Ketukan pintu baru saja berhenti ketika dua kepala yang sangat kukenal menyembul dari balik celahnya. Scarlett muncul lebih dulu dengan senyum lebar yang bahkan lebih cerah dari blazer fuchsia yang dia kenakan hari ini. Di belakangnya, Felix melangkah dengan postur percaya diri dan ekspresi yang tak kalah puas.“Boleh kami masuk, Nyonya?” tanya Scarlett sambil mengangkat alisnya dengan gaya dramatis.Aku mengangguk sambil menyandarkan tubuhku kembali ke sandaran kursi. “Kalau kabar yang kalian bawa cukup manis untuk menyaingi kopiku, silakan.”Scarlett menepuk telapak tangannya sekali. “Oh, manisnya sampai membuat gula iri.”Felix langsung menyodorkan tablet yang dibawanya, menampilkannya padaku. “Langleyne baru saja memecahkan rekor penjualan tertinggi selama peluncuran produk dalam enam jam terakhir. Bahkan tiga platform e-commerce besar langsung menghubungi kami untuk eksklusivitas. Dan .…” Dia memberi jeda dramatis, melirik Scarlett.“… dan setidaknya tujuh investor baru sudah mem
Udara malam menyambutku dingin saat aku keluar dari Le Cendre. Langkah-langkahku terdengar mantap di trotoar batu granit, sepatu hakku mengukir ritme perlahan yang menandakan bahwa malam ini sudah cukup. Tak perlu perayaan. Tak perlu kemenangan.Hanya cukup.Mobil hitamku sudah menunggu di sisi jalan. Sopir pribadi segera membukakan pintu tanpa komentar, seolah terbiasa dengan penampilanku yang tak biasa malam ini. Aku duduk di kursi belakang, melepaskan helaan napas yang terasa lebih berat daripada udara yang kuhirup.Sepanjang perjalanan ke apartemen, aku menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota berkelebat seperti bintang-bintang jatuh yang tak sempat diharapkan. Di balik pantulan kaca, aku melihat bayangan diriku sendiri—gaun hitam, rambut acak, mata yang letih tapi tajam.Mungkin aku belum siap jadi orang yang penuh amarah.Tapi aku juga tak sudi menjadi korban lagi.***Pintu apartemenku terbuka dengan suara elektronik lembut. Aroma lilin beraroma vanilla masih menyelimuti ruang
Begitu pintu ruang kerjaku tertutup rapat, aku menjatuhkan tubuh ke kursi dengan desahan panjang. Tumitku kulepas satu per satu, lalu kusembunyikan di bawah meja. Suasana ruanganku yang tenang dan lembut langsung memeluk tubuhku yang tegang.Rapat tadi berjalan profesional. Tapi energiku terkuras, bukan karena beban kerja—melainkan karena aku menahan rasa jengah hampir sepanjang pertemuan. Khalid bukan musuh, bukan juga seseorang yang menyebalkan secara terang-terangan. Tapi gaya bicaranya yang terlalu penuh pujian, terlalu personal, membuatku merasa seolah sedang ditakar bukan sebagai pemimpin bisnis, melainkan sebagai objek keinginan.Dan aku muak akan itu.Untungnya, Lucian tidak ada di ruangan tadi. Bayangkan jika dia duduk di pojok meja sambil menyaksikan Khalid dengan senyum licinnya menyanjungku satu kalimat demi satu kalimat. Bisa jadi rapat bisnis berubah menjadi arena perang dingin penuh ejekan terselubung.Aku mengusap wajah dengan kedua telapak tanganku. Masih ada rasa leg
Pancaran sinar matahari dari balik tirai tipis membias lembut ke dinding putih apartemenku. Aroma kopi yang baru saja selesai menetes dari mesin otomatis memenuhi udara, hangat dan sedikit pahit—persis seperti pagi yang kuinginkan.Aku duduk di meja makan dengan roti gandum panggang dan irisan alpukat. Tidak ada sarapan mewah, tidak juga yang terlalu tergesa. Hanya cukup untuk mengisi energi sebelum kembali menghadapi dunia.Kutatap layar ponsel sebentar. Tidak ada pesan baru dari Lucian pagi ini, tapi itu tidak membuat hatiku hampa. Percakapanku dengannya semalam masih menempel di benakku, seperti selimut tipis yang menenangkan.Satu gigitan roti, lalu satu seruput kopi. Aku membuka laptop sebentar hanya untuk memeriksa laporan penjualan terakhir dari LUNE—masih naik. Bahkan hari ini, permintaan dari beberapa distributor butik meningkat dua kali lipat. Efek domino dari endorsement Cleo Venzara belum berhenti.Setelah mandi dan berdandan cepat, aku melangkah keluar apartemen dan masuk
Ruangan kerjaku pagi ini terasa hangat dan hidup. Bukan karena sinar matahari musim semi yang menembus jendela kaca besar, tapi karena sesuatu dalam diriku—sesuatu yang selama ini tertidur, kini mulai menyala.Scarlett mengetuk pelan pintu ruanganku yang sedikit terbuka. Tatapannya tajam seperti biasa, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya yang tak bisa disembunyikan."Ada kabar terbaru," katanya pelan, lalu meletakkan tablet di meja kerjaku. "Tentang Nona Veronica."Aku menaikkan alis, memberi isyarat agar dia lanjut."Perusahaan yang dia pegang bersama rekan bisnis gelapnya—yang konon katanya merger besar-besaran itu—sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Beberapa investor utama mulai menarik diri. Kami dapat info dari Felix bahwa laporan keuangan internalnya dipenuhi koreksi dan revisi mendadak."Scarlett menyentuh layar tabletnya, menampilkan gambar buram hasil rekaman malam. "Dan ... ini. Dia terekam beberapa kali keluar masuk bar malam di pusat kota dalam minggu ini. Selalu s
Aku melangkah ringan saat masuk ke apartemen. Hening menyambutku seperti pelukan lembut—dan malam ini, aku memang membutuhkannya. Hari yang panjang, penuh rapat dan rencana, akhirnya berakhir dengan kemantapan langkah kecil yang kususun satu per satu.Aku meletakkan tas di sofa dan baru saja melepas sepatu saat ponselku berbunyi pelan. Sebuah notifikasi dari Lucian. Jantungku refleks berdebar, seperti biasa. Sudah berhari-hari sejak dia pergi untuk urusan dinas, dan meski aku sibuk… dia tetap tak pernah sepenuhnya lepas dari pikiranku.[Maaf, karena malam ini aku masih tidak bisa menemanimu. Tapi aku ingin kau tahu … kau semakin bersinar, Seraphina. Kau membuat semuanya tampak mudah, padahal aku tahu betapa kerasnya jalan yang kau tempuh. Aku bangga padamu—lebih dari yang bisa kujelaskan dengan kata-kata. Terima kasih karena tetap memilih berdiri … dan tetap mencintaiku. Aku tak sabar pulang dan melihatmu lagi.]Aku menatap layar itu cukup lama. Lalu perlahan, bibirku tertarik pada se
Aku tidak pernah percaya pada keajaiban iklan sampai Cleo Venzara memegang botol LUNE di tangannya, tersenyum di depan kamera, dan berkata, “Produk ini membuatku jatuh cinta pada kulitku sendiri.” Terdengar seperti skrip, memang. Tapi pengaruhnya? Nyata.Penjualan melonjak bahkan sebelum minggu pertama berakhir. Statistik digital menunjuk angka yang belum pernah kami capai sejak perusahaan berdiri. Scarlett bahkan mengirimi aku grafik kecil dengan emoji bintang dan tulisan, “Tolong tahan senyum Anda di ruang rapat nanti.”Dan aku memang tersenyum. Tapi bukan hanya karena angka. Lebih dari itu—karena LUNE berjalan sesuai rencana. Perusahaan ini tidak hanya hidup. Ia bersinar, menyalak, dan memantul terang ke mata siapa pun yang mencoba mematikan nyalanya.Aku duduk di belakang meja, mengetik cepat di layar ponselku.To: Cleo Venzara[Hai Cleo, aku ingin mengajakmu makan siang minggu ini. Hanya pertemuan santai sebagai ucapan terima kasih—dan tentu saja, aku tidak akan menolak cerita di
Sinar matahari menyelinap malu-malu melalui celah gorden ketika aku melangkah ke dapur. Tidak perlu sesuatu yang rumit pagi ini. Aku mengeluarkan dua butir telur, sepotong roti, dan memanaskan teflon. Aroma mentega yang meleleh memenuhi ruangan, mengusir sisa-sisa kantuk dari pikiranku. Setelah telur matang setengah, kupindahkan ke atas roti panggang, lalu menuangkan sedikit saus tomat dan lada hitam di atasnya. Sederhana, hangat, dan cukup untuk menyuap pikiranku agar tetap rasional sepanjang hari.Kuseduh secangkir kopi hitam, lalu duduk di meja kecil dekat jendela. Kuingat-ingat jadwal hari ini, lalu kuambil ponsel dan mengecek pesan masuk. Tidak ada yang mendesak. Hanya beberapa pemberitahuan dari aplikasi perusahaan dan satu surel dari investor yang ingin menjadwalkan pertemuan minggu depan. Kutandai untuk dibaca nanti.Setelah selesai sarapan dan merapikan diri, aku mengenakan setelan formal berwarna arang dengan potongan ramping. Rambutku kugerai dengan sentuhan blow ringan,
Lampu-lampu restoran berpendar lembut, memantul di permukaan mobilku seperti bintang-bintang kecil yang sedang jatuh perlahan. Aku duduk di bangku belakang, menatap pantulan wajahku di jendela, menenangkan napas sebelum melangkah ke pertemuan penting ini. Jemariku bermain-main dengan ujung clutch, sementara pikiranku melayang ke banyak arah. Rasa gugup yang samar muncul, meskipun aku sudah terbiasa menghadapi berbagai pertemuan bisnis. Tapi malam ini terasa berbeda. Ada semacam harapan dalam udara, seperti semesta ingin memberiku jeda dari segala kekacauan yang pernah kurasakan.Getaran lembut di kursi sebelah menarik perhatianku. Ponsel.Lucian.Nama itu selalu menimbulkan efek aneh di dadaku. Antara rasa ingin menangis dan tersenyum bersamaan. Kubuka pesannya—dan isinya membuat napasku tertahan.[Aku tak bisa tidur malam ini. Aku menatap langit kamar hotel dan bertanya-tanya, apakah kau baik-baik saja. Dan kurasa ... aku merindukanmu dengan cara yang bahkan tidak masuk akal. Kau se