N"Sampai kapan kamu akan berputar-putar terus. Jalanan ini sudah kita lewati tadi. Tapi kamu tidak cocok terus kontrakannya," omel Dimas mendengus kesal."Tuan, kalau tidak ikhlas mengantar saya. Lebih baik pulang saja. Aku juga bingung kalau dari tadi Tuan marah-marah terus seperti wanita PMS," balas Citra."Apa kamu katanya aku lagi PMS? Berani sekali kamu ya!" Ciiiit! Seketika itu juga Dimas langsung mengerem mendadak mobilnya. Kayaknya sekarang sudah tidak ada ampun lagi. "Turun sekarang!" Perintahnya."Iya ... iya, siapa juga yang mau di anter cowok tantruman!" Gerutu Citra."Apa kamu bilang!" "Enggak ... ini juga mau turun." Langsung saja Citra memilih membuka pintu mobil dan terakhir sedikit membantingnya keras.Braaak!"Hei, kamu sudah gila!" seru Alex.Citra terus saja melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Dimas kesal merasa di abaikan. Citra sama sekali tidak peduli padanya. Padahal niatnya tadi mengantar Citra untuk terakhir kali. Setidaknya beramah tamah padanya sebagai t
Winda di perlakukan seperti putri, semua pelayan berjalan ke arahnya. Membungkuk dan memberi hormat padanya. Ia memang terbiasa di perlakukan demikian di rumah Papanya. Tapi ini ... ini di lakukan di rumah Abie suaminya. Biasanya di kontrakan sederhana, sekarang dirinya di ajak pindah ke istana. Semua serasa mimpi. Para pelayan sibuk mengeluarkan barang-barang dari bagasi. Sementara Abie mengajak istrinya berkeliling rumah. Abie menggenggam tangan istrinya erat menatapnya penuh senyuman hangat. Melangkahkan kakinya berjalan menuju ke satu ruangan ke ruangan lainnya."Mas, ini terlalu besar... bahkan terlalu besar untukku." Winda terbiasa tinggal di rumah kontrakan Abie yang kecil. Biasanya beberapa langkah kaki saja sudah sampai ke dapur terus dua langkah sampai ke kamar mandi. Sekarang dia masuk ke rumah seperti di Mall saja. Semua fasilitas tersedia."Kamu layak mendapatkan ini Sayang. Jujur ... aku juga tidak tahu Papa memberi rumah sebesar ini. Mungkin rumah ini nanti akan penuh
"Mas, kenapa selama ini tidak pernah cerita kalau Mas ada hubungan dengan Pak Hisyam. Aku masih nggak nyangka aja. Semua serasa mimpi bagiku." Abie tersenyum mendengar curhatan istrinya. "Aku takut kalau aku cerita bukannya bangga kamu malah nggak percaya. Secara kerjaanku cuma cleaning servis." "Percaya, tapi iya juga sih. Kita menikah juga awalnya tidak begitu kenal," Winda menambahkan alasan sendiri. "Nah udah tahu begitu. Masih saja nanya ke Mas. Pokoknya hari ini sungguh luar biasa. Berkat kamu menolong mama tiri aku, Papaku jadi kerumah ini. Dan endingnya Papa memaafkan aku sepenuhnya." Abie memungut telapak tangan Winda kemudian mengecup punggung tangannya. "Makasih Sayang?" bisiknya. "Hemm, gitu aja? Nggak ingin lebih?" goda Winda. Selesai berkata demikian wajahnya langsung tertunduk tidak seimbang dengan ucapannya. Niatnya menggoda malahan dia sendiri yang harus kuat menahan malu. Pipinya serasa panas, merona. Endingnya malah jadi salah tingkah. "Pinginnya di apain?" Abi
Suasana mengharukan tengah di rasakan keluarga Hisyam. Winda semula yang tidak tahu apa-apa kini menjadi paham duduk perkaranya. Mengapa Abie sampai di usir Papanya dan ada hubungan apa dulu dengan mama tirinya. Ada sedikit rasa cemburu menghantui Winda. Apalagi Zahra masih sangat muda dan cantik. Pantas saja kalau Abie pernah tergila-gila padanya. "Pa, Papa mau kan maafin Abie? Aku tidak masalah hidup miskin asal aku tidak membuat kesalahan lagi. Asal hidupku tenang dan dapat maaf dari Papa," ucap Abie. Hisyam melepas pelukannya. Tangannya memegang kedua pundak Abie. Menatap putra tirinya dengan tatapan bangga. Ia seperti tidak mengenal Abie. Abie yang dulu bersikap seenaknya kini telah menghilang. Berganti sosok Abie yang nrimo dan tidak peduli soal harta. "Bukankah aku sudah memberimu hadiah rumah untuk pernikahanmu. Mengapa kamu tidak mau menempatinya? Apakah rumah itu kurang besar?" tanya Hisyam. Abie menggeleng. "Bukan begitu Pa, aku bingung menjelaskan pada istriku. Darima
"Mas, kita pulang yuk. Kasihan Abiyan terlalu lama menunggu," ajak Zahra."Tunggu sebentar lagi." Jawaban Hisyam membuat Zahra merasa curiga. Ada apa sebenarnya mengapa suaminya betah sekali tinggal di rumah orang yang baru saja di kenalnya. Zahra melirik ke arah Winda, kemudian beralih ke arah Hisyam. Tidak mungkin suaminya tertarik pada Winda. Selama ini dia tidak pernah mencium adanya bau perselingkuhan. Hisyam sangat mencintainya. Pikiran buruknya segera di tepis manakala ada pesan di ponselnya.Rupanya Hisyam tahu kalau dirinya tengah galau. "Sabar Sayang, tidak usah berpikiran macam-macam tentang aku. Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Tunggulah sejenak, nanti kamu akan tahu apa yang aku maksudkan."Zahra cukup lega membaca pesan dari Hisyam. Ia tidak curiga lagi. Pikirannya gantian tertuju pada Hisyam. Apa yang di tunggu suaminya? Mengapa ia tidak mau pulang dari rumah ini?"Kira-kira jam berapa suamimu akan pulang?" tanya Hisyam."Mungkin sebentar lagi. Karena ia tadi bicara
Hisyam melihat ke sekeliling ruangan. Semua perabotan tak ada yang berarti. Bahkan mungkin lebih layak di buang ke tukang rosok. Hatinya nyeri merasakan kehidupan anaknya dalam serba kekurangan. Bukankah ini yang dia inginkan. Mendidik anaknya keras agar berubah. Tapi melihat dalamnya rumah Abie saja hatinya serasa tidak sanggup. Dulu Candra pernah mengirimkan foto-foto detil rumah Abie. Tapi saat itu dia tidak apa-apa. Ia bersikeras itu memang yang terbaik untuk perbaikan karakter Abie. Namun sekarang ... dia menginjakkan kaki langsung di sini. Apa bedanya? Hatinya mengapa tidak kuasa menahan gejolak perasaannya. Jiwa kemanusiaannya meronta-ronta. Anak yang ia besarkan seperti pangeran. Kini harus mendiami rumah yang tak layak. Hisyam tidak bisa berhenti berpikir. Bagaimana cara Abie menjalani hidup semacam ini. Apakah dia nyenyak tidurnya? Apakah dia gatal-gatal duduk di sofa yang sudah banyak bolongnya itu? Ia mengutuk dirinya sendiri. Mengapa dirinya selama ini begitu tega memb
Kian hari kondisi Zahra makin membaik. Ia sudah bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Terutama mengurus si kecil yang baru lahir. Bayi ya sudah di mandikan dan memakai baju hangat serta di balut selimut. Zahra penuh kehati-hatian menggendong bayinya.Hisyam yang hendak berangkat kerja menghampiri istri dan anaknya terlebih dahulu. "Sayang, Papa mau kerja dulu. Baik-baik di rumah sama Mama. Ada kakek nenek juga yang akan menjagamu," ucap Hisyam mengusap pipi putranya dengan jarinya.Bayi mungil itu masih tertidur pulas. Tapi tetap saja minum ASI Zahra.Zahra yang tengah menyusui anaknya sembari duduk menatap wajah putranya kagum. Ia bersyukur di beri kepercayaan memiliki bayi yang mungil tampan. Saat ini kebahagiaannya semakin sempurna."Mas, nanti bisa nggak pulang lebih cepat. Aku ingin ke rumah perempuan yang sudah menolongku," kata Zahra."Apa kamu tidak menyuruh orang saja kesana. Kirim hadiahnya saja. Kamu tidak perlu repot ke sana." Zahra menggeleng. Entah mengapa ada do
Setelah berhari-hari di rawat di rumah sakit. Akhirnya Zahra sudah di perbolehkan pulang. Meskipun belum sembuh benar tetapi ia merasa lebih nyaman di rumah sendiri. Pak Seno dan Bu Siti turut serta tinggal beberapa hari di sana sampai menunggu acara aqiqahan.Setibanya di rumah utama kedatangan mereka di sambut oleh Candra dan para pelayan yang berbaris di sepanjang depan pintu utama. Mereka kompak membungkuk dan memberi hormat atas kedatangan Tuannya. Seketika itu juga mereka sigap mengambil alih mendorong kursi roda yang di duduki Zahra. Ada juga yang membantu Bu Siti menggendong bayinya dan ada pula yang membawa barang dari bagasi mobil.Situasi terlihat sibuk sekali karena kedatangan bayi mungil Sang Pewaris yang sudah di tunggu-tunggu.Semua makanan tersaji begitu sempurna di meja makan. Banyak makanan lezat di sana. Dan aneka macam buah segar berkualitas juga di tata apik. Tak ada yang kurang sedikitpun."Sayang, kemarilah makanlah terlebih dahulu sebelum kamu istirahat," ajak
Adzan subuh terdengar dari dalam ruangan VVIP. Hisyam yang sejak semalam berjaga bangun mendengar suara panggilan adzan yang berkumandang. Ia berniat untuk melaksanakan sholat subuh. Tetapi sebelum masuk ke kamar mandi dia melihat Zahra terlebih dahulu.Wajah istrinya terlihat pucat mungkin merasa letih setelah usai operasi caesar. Ada rasa iba menyelimuti hati Hisyam. Perjuangan istrinya sungguh luar biasa. Ia berjanji akan semakin bersikap baik pada istrinya.Usai mandi dan mengambil air wudhu Hisyam terlihat segar. Ia juga sudah berganti pakaian yang bersih. Lalu ia sholat di dekat brangkar istrinya. Zahra yang membuka matanya takjub melihat suaminya menjalankan ibadah sholat subuh. Ia merasa bangga memiliki suami yang selalu ingat penciptanya.Hisyam tidak tahu kalau istrinya tengah memperhatikan dirinya. Ia mengambil hapenya dan membaca Alquran online. Suara lantunan ayat suci Alquran terdengar merdu sampai ke telinga Zahra. Ia merasa beruntung memiliki suami seperti Hisyam. Hati