Home / Romansa / Terpikat Hasrat CEO Dingin / Peringatan Adik Ipar

Share

Peringatan Adik Ipar

Author: Purplexyiii
last update Last Updated: 2025-02-15 22:28:29

Aku menegang. Aku tahu ini akan terjadi—aku tahu cepat atau lambat, aku akan berhadapan dengan Veronica. Tapi menghadapi tatapannya secara langsung tetap saja membuat dadaku terasa sesak.

Sebelum aku bisa mengatakan apa pun, Lucian menarikku lebih dekat, tangannya melingkari pinggangku dengan cara yang begitu alami, seolah ingin mengingatkanku bahwa aku tidak sendirian.

"Seraphina adalah istriku," katanya, suaranya terdengar begitu dingin dan tak terbantahkan. "Aku tidak butuh persetujuan siapa pun, termasuk kau."

Veronica tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan daripada sesuatu yang tulus. "Lucian, kau tahu betapa berharganya nama keluarga kita. Dan sekarang, kau membawa seorang wanita tanpa latar belakang jelas ke dalam keluarga ini? Apa kau serius?"

Aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, tapi cara dia mengatakannya seolah aku ini sampah yang tidak layak berada di sini benar-benar mengusikku.

Namun, sebelum aku bisa membalas, Lucian sudah lebih dulu berbicara. "Hati-hati dengan ucapanmu, Veronica."

Veronica mendesah, lalu menggeleng. "Aku hanya memperingatkanmu. Jangan sampai ini menjadi keputusan yang kau sesali."

Dia menatapku sekali lagi, sebelum melangkah pergi, meninggalkan udara yang masih terasa tegang di sekeliling kami.

Aku menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosi yang mulai berkecamuk dalam diriku. Tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, Lucian menatapku dan berkata dengan tenang, "Jangan biarkan dia mengusikmu."

Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku tahu—ini baru permulaan.

***

Aku mencoba menenangkan diri, tapi kata-kata Veronica masih menggema di kepalaku. Aku tahu dia tidak menyukaiku, tapi melihat kebenciannya secara langsung adalah hal lain.

Lucian menggenggam tanganku, mengarahkan langkahku menuju lift tanpa berkata apa-apa. Aku bisa merasakan kehangatan dari genggamannya, sebuah pengingat bahwa aku tidak sendirian, setidaknya untuk saat ini.

Begitu pintu lift tertutup, aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Dia benar-benar membenciku, ya?”

Lucian menghela napas pendek. “Veronica selalu membenci siapa pun yang masuk ke dalam hidupku.”

Aku menoleh ke arahnya, mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. “Kenapa?”

Dia tidak langsung menjawab. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang jarang kulihat dari pria yang selalu tampak terkendali ini. “Dia punya caranya sendiri dalam melihat dunia. Dan dalam caranya itu, aku adalah satu-satunya yang bisa dia percaya.”

Aku mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya. “Jadi, dia merasa aku merebutmu darinya?”

Lucian mengangkat bahu. “Kurang lebih begitu.”

Aku memproses informasi itu dalam diam. Veronica bukan hanya seorang adik yang protektif—dia melihat Lucian sebagai satu-satunya orang yang bisa diandalkannya. Jika itu masalahnya, aku bisa mengerti mengapa dia begitu membenciku.

Tapi, meskipun aku bisa memahami, itu tidak berarti aku akan membiarkan dia meremehkanku.

“Bagaimana kau bisa begitu tenang?” tanyaku akhirnya. “Dia jelas tidak menyukaiku, dan dia tidak segan-segan menunjukkannya.”

Lucian menatapku, matanya yang tajam mengamati ekspresiku. “Karena aku sudah terbiasa.”

Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi lift sudah sampai di lantai tujuan kami. Lucian melangkah keluar lebih dulu, dan aku mengikutinya.

Begitu kami keluar dari lorong, seorang pria paruh baya dengan setelan rapi menghampiri kami. “Tuan Devereaux, maaf mengganggu, tapi ada sesuatu yang mendesak yang perlu Anda lihat.”

Lucian mengangguk. “Aku akan segera ke sana.”

Pria itu tampak ragu sebelum melirik ke arahku. “Bagaimana dengan Nona Seraphina?”

Lucian menoleh padaku. “Tunggu di kantorku. Aku tidak akan lama.”

Aku ingin protes, tapi ekspresinya memberitahuku bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk mendebatnya. Jadi, aku hanya mengangguk dan membiarkannya pergi.

Aku berjalan menuju kantor Lucian, tapi pikiranku masih dipenuhi dengan pertemuanku dengan Veronica.

Aku tahu satu hal pasti—aku tidak bisa hanya berdiam diri dan membiarkan dia menginjak-injakku. Jika aku ingin bertahan dalam pernikahan ini, aku harus menunjukkan bahwa aku bukan wanita lemah yang bisa dia remehkan.

Aku harus membuktikan bahwa aku pantas berada di sini.

***

Aku berjalan masuk ke dalam kantor Lucian, ruangan luas dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota yang megah. Meja kerjanya tertata rapi, dengan beberapa dokumen yang ditumpuk dengan sempurna. Aku duduk di sofa dekat jendela, mencoba menenangkan pikiranku, tapi itu tidak mudah.

Sebelum menikah dengan Lucian, hidupku sederhana. Aku tidak terbiasa dengan dunia penuh intrik ini. Aku hanya seorang wanita biasa yang menjalankan toko bunga ibuku. Setiap hariku dihabiskan di antara kelopak mawar, tulip, dan anggrek, merangkai buket untuk pelanggan yang ingin memberikan sesuatu yang indah kepada orang yang mereka cintai.

Tapi sekarang? Aku terjebak dalam kehidupan seorang miliarder, dikelilingi oleh orang-orang yang menatapku seolah aku adalah penyusup.

Aku mengembuskan napas panjang. Jika aku ingin bertahan, aku harus belajar beradaptasi.

Baru saja aku memikirkan itu, pintu kantor tiba-tiba terbuka.

Aku menoleh dan melihat Veronica masuk tanpa izin, wajahnya tetap dengan ekspresi meremehkan seperti sebelumnya.

“Lucian tidak ada di sini,” kataku dingin. Aku tidak ingin bertengkar, tapi aku juga tidak akan membiarkan dia mendominasi percakapan ini.

“Aku tahu.” Veronica melangkah lebih dalam, matanya mengamati ruangan seolah-olah dia menilai sesuatu yang tidak terlihat. “Aku ingin bicara denganmu.”

Aku tidak bergerak dari tempatku. “Tentang apa?”

Dia tersenyum kecil, tapi bukan senyum yang menyenangkan. “Kau pikir kau bisa bertahan di sini? Dalam keluarga ini?”

Aku menegang, tapi aku tidak membiarkan emosiku terlihat. “Aku tidak tahu apa maksudmu.”

Veronica mendekat, berhenti tepat di depanku. “Aku sudah tahu. Ternyata kau hanya seorang gadis biasa dari toko bunga. Tidak peduli seberapa keras kau berusaha, kau tidak akan pernah bisa menyesuaikan diri dengan dunia Lucian. Kau mungkin bisa berpura-pura, tapi pada akhirnya, kau akan gagal.”

Aku mengepalkan tangan di pangkuanku. Aku tahu dia mencoba memprovokasiku, mencoba melihat apakah aku akan goyah.

Aku tidak akan memberinya kepuasan itu.

“Aku tidak perlu menjelaskan diriku kepadamu, Veronica,” kataku dengan tenang. “Pernikahan ini mungkin mendadak, tapi aku ada di sini sekarang. Dan aku tidak akan lari hanya karena kau ingin aku pergi.”

Tatapan Veronica berubah sedikit, seolah dia tidak menyangka aku akan menanggapinya dengan setenang itu. Tapi itu hanya sesaat, sebelum dia tersenyum sinis lagi.

“Kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan,” katanya sebelum berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan jejak hawa dingin di ruangan itu.

Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungku yang sedikit lebih cepat dari biasanya.

Aku tahu Veronica bukan ancaman satu-satunya.

Tapi jika dia pikir aku akan menyerah begitu saja, dia salah besar.

Aku menatap pintu yang baru saja tertutup, membiarkan kata-kata Veronica menggantung di udara. Aku tahu dia mencoba menggoyahkanku, membuatku meragukan posisiku di sisi Lucian. Tapi yang tidak dia sadari adalah aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang meremehkanku.

Dulu, saat aku mengelola toko bunga ibuku, banyak yang mengatakan bisnis kecil itu tidak akan bertahan lama. Mereka mengira aku hanya seorang gadis biasa tanpa ambisi besar. Tapi aku tetap menjalankannya, bertahan melewati masa-masa sulit, dan membuktikan bahwa aku bisa.

Aku tidak akan membiarkan Veronica atau siapa pun membuatku merasa tidak pantas berada di sini. Jika aku harus berjuang untuk bertahan di dunia Lucian, maka itulah yang akan kulakukan.

Aku berdiri dan berjalan ke jendela besar ruangan itu. Kota di bawah terlihat begitu luas, seolah menawarkan banyak kemungkinan.

Aku tidak akan mundur. Aku tidak akan kalah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Cara Melihat Dunia

    Aku memperhatikan Lucian menyetir dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam jemariku erat. Malam sudah larut, tetapi jalanan masih terang oleh lampu kota yang menghiasi trotoar dan membentuk pantulan indah di kaca jendela mobil. "Apa ada yang menganggu?" tanya Lucian, lirih tapi jelas. Aku menunduk sebentar, mengumpulkan keberanian. "Aku ingin bertanya sesuatu sejak lama, tapi ... selalu tertunda." Dia melirikku sebentar, lalu kembali fokus pada jalan. "Kau bisa tanya apapun." Aku menarik napas panjang. "Apa kau ... pernah tinggal di panti asuhan kecil di wilayah timur kota? Sekitar umur lima atau enam tahun?" Lucian mendadak memperlambat laju mobil. Matanya terpejam sesaat, lalu dia berhenti di bahu jalan. Tak menjawab. Hanya diam. Tangannya masih menggenggamku erat. Aku melanjutkan dengan suara pelan, "Aku ... menemukan gelang kecil di laci kerjamu. Terukir inisial L.S. dan S.L.—aku tahu itu bukan kebetulan. Aku mengenali bentuknya. Aku yang membuat gelang itu. U

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Akibat Mabuk Berat

    Gelas tipis berbentuk tulip mendarat di hadapanku. Aroma sake menguar, hangat dan lembut seperti asap dupa. Aku menatap pria itu sejenak—lalu pada pria berkemeja biru dongker yang baru saja menyodorkannya padaku sambil tersenyum penuh harap. “Untuk keberhasilan kerja sama kita,” kata pria itu, nada bicaranya berkelas, tapi sikapnya terlalu santai untuk seseorang dengan gelar eksekutif senior. Aku mengangguk kecil, sambil mengambil gelas itu. “Tentu. Untuk kemitraan yang sehat dan berkelanjutan.” Senyum pria itu bertambah lebar. “Itu terdengar seperti kalimat dari proposalmu yang terakhir. Sangat diplomatis.” Aku terkekeh kecil sebelum menyesap sedikit dari cairan bening itu. Hangatnya langsung merambat ke perut. Dua puluh menit dan tiga gelas kemudian, aku mulai menyadari sesuatu yang pelan-pelan menguap dari tubuhku: kendali. Meja panjang kayu khas restoran Jepang itu masih ramai dengan obrolan formal. Investor dari Osaka, dua dari Singapura, dan satu dari Prancis—semuanya tampa

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Tumbuh dengan Sederhana

    Beranda rooftop apartemen Lucian memang selalu terlihat istimewa ketika malam menurunkan suhunya dengan pelan. Kolam renang pribadi itu menyambut dengan permukaannya yang berkilau seperti kaca hitam, memantulkan bintang-bintang yang menggigil di langit. Angin dingin sempat membuatku ragu untuk turun, tapi tangan Lucian sudah menggenggam erat jemariku. "Aku tidak akan membiarkanmu beku sendirian di dalam sana," ucapnya dengan senyum tipis. "Apa maksudnya … kau akan ikut membeku bersamaku?" Aku menoleh sambil menyipitkan mata, pura-pura mencurigainya. "Bukan. Aku akan memastikan kau tetap hangat meski berada di dalam air," jawabnya sambil perlahan melepas jaket yang sejak tadi membungkus bahunya. Tubuh tegap pria itu terlihat jelas di balik kaus tipis, dan dia bahkan belum menyadari bahwa aku diam-diam memperhatikannya. Aku menarik napas panjang lalu perlahan menyusuri tepi kolam, jari-jari kakiku menyentuh air terlebih dahulu. Sedingin yang kubayangkan. Tapi Lucian sudah melompat

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Di Tempat Gym

    Keringat menetes dari pelipisku, jatuh membasahi kaus longgar yang sengaja kupakai agar terlihat lebih santai. Lucian sudah lebih dulu memulai sesi pemanasan di treadmill, sedangkan aku masih berdiri seperti orang bingung di dekat rak dumbel, memandangi berbagai alat kebugaran yang sebagian besar tak kumengerti fungsinya. "Jangan cuma dilihat. Kau ke sini untuk olahraga, bukan piknik." Suara bariton Lucian menyapaku dari balik punggung. Aku berbalik, mendapati wajahnya yang terlukis penuh selera jahil. Ia menghentikan treadmill-nya dan berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. "Aku baru saja memilih dumbel yang pas," sanggahku, meskipun jelas-jelas belum memegang satu pun alat. Lucian mendengkus tipis. "Dumbel itu untuk latihan lengan, tapi kau justru berdiri di dekat leg press. Coba sini." Dengan penuh percaya diri, dia menggandeng lenganku menuju sebuah mesin besar berwarna hitam dengan bantalan empuk. "Ini namanya chest press. Cocok untukmu yang ingin memperkuat dada dan

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Untuk Terbakar Bersama

    Langit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot

  • Terpikat Hasrat CEO Dingin    Tanpa Berusaha Keras

    Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status