Aku menegang. Aku tahu ini akan terjadi—aku tahu cepat atau lambat, aku akan berhadapan dengan Veronica. Tapi menghadapi tatapannya secara langsung tetap saja membuat dadaku terasa sesak.
Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Lucian menarikku lebih dekat, tangannya melingkari pinggangku dengan cara yang begitu alami, seolah ingin mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian. "Seraphina adalah istriku," katanya, suaranya terdengar begitu dingin dan tak terbantahkan. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun, termasuk kau." Veronica tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada sesuatu yang tulus. "Lucian, kau tahu betapa berharganya nama keluarga kita. Dan sekarang, kau membawa seorang wanita tanpa latar belakang jelas ke dalam keluarga ini? Apa kau serius?" Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, tapi cara dia mengatakannya seolah aku ini sampah yang tidak layak berada di sini benar-benar mengusikku. Namun, sebelum aku bisa membalas, Lucian sudah lebih dulu berbicara. "Hati-hati dengan ucapanmu, Veronica." Veronica mendesah, lalu menggeleng. "Aku hanya memperingatkanmu. Jangan sampai ini menjadi keputusan yang kau sesali." Dia menatapku sekali lagi, sebelum melangkah pergi, meninggalkan udara yang masih terasa tegang di sekeliling kami. Aku menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosi yang mulai berkecamuk dalam diriku. Tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, Lucian menatapku dan berkata dengan tenang, "Jangan biarkan dia mengusikmu." Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku tahu—ini baru permulaan. *** Aku mencoba menenangkan diri, tapi kata-kata Veronica masih menggema di kepalaku. Aku tahu dia tidak menyukaiku, tapi melihat kebenciannya secara langsung adalah hal lain. Lucian menggenggam tanganku, mengarahkan langkahku menuju lift tanpa berkata apa-apa. Aku bisa merasakan kehangatan dari genggamannya, sebuah pengingat bahwa aku tidak sendirian, setidaknya untuk saat ini. Begitu pintu lift tertutup, aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Dia benar-benar membenciku, ya?” Lucian menghela napas pendek. “Veronica selalu membenci siapa pun yang masuk ke dalam hidupku.” Aku menoleh ke arahnya, mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. “Kenapa?” Dia tidak langsung menjawab. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang kulihat dari pria yang selalu tampak terkendali ini. “Dia punya caranya sendiri dalam melihat dunia. Dan dalam caranya itu, aku adalah satu-satunya yang bisa dia percaya.” Aku mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya. “Jadi, dia merasa aku merebutmu darinya?” Lucian mengangkat bahu. “Kurang lebih begitu.” Aku memproses informasi itu dalam diam. Veronica bukan hanya seorang adik yang protektif—dia melihat Lucian sebagai satu-satunya orang yang bisa diandalkannya. Jika itu masalahnya, aku bisa mengerti mengapa dia begitu membenciku. Tapi, meskipun aku bisa memahami, itu tidak berarti aku akan membiarkan dia meremehkanku. “Bagaimana kau bisa begitu tenang?” tanyaku akhirnya. “Dia jelas tidak menyukaiku, dan dia tidak segan-segan menunjukkannya.” Lucian menatapku, matanya yang tajam mengamati ekspresiku. “Karena aku sudah terbiasa.” Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi lift sudah sampai di lantai tujuan kami. Lucian melangkah keluar lebih dulu, dan aku mengikutinya. Begitu kami keluar dari lorong, seorang pria paruh baya dengan setelan rapi menghampiri kami. “Tuan Devereaux, maaf mengganggu, tapi ada sesuatu yang mendesak yang perlu Anda lihat.” Lucian mengangguk. “Aku akan segera ke sana.” Pria itu tampak ragu sebelum melirik ke arahku. “Bagaimana dengan Nona Seraphina?” Lucian menoleh padaku. “Tunggu di kantorku. Aku tidak akan lama.” Aku ingin protes, tapi ekspresinya memberitahuku bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk mendebatnya. Jadi, aku hanya mengangguk dan membiarkannya pergi. Aku berjalan menuju kantor Lucian, tapi pikiranku masih dipenuhi dengan pertemuanku dengan Veronica. Aku tahu satu hal pasti—aku tidak bisa hanya berdiam diri dan membiarkan dia menginjak-injakku. Jika aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, aku harus menunjukkan bahwa aku bukan wanita lemah yang bisa dia remehkan. Aku harus membuktikan bahwa aku pantas berada di sini. *** Aku berjalan masuk ke dalam kantor Lucian, ruangan luas dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota yang megah. Meja kerjanya tertata rapi, dengan beberapa dokumen yang ditumpuk dengan sempurna. Aku duduk di sofa dekat jendela, mencoba menenangkan pikiranku, tapi itu tidak mudah. Sebelum menikah dengan Lucian, hidupku sederhana. Aku tidak terbiasa dengan dunia penuh intrik ini. Aku hanya seorang wanita biasa yang menjalankan toko bunga ibuku. Setiap hariku dihabiskan di antara kelopak mawar, tulip, dan anggrek, merangkai buket untuk pelanggan yang ingin memberikan sesuatu yang indah kepada orang yang mereka cintai. Tapi sekarang? Aku terjebak dalam kehidupan seorang miliarder, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku seolah aku adalah penyusup. Aku mengembuskan napas panjang. Jika aku ingin bertahan, aku harus belajar beradaptasi. Baru saja aku memikirkan itu, pintu kantor tiba-tiba terbuka. Aku menoleh dan melihat Veronica masuk tanpa izin, wajahnya tetap dengan ekspresi meremehkan seperti sebelumnya. “Lucian tidak ada di sini,” kataku dingin. Aku tidak ingin bertengkar, tapi aku juga tidak akan membiarkan dia mendominasi percakapan ini. “Aku tahu.” Veronica melangkah lebih dalam, matanya mengamati ruangan seolah-olah dia menilai sesuatu yang tidak terlihat. “Aku ingin bicara denganmu.” Aku tidak bergerak dari tempatku. “Tentang apa?” Dia tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang menyenangkan. “Kau pikir kau bisa bertahan di sini? Dalam keluarga ini?” Aku menegang, tapi aku tidak membiarkan emosiku terlihat. “Aku tidak tahu apa maksudmu.” Veronica mendekat, berhenti tepat di depanku. “Aku sudah tahu. Ternyata kau hanya seorang gadis biasa dari toko bunga. Tidak peduli seberapa keras kau berusaha, kau tidak akan pernah bisa menyesuaikan diri dengan dunia Lucian. Kau mungkin bisa berpura-pura, tapi pada akhirnya, kau akan gagal.” Aku mengepalkan tangan di pangkuanku. Aku tahu dia mencoba memprovokasiku, mencoba melihat apakah aku akan goyah. Aku tidak akan memberinya kepuasan itu. “Aku tidak perlu menjelaskan diriku kepadamu, Veronica,” kataku dengan tenang. “Pernikahan ini mungkin mendadak, tapi aku ada di sini sekarang. Dan aku tidak akan lari hanya karena kau ingin aku pergi.” Tatapan Veronica berubah sedikit, seolah dia tidak menyangka aku akan menanggapinya dengan setenang itu. Tapi itu hanya sesaat, sebelum dia tersenyum sinis lagi. “Kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan,” katanya sebelum berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan jejak hawa dingin di ruangan itu. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungku yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Aku tahu Veronica bukan ancaman satu-satunya. Tapi jika dia pikir aku akan menyerah begitu saja, dia salah besar. Aku menatap pintu yang baru saja tertutup, membiarkan kata-kata Veronica menggantung di udara. Aku tahu dia mencoba menggoyahkanku, membuatku meragukan posisiku di sisi Lucian. Tapi yang tidak dia sadari adalah aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang meremehkanku. Dulu, saat aku mengelola toko bunga ibuku, banyak yang mengatakan bisnis kecil itu tidak akan bertahan lama. Mereka mengira aku hanya seorang gadis biasa tanpa ambisi besar. Tapi aku tetap menjalankannya, bertahan melewati masa-masa sulit, dan membuktikan bahwa aku bisa. Aku tidak akan membiarkan Veronica atau siapa pun membuatku merasa tidak pantas berada di sini. Jika aku harus berjuang untuk bertahan di dunia Lucian, maka itulah yang akan kulakukan. Aku berdiri dan berjalan ke jendela besar ruangan itu. Kota di bawah terlihat begitu luas, seolah menawarkan banyak kemungkinan. Aku tidak akan mundur. Aku tidak akan kalah.Sejak pertemuanku dengan Veronica kemarin, aku sudah menduga akan ada konsekuensi. Dan benar saja. Hari ini, dalam acara makan siang bersama beberapa kolega Lucian, aku bisa merasakan tatapan-tatapan terselubung yang memerhatikanku, menilai, dan mungkin meremehkan. Kami berada di restoran mewah dengan pemandangan kota dari ketinggian, ruangan penuh dengan orang-orang berpakaian rapi yang berbicara dengan nada sopan, tapi tajam. Aku tidak asing dengan lingkungan seperti ini. Meski dulu hidupku sederhana, pekerjaanku di toko bunga ibuku sering mempertemukanku dengan klien-klien kaya yang punya standar tinggi. Aku terbiasa menghadapi pelanggan yang memandang rendah pekerjaanku, seolah merangkai bunga bukan hal yang cukup bernilai. Tapi kali ini berbeda. Lucian duduk di sampingku, tenang seperti biasa. Sikapnya dingin dan tak tergoyahkan, seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. Tapi aku tahu lebih baik dari itu. Dia sedang mengamatiku, menunggu untuk melihat bagaiman
Saat aku kembali ke kantor Lucian setelah pertemuanku dengan Veronica, pria itu sudah menungguku dengan ekspresi datar. Dia sedang berdiri di depan jendela, melihat pemandangan kota yang bermandikan cahaya senja. "Apa yang dia katakan padamu?" Aku menghela napas dan berjalan ke arah meja, meletakkan tas tanganku dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. "Oh, hal biasa. Ancaman terselubung, pertanyaan meremehkan, sedikit penghinaan halus." Lucian akhirnya berbalik menatapku. Mata kelamnya mengamati wajahku seolah mencoba membaca apakah aku sedang berbohong atau tidak. "Dan bagaimana menurutmu?" Aku menyandarkan tubuh ke meja, melipat tangan di depan dada. "Aku pikir dia menganggapku sebagai pengganggu dalam hidupmu. Dan dia ingin memastikan aku tidak bertahan lama." Sudut bibir Lucian sedikit terangkat, tapi bukan dalam senyuman. "Itu sudah bisa diduga." Aku menatapnya tajam. "Kau tidak akan melakukan apa pun soal itu?" "Apa kau ingin aku melakukannya?" Dia b
Aku selalu berpikir aku cukup pintar membaca orang. Sebelum mengelola toko bunga, aku pernah bekerja sebagai asisten pribadi selama bertahun-tahun. Pekerjaan itu mengajarkanku bagaimana memahami ekspresi, nada suara, dan kata-kata terselubung. Tapi Lucian Devereaux? Dia teka-teki yang tidak mudah dipecahkan. Aku masih mengingat percakapanku dengannya di dalam mobil semalam. Cara dia menatapku, seolah menimbang apakah aku pantas mengetahui rahasianya. Itu bukan ekspresi pria yang hanya menjalani pernikahan kontrak tanpa rasa peduli. Ada sesuatu di balik matanya—sesuatu yang lebih dalam dari pada yang pernah dia tunjukkan. Tapi pagi ini, aku tidak punya waktu untuk menganalisis tatapannya lebih jauh. Aku harus kembali ke kantor pusat Devereaux Industries. Meskipun aku hanya "istri kontrak" Lucian, peranku dalam perusahaan ini menjadi lebih besar dari yang kuduga. Saat aku memasuki gedung, aku merasakan tatapan para karyawan yang penuh rasa ingin tahu. Beberapa dari mereka m
Saat aku kembali ke rumah malam itu, Lucian sudah ada di ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu sebelum masuk, membuatnya menoleh. "Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyanya. Aku menutup pintu di belakangku dan melangkah mendekat. "Katakan padaku yang sebenarnya, Lucian. Apa yang terjadi antara kau dan Veronica?" Dia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan ke arah jendela. "Itu bukan sesuatu yang mudah dijelaskan." "Aku tidak meminta penjelasan yang mudah. Aku meminta kejujuran." Dia diam sejenak sebelum akhirnya berbalik menatapku. "Kami memiliki masa lalu yang sulit. Ayah kami selalu menekan kami dengan ekspektasi tinggi. Aku mengambil alih perusahaan lebih cepat dari yang seharusnya, dan Veronica merasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya dia bagi denganku."
Saat kami berjalan keluar dari restoran, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Lucian … apa yang ada di dalam amplop itu?” Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Sesuatu yang tidak perlu kau lihat.” Aku mengerutkan kening. “Jadi kau memang menyembunyikan sesuatu?” Dia menghentikan langkahnya, lalu menatapku dengan mata gelapnya. “Seraphina, percayalah padaku dalam hal ini.” Aku ingin mempercayainya. Aku benar-benar ingin. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya jika dia terus menutupi sesuatu dariku? "Kalau begitu, jawablah satu pertanyaanku.” “Apa?” Aku menelan ludah, lalu bertanya, “Ap
Aku menyandarkan diri ke sofa, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang hampir muncul. "Ini rumah juga, bukan? Aku tidak harus berdandan seperti mau rapat dewan setiap saat." Lucian tidak menanggapi. Dia berjalan menuju dapur, menuangkan air ke dalam gelas, lalu kembali bersandar di meja bar. Dia tetap memperhatikanku, meskipun dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Apa kau ingin membahas sesuatu?" tanyaku akhirnya, merasa aneh dengan keheningan ini. Lucian meletakkan gelasnya di meja. "Besok kita ada jadwal makan malam bersama investor. Aku ingin kau ikut." Aku menegakkan tubuh. "Aku? Untuk apa?" "Aku ingin mereka melihat bahwa pernikahan kita memang nyata," jawabnya singkat. Aku menghela napas. Ini bukan pertama kalinya dia memintaku hadir dalam acara bisnisnya, tet
Aku tersenyum manis. "Memang. Tapi aku suka tantangan." Veronica tersenyum kecil, seolah menantangku lebih jauh. "Aku penasaran," katanya dengan nada acuh tak acuh. "Apa yang kau lihat dalam diri Lucian? Kau menikah dengannya begitu cepat. Tidak ada yang percaya ini hanya karena cinta." Ruangan terasa lebih hening, tetapi aku tahu semua orang di meja ini tertarik mendengar jawabanku. Aku menoleh ke arah Lucian. Mata kami bertemu, dan dalam sepersekian detik, aku merasa dia ingin tahu jawaban apa yang akan kuberikan. Aku tersenyum tipis sebelum beralih kembali ke Veronica. "Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu, bukan?" Veronica menyipitkan mata, sementara beberapa orang di meja itu tampak terkejut dengan jawabanku. Lucian, di sisi lain, tampak tenang. Bahkan,
Mataku terbuka dalam keheningan. Apartemen ini selalu sunyi saat malam, seakan tak ada kehidupan di dalamnya. Aku melirik jam di nakas. 2:17 pagi. Tenggorokanku terasa kering, dan tanpa banyak berpikir, aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur. Aku masih setengah sadar ketika melangkah keluar kamar, hanya menyadari dinginnya lantai marmer yang menyentuh telapak kakiku. Aku tidak menyalakan lampu, membiarkan cahaya remang dari jendela besar menjadi satu-satunya penerangan di ruangan ini. Begitu aku tiba di dapur, tanganku meraih pegangan lemari kaca, mencari gelas. Tapi sebelum aku bisa menemukannya, aku merasakan sesuatu. Sebuah tatapan. Aku membeku seketika. Jantungku berdetak lebih cepat saat aku berbal
Aku duduk di sofa sudut ruangan, mendengarkan nasihat dari Clara, salah satu konsultan bisnis yang Lucian panggil untukku. Clara orangnya tegas tapi ramah, tipe yang bisa membuat seseorang merasa bodoh dan termotivasi dalam satu kalimat. Sekarang dia sedang menjelaskan strategi untuk memperkuat posisi perusahaan baruku—yang Lucian serahkan padaku beberapa bulan lalu—di tengah persaingan yang semakin ketat. “Seraphina, kau harus lebih agresif dalam negosiasi,” kata Clara, menunjuk papan presentasi di depannya. “Jangan hanya mengandalkan nama besar Lucian atau koneksi Fedorov. Bangun reputasimu sendiri. Jika ada lawan yang bermain kotor, kau harus siap membalas dengan cerdas, bukan hanya emosi yang sia-sia." Aku mengangguk, mencatat poin-poin penting di buku catatanku. Sejak Lucian menyerahkan perusahaan baru ini padaku, aku belajar banyak—dari cara membaca laporan keuangan sampai menghadapi klien yang sok tahu. Namun, aku suka tantangannya. Rasanya seperti membuktikan bahwa aku
Apartemen terasa sepi tanpa Lucian malam ini. Dia berpesan ada urusan di kantor yang harus diselesaikan, karena itu aku pulang lebih dulu setelah kami meninggalkan mansion Fedorov pagi tadi. Cahaya lampu di ruang tamu menyala lembut, tapi aku merasa agak gelisah. Mungkin karena obrolan kemarin malam masih terngiang, atau mungkin karena aku masih mencerna semua yang terjadi di mansion. Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang produktif—merapikan lemari lama Lucian di kamar yang sekarang jarang dia pakai. Lemari itu penuh dengan barang-barang yang sepertinya sudah lama tidak disentuh. Kotak-kotak berdebu, buku catatan kuliah, dan beberapa baju yang jelas sudah tidak muat lagi. Aku tersenyum kecil sambil mengeluarkan tumpukan kaos lusuh, bertanya-tanya kenapa Lucian masih menyimpan semua ini. Tapi saat aku menggeser sebuah kotak sepatu tua di rak bawah, sesuatu jatuh ke lantai dengan bunyi ringan. Aku membungkuk, mengambil benda itu, dan langsung terpaku. Sebuah gel
Malam menyelimuti mansion Fedorov dengan suasana yang hangat, meski udara di luar terasa dingin. Cahaya lampu-lampu taman memantul di permukaan air mancur, menciptakan kilau yang bikin aku ingin terus menatapnya. Setelah obrolan panjang di ruang duduk tadi, Fedorov bersikeras kami menginap. “Kalian sudah jauh-jauh ke sini,” katanya dengan nada yang tidak menerima penolakan. “Lagipula, ada kamar yang sudah disiapkan untuk kalian.” Aku dan Lucian cuma saling pandang, lalu mengangguk. Sulit menolak pria seperti Fedorov—bukan karena dia menakutkan, tapi ada aura yang membuatku merasa dia selalu mempunyai rencana lebih besar dari yang terlihat.Setelah makan malam yang mewah tapi entah kenapa terasa nyaman, kami dipanggil lagi ke ruang kerja Fedorov. Ruangan itu beda dari bagian lain mansion—dindingnya dipenuhi rak buku kayu tua, meja besar di tengah dengan lampu hijau klasik, dan bau samar kertas tua yang bikin aku merasa seperti masuk ke film detektif jadul. Fedorov duduk di balik me
Pagi ketiga di Lapland terasa seperti mimpi yang belum ingin kuberhenti jalani. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela sehingga membawa kilau salju yang membuat segalanya terasa magis. Namun, ketika Lucian masuk ke kamar dengan wajah sedikit tegang—sesuatu yang jarang kulihat—aku tahu ada sesuatu yang berbeda hari ini. “Seraphina, kita harus pulang lebih awal,” katanya sambil duduk di tepi ranjang, sambil tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kakekku ingin bertemu kita. Secepatnya." Aku mengerjap, mencoba mencerna kata-katanya. “Kakekmu? Serius?” Aku pernah mendengar cerita-cerita Lucian, tapi pria itu selalu terdengar seperti legenda—pengusaha kaya raya yang keras kepala, hidup menyendiri di mansion mewahnya. “Kenapa tiba-tiba?” tanyaku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Lucian menghela napas, jari-jarinya mengusap punggung tanganku. “Dia bilang sudah waktunya kita membicarakan tentang banyak hal. Mulai dari bisnis, pernikahan kita, dan yang paling utam
Cahaya pagi menyelinap lembut melalui jendela kaca raksasa yang memantulkan kilau salju di luar hingga ruangan terasa seperti bercahaya. Aku membuka mata perlahan, masih terbungkus selimut tebal yang hangat, dan menyadari Lucian sudah tidak ada di sampingku. Tempat tidur masih terasa hangat di sisinya, jadi dia pasti baru bangun. Aroma kopi segar menyelinap ke hidungku, dan aku mendengar suara pelan dari arah dapur kecil. Aku menyeret diri keluar dari selimut, mengenakan sweater tebal dan kaus kaki wol sebelum berjalan ke arah suara itu. Lucian berdiri di sana, berpakaian santai—kaus hitam lengan panjang dan celana jeans yang entah kenapa membuatnya terlihat lebih manusiawi daripada biasanya. Dia sedang menuang kopi ke dua cangkir, rambutnya sedikit acak-acakan, dan aku harus menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. “Pagi,” sapanya tanpa menoleh, tapi aku tahu dia sudah merasakan kehadiranku. Suaranya masih serak khas bangun tidur. “Pagi,” balasku, berusaha terdengar biasa
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantung yang entah kenapa tak mau reda sejak kami naik ke pesawat pribadi ini. Kabinnya luas, dilapisi kulit krem dan aksen kayu gelap, dengan kursi besar yang lebih mirip sofa daripada tempat duduk pesawat pada umumnya. Lucian duduk di sampingku, satu tangan memegang tablet, matanya fokus membaca sesuatu—mungkin laporan bisnis, entah apa lagi. Tapi tangan lainnya? Oh, tangan itu dengan santai bertumpu di pahaku, jari-jarinya sesekali mengusap lembut tanpa sadar. Aku berusaha mengabaikannya, tapi rasanya seperti ada arus listrik kecil yang mengalir setiap kali dia bergerak. “Seraphina,” panggilnya tanpa menoleh, suaranya rendah dan sedikit serak. “Kau kenapa gelisah dari tadi?” Aku mendengus pelan, memalingkan muka ke jendela. Di luar, awan putih bergumpal terlihat seperti kapas raksasa di bawah sinar matahari. “Aku tidak gelisah,” bantahku, meskipun tahu dia pasti bisa merasakan keteganganku dari caraku memainkan
Aku mengerjapkan mata, menyesuaikan diri dengan cahaya remang yang masuk melalui celah gorden apartemen. Aroma linen segar bercampur dengan sisa parfum Lucian yang maskulin memenuhi indra penciumanku. Semalam benar-benar intens. Aku melirik ke samping, mendapati sisi tempat tidur Lucian sudah kosong. Pantas saja, memangnya dia pernah bangun terlambat? Aku menghela napas, mengingat kembali kejadian semalam. Acara bisnis memang melelahkan, tapi percayalah, bukan rapat dan negosiasi yang menguras habis energiku. Sentuhan di pinggangku membuatku tersentak kecil. Lucian, dengan rambut sedikit berantakan dan hanya mengenakan celana bahan, berdiri di samping tempat tidur sambil menyodorkan secangkir kopi. "Pagi, Istriku," sapanya singkat, tanpa senyum seperti biasanya. "Pagi juga," jawabku sambil menerima kopi itu. "Kau selalu bangun lebih awal dariku." Dia hanya mengangkat bahu, lalu duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan intens. "Bagaimana tidurmu?" "Nyenyak," jawabku, menyesap
Apartemen kami di malam ini bermandikan cahaya temaram. Aroma anggur memenuhi udara, bercampur dengan alunan jazz yang lembut. Aku berdiri di dapur, meneliti deretan botol anggur koleksi Lucian. Kristal gelas berkilauan di bawah lampu, menunggu untuk diisi. Ini kejutan kecilku untuknya, sebuah pelarian dari rutinitas dan tekanan pekerjaan. Aku sudah lama merencanakan ini. Lucian selalu bekerja keras, nyaris tanpa jeda. Meskipun aku tahu dia menikmati pekerjaannya, aku juga tahu dia butuh istirahat. Dan aku ingin menjadi alasan dia beristirahat. Dengan hati-hati, aku membuka salah satu botol anggur merah yang terlihat paling mahal. Aroma buah beri dan rempah langsung menusuk indra penciumanku. Aku menuangkannya sedikit ke dalam gelas kristal, memutar-mutarnya, lalu mencicipinya. Rasanya kaya dan kompleks, dengan sentuhan akhir yang lembut. Sempurna. Senyum kecil bermain di bibirku. Aku membayangkan ekspresi Lucian saat dia mencicipi anggur ini. Dia pasti akan terkejut dengan pengeta
Aku mengerjapkan mata, disambut langit-langit apartemen yang memantulkan cahaya lembut dari luar. Sisa kantuk masih membayang, namun tubuhku terasa lebih segar dibandingkan semalam. Di tepi pantai yang dingin itu, aku merasa lebih dekat dengan Lucian daripada sebelumnya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi aku ingin menjalani setiap detik bersamanya. Melirik ke samping, tempat Lucian biasa berbaring sudah kosong. Aroma kopi yang kaya dan masakan hangat menyeruak dari arah dapur, menggoda perutku yang mulai berbunyi. Aku bangkit, merapikan rambut yang sedikit acak-acakan, lalu melangkah keluar kamar. Pemandangan di ruang makan membuatku tersenyum lebar. Meja dipenuhi hidangan menggugah selera: nasi goreng dengan aroma rempah, telur mata sapi yang kuningnya mengilap, sosis panggang, dan pancake bertabur buah beri segar. Lucian berdiri di dekat kompor, memegang spatula dengan konsentrasi penuh. "Kau masak semua ini?" tanyaku, sedikit tak percaya. Meskipun sudah berkali-kali