Killian baru menyelesaikan pekerjaannya setelah lewat tengah malam.
Meski kondisinya buta seperti ini pun, dia tidak betah kalau terus diam tanpa melakukan apa pun. Memang, segala urusan mengenai bisnis keluarga Ardhana dan keluarga Reinhardt yang semula ditangani oleh Killian, sudah dialihkan ke beberapa orang yang lelaki buta itu percayai dan tunjuk sebagai wakil secara langsung.
Selain itu, ayahnya, Claude Agentine, juga ikut memantau dan mengawasi segalanya. Lelaki Rusia itu memutuskan tinggal di Indonesia untuk sementara waktu agar bisa membantu putra semata wayangnya.
"Padahal Ayah nggak perlu repot seperti itu," gumamnya, menyugar rambut dan menghela napas panjang. "Kenapa capek sekali, ya, rasanya? Padahal biasanya, bekerja sampai pagi pun nggak masalah."
Menelungkupkan kepala di atas meja, Killian menyatukan kedua tangan di tengkuk. Beberapa kali lelaki buta itu menghela napas panjang.
Segera setelah dia mengalami kebutaan, Killian la
Four Season Hotels and ResortPenthouse Suites Di kamar kerja Aria Hills. Hari ini Ivona memang mengajak Aila ke tempat di mana desainer cantik itu menginap untuk mencoba kembali gaun-gaun yang akan gadis itu kenakan saat pernikahan nanti. Sebenarnya, Aria Hills berjanji untuk datang ke kediaman Ardhana 2 hari lagi, tapi rupanya perempuan paruh baya itu sudah tidak sabar menunggu. "Cantiknyaa ...," desah Ivona, jelas terlihat begitu terpesona. "Oh, ya Tuhan. Menantuku memang sangat cantik dan anggun." "Dia calon menantumu, Nyonya Agentine. Bukan menantu." Aria Hills menyahuti ucapan Ivona dengan senyuman di wajah. "Oh, memang apa bedanya? Toh, tanggal pernikahannya bahkan kurang dari satu minggu lagi." "Bedanya adalah, Artemisku, ah, maksud saya ... gadis itu bahkan belum sah menjadi istri putra Anda." "Segera. Tidak lama lagi." "Tetap saja. Artinya 'kan masih belum." Tidak hanya Aila yang kebingungan dengan
Sepertinya Aiden belum pernah sebahagia ini."Coba yang ini, Ans. Grilled calamari di sini lumayan rasanya.""Ini, cicipi lasagna-nya. Risotto-nya jangan lupa dimakan juga.""Wagyu steak-nya apakah sesuai dengan seleramu? Aku tadi memesannya dengan tingkat kematangan medium."Aila mengangguk sementara mulutnya sibuk mengunyah. Ada rona bahagia di wajah cantik gadis itu, selain karena pada akhirnya bisa keluar rumah dengan santai, dia juga bisa menikmati makanan favoritnya."Dari mana kamu tahu kalau aku suka makanan Italia?" tanyanya, memasukkan satu suap lagi lasagna dalam potongan besar. Aila memakannya dengan nikmat, tidak menyadari ada sedikit sisa saus yang tertinggal di sudut bibir."Hanya sekedar tebakan saja," jawab Aiden, tersenyum simpul.Dia lalu mengulurkan tangan dan mengusap sisa saus di sudut bibir Aila. Tindakan Aiden membuat gadis itu merona. Ditambah lagi, bukannya mengelap jari yang kotor terkena saus, dia malah men
"Selamat siang, Dokter Aiden." "Selamat siang, Erik. Bagaimana kabarmu?" Sedikit menunduk, Erik memasang senyuman formalnya. "Kabar saya baik, Dokter." "Apakah kita bisa langsung atau—" Aiden mengangkat kedua alis, menatap heran Erik yang memandangi mobilnya dengan cermat. "Erik? Ada apa?" "Maaf, Dokter Aiden. Apakah saya boleh memeriksa mobil Anda sebentar?" "Eh?" Bahkan tanpa menunggu persetujuan dari Aiden, Erik sudah langsung melangkah. Tadi sepertinya dia melihat sekelebatan rambut berwarna coklat madu di balik bangku penumpang. Mengambil sedikit jarak, Erik mengamati mobil mewah yang hanya bisa memuat penumpang 2 orang saja itu. Memang Erik tidak menyentuh Porsche boxster silver milik Aiden, tapi pengawal itu bahkan berjalan mengitarinya sebanyak 2 kali. Pengawal itu sudah hendak menunduk untuk memeriksa bagian bawah mobil, sewaktu suara Aiden terdengar menyela. "Ada apa sebenarnya, Erik?" tanya Aiden, iku
"Kills?""Hm?""Bagaimana kabarmu hari ini?"Sunyi sesaat. Tetap tidak ada jawaban bahkan setelah beberapa saat berlalu.Ingin tahu, akhirnya Aila membalik tubuh. Kalau tadinya dia memunggungi lelaki itu, sekarang mereka tengah berbaring berhadapan. Kepala gadis itu mendongak dengan dagu yang bertumpu di dada Killian, menatap wajah tampan yang masih saja terus terdiam tanpa ada ekspresi apa pun."Kills?" tanya Aila lagi dengan suara lirih. "Kenapa diam saja? Apa aku membuatmu marah?"Mulai merasa gelisah, Aila tanpa sadar mengelus-elus tangan Killian yang menjadi alas bantalnya. Jemari gadis itu juga bergerak tanpa arah di dada bidang Killian.Namun belum terlalu lama, lelaki buta itu lalu menggenggam dan mengelus tangan Aila. Ada beberapa saat berlalu bagi gadis itu dengan tangannya yang tetap terdiam di dada Killian, merasakan detak jantung dan juga kehangatan lelaki tampan itu.Ada debaran yang juga kian dirasakan oleh Aila.
Di hari yang sama, di kediaman keluarga Roxanne. Risa Roxanne tengah duduk sendiri di ruang depan dengan gelisah. Berkali-kali dia melirik handphone di tangan, dan berkali-kali pula dia menghela napas berat karena nyatanya benda pipih itu masih saja tetap sama terdiamnya. "Kenapa dia lama sekali?" keluhnya dengan wajah yang terlihat cemas. "Padahal sudah malam begini." Tidak betah untuk terus duduk, Risa akhirnya memutuskan untuk berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang depan kediaman keluarga Roxanne. Sesekali perempuan itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Ini sudah 8 jam berlalu sejak suaminya, Heri Roxanne, berpamitan hendak pergi ke kediaman Agentine. "Apa dia berhasil bertemu dengan lelaki Rusia itu, Claude Agentine? Kabar yang kudengar, lelaki itu tidak memiliki hati dan sangat kejam. Bahkan dia tidak pernah segan sedikit pun untuk menghabisi lawannya," gumam Risa, sekarang menggigiti ujung jari tangannya karena merasa sema
"Aila." "Ya?" "Gadis itu bukanlah Ansia Roxanne, tapi Aila Lewis. Dia adalah kakak kembar Ansia, yang putra kalian salah culik sewaktu dia baru tiba di bandara karena hendak menjenguk Ansia yang mengalami kecelakaan. Ini adalah kebenaran yang ada." Deg! "Apa?" ••• Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, tapi Ivona Agentine masih belum juga bisa tidur. Perempuan berusia 50 tahun itu berdiri di ambang jendela, menatap pemandangan malam hari dari kamar tidurnya yang berada di lantai atas. "Kenapa belum tidur juga?" tanya Claude, memeluk Ivona dari belakang. Dia baru saja menyelesaikan semua pekerjaan dan sedikit heran karena sewaktu masuk ke kamar tidur, ternyata istrinya masih juga belum tidur. "Ada apa? Apa kamu masih memikirkan soal yang tadi?" tanya Claude lagi, kali ini sambil mencium pundak Ivona dan sesekali membelainya. "Bagaimana menurutmu soal apa yang Heri Roxanne katakan tadi, C
Untuk pertama kali, Killian merasa bersyukur atas kebutaannya. Dia memang tidak bisa melihat, tapi lelaki itu bisa merasakan dan menebak apa yang sedang terjadi. Aila sedang dalam pelukannya sewaktu Aiden datang, dan gadis itu langsung menyentakkan tangan Killian lalu menghambur ke dalam pelukan Aiden. "Ada apa?" tanya Aiden, yang dengan suka cita balas memeluk gadis impiannya. Dia mengelus dan menciumi rambut Aila, menghirup dalam-dalam aroma bunga yang ringan dan samar. Kalau saja tidak ada Erik, yang jelas mengamati mereka dengan cermat, mungkin Aiden bisa lupa diri dan melumat sepasang bibir berwarna peach yang selalu membuatnya tergiur itu. "Apa kamu merindukanku?" tanyanya mesra dalam bisikan yang sangat lirih. "Aku datang, Sayang." Aila tidak menjawab. Dia hanya mempererat pelukan dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Aiden. Sekilas tubuh gadis itu masih bergetar, tapi yang jelas gemetarannya sekarang sudah jauh berkurang.
Sebelumnya, di kediaman Reinhardt. Waktu sudah semakin larut, tapi Aiden masih belum tidur. Dokter muda itu berada di ruang kerjanya, mengamati jam digital berukuran kecil yang bertengger di atas meja. 'Sebentar lagi,' pikirnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Sesekali matanya masih mengerling, mengawasi angka digital yang berubah setiap menit, seakan menunggu sesuatu. Menghela napas, dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku kemeja. Ada senyum di wajah kalem Aiden sewaktu mengamati botol yang berisi cairan bening itu. Ukurannya sangat kecil, hanya berisi 10 ml cairan, yang sekarang sudah berkurang lebih dari separuh. "Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya?" gumamnya, masih juga tersenyum sendiri. Menengadah di kursi kerjanya, dokter muda itu kembali menghela napas. Selang beberapa waktu, lagi-lagi dia tersenyum. Cairan dalam botol kecil itulah yang akan membantu untuk mendapatkan apa yang dia