan ludah, tangannya bergetar saat diam-diam menghubungi Fiona. “Halo, Nona… gawat,” bisiknya cemas. “Ada apa?” tanya Fiona pelan, menjaga suaranya agar tidak terdengar Alex yang duduk di sebelahnya. “Saya… saya salah memberikan kunci pada Nona Karin,” ucap Sinta dengan suara nyaris bergetar. “Apa?!” Fiona hampir meninggikan suara. Bagaimana bisa kamu salah? Dasar ceroboh! Sekarang Karin ada di mana?” Sinta menunduk, meski lawan bicaranya tidak bisa melihat. “Nona Karin… ada di kamar 301, Nona. Sedangkan kamar yang Nona pesan sebenarnya adalah 310.” Fiona menutup mata, menahan amarah. “Aku nggak mau tahu! Cepat cari Karin dan bawa dia ke kamar 310. Sudah ada yang menunggunya di sana. Jangan sampai ada yang salah paham!” “Baik, Nona… saya akan segera mencari Nona Karin,” jawab Sinta buru-buru sebelum menutup panggilan. Telepon dimatikan, keringat dingin membasahi pelipisnya. “Gawat… apa yang harus aku lakukan?” gumamnya panik. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas ke lantai tiga, jantungnya berdegup kencang setiap kali langkahnya mendekati kamar 301. Sesampainya di depan pintu kamar, Sinta menarik napas dalam-dalam lalu menekan bel. Ting… tong… ting… tong… Berkali-kali ia memencet, namun tidak ada jawaban. “Kemana wanita itu? Apa dia sudah tertidur?” desahnya gelisah. Semakin lama, rasa takutnya makin menjadi—bagaimana jika Tuan Rafael sudah datang lebih dulu? Tidak berani berlama-lama di depan pintu, Sinta akhirnya memutuskan turun ke lantai basement. Ia segera menuju ruang kontrol CCTV. Hanya ada satu cara untuk memastikan kebenarannya: melihat rekaman kamera. Dengan jantung nyaris copot, ia membuka pintu ruang kontrol, berharap bisa menemukan jejak Karin—dan memastikan apakah wanita itu benar-benar berada di kamar 301 atau tidak…"Alex, sayang, kamu di mana?"Suara Fiona di ujung telepon terdengar lelah namun hangat, menggema di tempat parkir yang sepi itu. Senja mulai merayap, melukis langit Jakarta dengan jingga dan ungu."Di cafe, Sayang. Lagi ketemu temen lama aku, Rendra. Kamu kenal kan, yang dari Bandung itu?" balas Alex, suaranya riang. Di latar, terdengar gemericik gelas dan suara obrolan ramai.Fiona menghela napas pendek. "Oh iya, ingat. Aku masih di kantor, ini baru mau pulang. Capek banget hari ini. Banyak kerjaan."“Kamu nyusul aja kesini sayang. Aku kenalin kamu sama dia. Sekalian makan malam, daripada kamu masak sendiri," ajak Alex bersemangat. Suara Rendra yang dalam terdengar menyela, "Iya, Fiona. Nanti habis makan sekalian kita mampir ke club malam baru, milik temanku."Fiona tersenyum kecil. Lelahnya seketika terasa lebih ringan. "Baiklah, aku akan menyusul ke sana. Kirimin lokasinya ya.""Oke, hati-hati di jalan, Sayang," sahut Alex sebelum telepon mati.***Parkiran kantor sudah sepi. Ha
Dengan punggung tangan kanan yang memerah dan berdenyut, dia mengangkat tangan kiri yang memegang cangkir kopi, dan mengetuk pintu."Masuk," suara datar dari dalam ruangan terdengar.Karin membuka pintu, siap menghadapi bosnya yang menakutkan, dia sudah siap menerima hukuman dari sang CEO. Karin memasuki ruangan dengan hati berdebar, cangkir kopi di genggamannya terasa lebih berat dari biasanya. "Kamu telat, Nona Karin," ucap Rafael tanpa mengangkat kepala dari dokumen yang dibacanya. Suaranya dingin, memotong udara. "Sudah lebih dari sepuluh menit kamu baru datang.""Maaf, Tuan," jawab Karin, suaranya sedikit bergetar. "Saya telat tadi... ada sedikit insiden yang terjadi.""Insidens?" Kali itu Rafael menatapnya, alisnya berkerut. "Apa yang terjadi?""Hanya insiden kecil, Tuan," jawab Karin berusaha meremehkan, sambil berjalan mendekat dan meletakkan cangkir kopi di atas meja kerjanya dengan hati-hati.“Akh…!”Tanpa sengaja,punggung tangan kanannya yang melepuh menyenggol sudut taja
Pagi ini, hari pertama Karin menjadi sekretaris CEO. Suara ketukan pintu yang ragu-ragu memecah kesunyian ruang kerja yang mewah itu. "Selamat pagi, Tuan Kusuma."Rafael Kusuma, yang sedang memandang keluar jendela dari kursi kerjanya yang tinggi, tidak segera menoleh. Suara itu tidak asing, dia selalu terngiang- ngiang dengan suara lembut nan merdu itu. Suara itu adalah milik sekretaris barunya, Karin.Setelah dipersilahkan, tak lama masuklah seorang wanita muda dengan setelan formal yang rapi. Wajahnya masih memancarkan nuansa fresh graduate, namun matanya berusaha tampil percaya diri. "Saya Karin Sanjaya, sekretaris baru Anda," ucapnya memperkenalkan diri sekali lagi, seolah mereka belum pernah bertemu sebelumnya.Barulah kemudian, dengan gerakan lambat dan penuh kendali, kursi Rafael berputar perlahan. Dia kini menghadap langsung kepada Karin. Sorot matanya tajam, mengamati setiap detail dari calon tangan kanannya yang baru."Selamat pagi, Nona Sanjaya," suaranya rendah dan datar.
Kakek Dodi dengan bangga mengantarkan Rafael ke ruangan yang megah, ruang kerja CEO. Dinding kaca, perabotan kayu mahogany berkilau, dan pemandangan kota yang mempesona dari lantai tertinggi. "Selamat datang, Nak," ucap Kakek Dodi, suaranya hangat penuh kebanggaan. "Mulai sekarang, ini adalah ruanganmu. Kamu bisa mengubahnya sesuai keinginanmu." Rafael hanya mengangguk, matanya menyapu setiap sudut ruangan, seakan ingin menilai dan menganalisis segala sesuatu di dalamnya. "Oh ya, kenalkan ini Bagas," kata Kakek Dodi sambil menunjuk seorang pria muda yang berdiri dengan postur tegap dan raut wajah loyal. "Dia adalah orang kepercayaanku. Dan ia sekarang akan menjadi asistenmu." Bagas segera memberi hormat. "Selamat datang di Perusahaan Kusuma, Tuan." "Terima kasih. Ke depannya, mohon bantuannya," balas Rafael dengan sopan, namun tetap menjaga jarak profesional. "Tentu, Tuan. Saya akan sangat senang bisa membantu Anda," jawab Bagas dengan tulus. Kakek Dodi lalu menurunkan su
“Apartemen yang bagus," komentar Rafael, matanya menyapu ruang tamu dan sekeliling apartemen Karin."Silahkan duduk dulu, Om. Saya ambilkan minum." Karin hendak menuju ke dapur, namun langkahnya terhenti. "Oh ya, Om Rafael mau minum apa?""Air mineral saja," jawabnya sambil duduk di sofa, memperhatikan dekorasi ruangan yang mencerminkan kepribadian Karin.Tak lama, Karin kembali dengan sebotol air dingin. Rafael meneguknya sedikit, lalu menatap Karin."Aku dengar kamu juga bekerja di Perusahaan Kusuma?""Iya, aku masih jadi pegawai magang di bagian pemasaran."Rafael mengerutkan kening. "Bukankah kamu lulusan S2 Manajemen Bisnis? Kenapa kamu mau ditempatkan jadi karyawan magang di bagian pemasaran? Setidaknya kamu bisa langsung jadi manager di sana.""Aku ingin memulai karirku dari bawah, Om. Aku tidak mau memanfaatkan nama keluargaku untuk mendapatkan posisi yang tinggi," jawab Karin dengan tegas.Merasa percakapan sudah cukup dan waktunya tidak tepat, Karin berdiri. "Ini sudah malam
Ruangan luas di rumah keluarga Kusuma bergetar oleh gemuruh suara dan tawa. Aroma anggur dan parfum mewah membaur di udara, menandai sebuah acara keluarga yang tampak harmonis. Di tengah kerumunan, Kakek Dodi, berdiri dengan tegap. Suasana seketika hening. "Perhatian, semua!" suaranya lantang dan berwibawa. Semua mata tertuju padanya. "Perkenalkan, ini adalah Rafael Kusuma, anak bungsuku yang sejak kecil tinggal di London, tinggal bersama ibunya.”Sorotan lampu seakan berpindah kepada seorang pria tampan dengan balutan jas yang sempurna. Senyumnya hangat namun mengandung sepercik keragu-raguan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang jeli."Sekarang," lanjut Kakek Dodi dengan bangga, "dia pulang kesini untuk memimpin Perusahaan Kusuma."Gemuruh sambutan dan tepuk tangan riuh menyambut pengumuman itu. Senyum mengembang dari semua tamu. Namun, di balik topeng keramahan itu, tersimpan dua pasang mata yang memancarkan sinisme tajam.Pak Heru, suami kakak Rafael, dan Alex, putra mereka,







