“Aku ingin kau yang membersihkannya, dengan bibirmu” Ucap Dante santai, dia bahkan tidak bergeming ketika netra biru terang itu membola.
Nafas Shia memburu, udara didalam lift terasa sangat panas.
“Kau benar-benar baj-“ Ucapan Shia terpotong oleh ciuman Dante di bibirnya. Terkejut. Shia makin membelalakkan mata ketika tiba-tiba saja Dante mendorong tubuhnya, menyudutkannya ke dinding elevator, kemudian memagut bibirnya kasar.
Shia gemetar marah, dia berusaha keras mendorong Dante, tubuh lelaki itu sekokoh karang, tidak bergeming meski Shia mendangkan kakinya pada aset pria itu.
Tangan Dante menangkup wajah Shia, memiringkan kepalanya kemudian menyerang bibir Shia dengan posesif. Arshia seperti tersengat. Ini berbeda dengan ciuman biasa yang dia lakukan. Ini lebih dewasa… lebih dalam dan membakarnya. Apalagi Dante menggerakan lidahnya dengan jilatan pelan dan niat.
Shia merasa nyaris tenggelam dalam ciuman itu. Tangannya mencengkeram Jas hitam Dante, mengelusnya pelan. Dante tersenyum kecil. Hingga tiba-tiba saja Shia mengigit bibir Dante dengan kuat.
“Aw. Kau gila?” Ringis Dante sembari melepas ciumannya
“Jangan pernah berpikir untuk bertemu atau bahkan menyentuhku lagi, jerk!” bentak Shia sembari menunjukkan jari tengahnya tepat di depan wajah Dante, tatapannya tajam.
Ting
Pintu lift terbuka, Shia bergerak cepat keluar dari lift menuju basement tempat mobil hitam yang dibawanya semalam berada. Begitu hendak membuka pintu kemudi, tangan besar Dante menutup pintu itu secara sepihak.
Arshia membalik tubuhnya dengan raut wajah penuh emosi “Apa lagi yang ingin kau lakukan, Sialan?!” Ketus Shia
Dante tersenyum miring, tanpa bicara dia menyingkirkan tubuh Shia lalu membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi mobil hitam itu.
“Kau sedang membawa mobil curian, itu berbahaya, masuklah aku akan mengantarmu” Ucap Dante tangan kuatnya melekat pada kemudi.
Shia berdecih “Ku serahkan mobil curian itu padamu, lebih baik aku naik taksi” Ucapnya ketus
“Kau tidak akan menemukan taksi, kecuali berjalan 6 km menuju jalan besar” ucap Dante yang menghentikan langkah Shia.
“Apa mak-“
“Aku menutup akses menuju kota, jika kau ingin jalan kaki silahkan saja” Dante memotong ucapan Shia. mata biru Shia membola
“Sebenarnya kau siapa?” tanya Shia tak yakin, dia tidak mengenal Dante dan dia tidak penah mendengar nama Dante dalam dunia bisnis tapi kenapa seolah semua kuasa ada pada pria itu.
“Dante, cukup ingat namaku little tigris.” Mata biru Shia menatap Dante dengan penuh selidik “Masuklah aku akan mengantarmu ke bandara” Lagi ucapan Dante mampu membuat Shia melotot, bagaimana bisa pria itu tau tujuannya?
Mau tak mau Shia kembali mendekati mobil, dia berjalan memutar dan membuka pintu, duduk di sebelah Dante yang mulai mengemudikan mobilnya.
Mobil mereka melaju dengan cepat di jalan raya yang cukup sepi, mengingat akses kendaraan yang sudah Dante tutup sepenuhnya. Namun, kejadian tiba-tiba merubah segalanya.
Tiba-tiba, suara keras terdengar, dan ban belakang mobil meledak.
“Sialan, mereka memasang bom” Desis Dante dengan tangan yag mencengkram erat kemudi, berusaha mengendalikan mobil yang mulai oleng ke samping, mengeluarkan percikan api dan asap.
“Kita harus keluar!!” Ucap Shia setengah panik
“Kau duluan” Perintah Dante, Shia mengangguk, dia melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu, tatapannya tertuju pad Dante menunggu aba-aba pria itu dan bersiap untuk melompat
Dante berusaha keras untuk mengendalikan mobil yang kehilangan kendali, tetapi kecepatan tinggi membuatnya hampir tidak mungkin untuk menghindari benturan.
“Sekarang!!” Teriak Dante dan saat itu juga Arshia melompat turun dari mobil. Pendaratan yang tidak mulus membuat tubuhnya berguling pada aspal dan menyebabkan luka pada tubuhnya, meski demikian Arshia masih bisa berdiri dan menatap kearah mobil yang melaju dengan oleng.
“Dante!!” Shia berteriak
Mobil itu akhirnya bertabrakan dengan beton pembatas jalan raya dengan kekuatan yang mengerikan. Dalam sekejap, mobil itu hancur dan terbalik. Arloji yang terlempar di udara berhenti sebentar sebelum jatuh ke samping, menghentikan detik waktu yang dramatis.
“DANTEE!!” Shia berteriak, meskipun dia merupakan mantan atlet drifting namun ini adalah kedua kalinya dia melihat kecelakaan didepan matanya sendiri. Tanpa bisa ditahan air matanya menetes.
“Sialan..” Shia mengusap air matanya dan berlari dengan tertatih menuju lokasi Dante berada.
Tubuh Shia mematung dengan wajah yang mulai pucat. Dengan kekuatan yang tersisa Shia mencoba membuka pintu kemudi dan menarik Dante keluar. Tubuh pria itu terbaring di pangkuannya.
“H-Hei” Shia menggoyangkan pelan tubuh pria itu berharap mendapatkan respon. Namun hasilnya nihil, tidak ada respon yang didapatnya. Justru paha Shia mulai terasa basah karena karena darah yang keluar dari bagian belakang kepala Dante.
“Hei Dante.. sadarlah” ucap Shia melirih
“Dante.. Heii..” Panggil Shia lagi
Shia berharap ada mobil yang lewat dan mau membantu mereka namun sayangnya hingga menit ke 10 tidak ada satu kendaraanpun yang melewati mereka.
Seolah mengingat sesuatu, gadis itu meletakkan Dante ditempat yang aman lalu membuka pintu mobil, mengambil tasnya yang masih berada disana.
“Dimana?” tanya Shia pada seseorang dipanggilan telpon
“Rumah sakit, kenapa?” suara seorang wanita terdengar dari panggilan telpon
“Tolong aku cepat, seorang pria sedang celaka bersamaku -”.
“APA? BAGAIMANA BISA?” tanyanya tak percaya.
“Ceritanya panjang. Kumohon segara kirim bantuan ke sini. Aku akan mengirimkan lokasinya”
“baiklah, aku akan mengirimkan ambu-“
“Jangan ambulan! Kirimkan saja mobil biasa. Jangan sampai menarik perhatian orang banyak” Ucap Shia penuh penekanan. Untuk sejenak ada keheningan yang melanda
“Shia.. jangan bilang kau-“
“Kumohon Teresa, jangan tanyakan apapun” Ucap Arshia memohon”
“Baiklah. Aku akan meminta Adolf menjemputmu sekarang” Sahut Teresa dengan helaan nafas
“Terima kasih”
TUT
Shia melempar handphone kebelakang dengan asal. Pandangannya kembali kearah pria itu. Ada sebuah luka pada kening pria itu membuatnya terdiam. Hal ini mengingatkanya ke kejadian 6 tahun yang lalu.
“Meskipun kamu orang asing, setidaknya jangan mati didepanku. Aku benci melihatnya.”
Mobil yang membawa Shia dan Dante berhenti di Parkland memorial hospital tepat di samping wanita dengan seragam dokter yang memang menunggunya. Teresa Tylor, sahabatnya yang bekerja sebagai dokter itu menampakan raut terkejut ketika melihat pakaian Shia yang berwarna merah darah.“kau terluka?” ucap Teresa panik, dia memperhatikan Shia secara seksama.“Itu darahnya.” Ucap Shia bersamaan dengan pintu mobil yang terbuka, menampakkan seorang pria yang terbalut kemeja putih yang kini berubah merah darah.“Oh Gosh. Bagaimana dia bisa begini? Apa kamu menabraknya? Sudah kubilangkan berhentilah balapan liar Shia.” Cecar Erika panik. Wanita itu mengkode kepada perawat yang bersamanya agar membawa pria itu dengan cepat.“Dia menyelamatkanku, aku berhutang budi dengannya” jawab Shia dengan atensi yang sepenuhnya tertuju pada para perawat yang memindahkan tubuh Dante ke ranjang pasien dan membawanya masuk ke d
Setelah Shia mengembalikan kunci mobil pada Teresa di ruangannya, langkahnya membawanya menuju lift yang membawa ke lantai 5. Menyusuri koridor yang tenang, ia akhirnya sampai di depan pintu ruangan lavender. Dengan langkah hati-hati, Shia membuka pintu itu. Ruangan tersebut terasa hening, terasa tenang dengan warna-warna lembut dan lampu yang redup. Namun, perhatian Shia segera tertuju pada sosok pria yang terbaring di ranjang. Dante, seorang pria yang baru dikenalnya, terlihat rapuh dalam seragam pasien. Perban di kepala dan infus yang terpasang di tangan kanannya menyiratkan bahwa Dante tengah melewati masa sulit. Shia mendekati ranjang, mengambil tempat di kursi di sampingnya. Tatapannya terkunci pada wajah Dante yang tertutup oleh matanya yang tenang. Mata biru Shia memperhatikan setiap detail, mencoba membaca ekspresi yang mungkin ada di balik ketenangan itu. lalu Shia nampak menilai perawakan Dante. Rupa pria itu sangat menawan. Rambut hitam yang terlihat lembut, Rahang kokoh
Shia menatap sosok pria yang terduduk di ranjang pasien. Mata yang tertutup itu kini terbuka. Pandangan mereka bertemu, netra abu-abu gelap dengan kesan dingin itu menyapanya. Shia cukup tertegun, sosok Dante yang sekarang berada didepannya berbeda dengan tingkah pria itu sebelumnya yang terkesan menyebalkan. “Siapa?” suara serak itu menyadarkan Shia. Dante tidak mengenalinya. “Kau baik-baik saja?” Tanya Shia balik dengan langkah mendekat. Bersamaan dengan tangannya yang menuangkan segelas air dan menyerahkan pada Dante yang masih bersandar pada kepala ranjang. Dante melirik Shia dengan kening berkerut. Maniknya bersitatap dengan manik biru gelap milik Shia. Tentu saja pria itu sadar dirinya kini pasti berada di sebuah rumah sakit dan mengenakan seragam pasien. Namun bagaimana dirinya bisa berada disini. Merasakan tenggorokan yang kering. Dante meraih gelas yang disodorkan oleh Shia dan meminumnya hingga tandas. “Kau ingat ses-“ PRANK “ARGHH” Gelas kaca yang dipegangnya jatuh d
Los Angeles, USBRAK..“ITU BUKAN MAYATNYA!!” teriak seorang pria sambil menggebrak meja kerjanya, membuat dokumen yang tersusun rapi kini berhamburan ke lantai.“Apa kalian bisa menjelaskan apa yang terjadi” Tanya pria itu dengan desisan tajam. Dua orang yang berada didepannya menunduk takut. Saling menyenggol untuk menentukan siapa yang berbicara.“Apa kalian mendadak bisu.” Ucapnya dengan dingin.“I-itu jebakan.. kami dijebak” jawab Frank selaku pemimpin kompotan dengan takut-takut. Pria itu hanya diam seolah menunggu kelanjutan cerita yang ingin didengarnya.“Benarkah? Ceritakan padaku jebakan seperti apa yang dibuat olehnya”“Bom yang kami tembakan pada mobil itu berhasil meledak, saat kami ingin mendekat, tiba-tiba kami semua pingsan dan saat bangun sudah berada didepan gerbang” Ucap Frank dengan badan bergetar.“Kami rasa ia sudah mati tuan. Mo
Setelah mengantar Dante menuju kamar, Shia kini berkutat di dapur, sebenarnya sudah cukup lama dia tidak memasak bagi orang lain, dengan sedikit kaku ia mulai mengaduk telur dengan beberapa potong wortel dan bumbu lalu mendadarnya dilanjutkan dengan cornet. Shia mengangkat dan meyusun keduanya diatas roti tawar. Menuangkan saos dan mayonnaise lalu menutup kembali dengan roti dan memotong roti tersebut menjadi dua bagian berbentuk segitiga. Senyum tipis tertera di bibirnya ketika melihat bentuk sandwice buatannya. Tidak buruk pikirnya.“Kau memasak?” Tanya DanteShia menoleh, menatap Dante yang shirtless hanya menggunakan celana selutut yang baru di belinya tadi. Rambut hitam pria itu terlihat basah begitu pula dengan aliran air yang mengalir membasahi tubuh atletisnya yang memiliki roti sobek disana.‘astaga’ Shia terdasar“Gunakan bajumu” Ucap Shia yang otomatis membalikkan tubuhnya.Dante ters
Di apartemen, Dante duduk di sofa dengan tatapan yang tertuju pada televisi yang menampilkan berita, dia tersenyum tipis begitu melihat berita salah satu keluarga ternama“Dia rajin sekali mencari sensasi” celetuknya asal. Dante mematikan televisi itu, dia berjalan kea rah kamar yang berhadapan dengan kamar miliknya.Tanpa berpikir dua kali Dante membuka pintu kamar itu. “Jadi ini kamarmu, little tigris” gumamnya saat melihat bagian dalam kamar itu.Dante melangkah masuk. Kamar ini terlihat lebih kelam dengan warna dinding abu-abu dan juga beberapa lukisan abstrak yang didominasi warna hitam yang menghiasi dindingnya. Berbeda dengan kamar miliknya yang dilapisi cat dinding putihDante melangkahkan menuju lemari kaca berisi piala yang menarik perhatiannya. Piala penghargaan atas prestasi wanita itu di bidang akademik dan 4 mendali serta belasan piala kejuaraan drift yang di dapat 2 tahun terakhir.Netra abu-abu itu tera
Gerakan Shia yang membongkar belanjaannya terhenti, tatapannya mengambang “Aku tidak lagi memiliki alasan untuk melakukannya” Shia mengedipkan matanya, tersadar jika dia kembali mengingat kenangan lama“Sudahlah, makan saja ini. Aku membelinya di restoran favorit ibuku”Shia membuka kotak makanan di depannya. Lalu memakan pasta itu dengan tenang. Baru satu suapan ucapan Dante justru membuat suapannya terhenti“Dimana ibumu?” Shia mengulas senyum tipis lalu menatap Dante“Di tempat yang jauh”“Kapan terakhir kali kau bertemu dengannya?” Tanya Dante yang tanpa disadar membuka luka lama yang Shia rasakan“enam atau tujuh tahun yang lalu mungkin, aku hampir lupa” Ucap Shia nyaris seperti gumaman“Kau tidak ingin menemuinya?”“Mungkin suatu saat” balas Shia lalu kembali menyuapkan pasta ke mulutnya namun tidak bisa dipungkiri rasa sesak m
Shia terbangun ketika merasakan cahaya matahari yang mengusik tidurnya. Tangannya terangkat mengambil kain yang berada di kepalanya. Tunggu… jangan bilang Dante merawatnya??“Kacau sekali kau Shia..” Shia berdecak, dia tidak mengingat apa yang terjadi semalam.Gadis itu bangkit dan beranjak menuju kamar tempat Dante berada. Shia mengetuk pintu, sayangnya tidak ada jawaban hingga membuat Shia membuka pintu dengan pelan. Ia menatap Dante yang masih tertidur di atas ranjang dengan tubuh tertutup selimut.Shia mendekat, tangannya terulur hendak membangunkan Dante, namun tiba-tiba tangannya ditahan oleh Dante. Tanpa bisa Shia tebak, Dante membalikkan posisi mereka. Kini Shia berada di bawah Dante.Dada bidang pria itu terlihat menggoda namun tidak dengan tatapan Dante yang tajam. Ketika menyadari bahwa sosok di bawahnya adalah Shia dengan cepat dia bersingut menjauh.“Keluar” suara Dante terdengar berat dan serak. Shia masih terdiam, kesadarannya belum kembali. Dante mengalihkan pandangann