“Sorry!” Dia melotot dan langsung membanting pintunya.
Aku kembali merapatkan piama. Semoga saja dia tidak melihatnya. Aku berjalan ke arah pintu dan bersandar dibaliknya memastikan dia sudah pergi. Kudengar langkah kakinya sudah menjauh. Aku bernapas lega. Astaga, jantungku kenapa ini? Ia seperti mau lompat dari tempatnya.“Buruan woy! Aku mau ambil baju,” teriak Ilham dari luar.Benar, kamar ini adalah milik Ilham. Faiha meletakkan bajunya di kamar kakaknya. Lagipula aku memang tidur di kamar ini. Ilham yang salah, dia ‘kan tidur di kamar Faiha? Seharusnya dia mengetuk pintu dahulu sebelum masuk karena ada gadis di kamarnya.Aku segera keluar setelah berganti pakaian. Duduk di kursi ruang tamu sembari menunggu Ilham mandi. Ternyata lelaki itu mandinya lama sekali. Menunggunya membuatku menguap hingga beberapa kali. Aku bisa ketiduran jika dia tidak segera keluar, apalagi semalam kurang tidur.“Lama nunggunya?” tanya IlhamKecanggunganku dengan Ilham berlangsung lama hingga akhirnya dia membuka obrolan. Dia menanyakan kenapa aku mengaku sebagai adiknya. Karena rasa penasaranku, kutanyakan juga mengenai Mas Aril. Bukankah lebih baik bertanya daripada menduga-duga?“Kamu kenal Mas Aril?”Ilham mengerem motor secara mendadak hingga membuat helmku terbentur helmnya dengan keras. “Tuh, kan? Kepalaku sudah dua kali terbentur. Lama-lama bisa gagar otak.” Sepertinya dia terkejut mendengar pertanyaanku. aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu. “Dari mana kamu tahu tentang Mas Aril?”“Aku ngefans sama dia. Aku melihat trofinya di kamarmu. Helm dan jaketmu juga ada logo di tempat dia siaran. Aku jadi penasaran, kamu temennya, ya?”Dia tidak menjawab dan kembali melajukan motornya. Padahal aku sungguh penasaran. Aku tidak ingin mati penasaran hanya karena menunggu jawaban darinya. “Atau jangan-jangan kamu itu Mas Aril?” Aku masih mengomel sepanjang perjalanan hingga sampailah di rumah Bibi Lia, tetapi tidak
“Ada apa, Bi?”Bibi menutup mulut dengan tangan kiri dan memberikan telepon kepadaku. Aku segera berbicara dengan orang yang ada di ujung telepon. “Halo!”“Maaf, Sari sedang di rumah sakit, dia pendarahan.” Suara laki-laki ini sama dengan yang mengangkat teleponku.Astaghfirullah ... Kak Sari, mengapa sampai sejauh ini? Aku tidak menyangka mereka bisa melakukannya. “Di rumah sakit mana?”“RSU,” jawabnya singkat. Aku segera mengakhiri telepon dan menenangkan Bibi. Bibi menangis dan memelukku erat. “Maafkan Bibi, Gita! Bibi tidak bisa menjaga kalian.”Dulu ketika Ayah dan Ibuku pergi, mereka menitipkan kami kepada bibi supaya mau menjaga kami. Namun Kak Sari menolak. “Tenang aja, Buk! Sari sudah gede, sudah bisa menjaga Gita.”Padahal saat itu aku baru kelas satu SMP. Aku dipaksa menjadi anak yang lebih dewasa daripada seusiaku. Kak Sari awalnya Menjadi kakak yang penuh tanggung jawab, hingga akhirnya setelah semester dua dia berubah menjadi pendiam. Kak Sari jarang di rumah dan s
Bibi menatapku seolah meminta persetujuan dan aku mengangguk. Biar bagaimana pun aku melihat ada ketulusan di mata lelaki itu. Sepertinya dia benar-benar ingin bertanggung jawab. Namun, apakah orang tuanya akan menyetujui? Sebentar lagi Kak Sari akan lulus dan menjadi sarjana, sepertinya tidak masalah. Melihat orang tua Erick adalah seorang pengusaha ternama, apakah Kak Sari akan diterima di keluarganya? Kak Sari sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Semua biaya administrasi ditanggung oleh pacarnya, Aldo. Setelah menunggu selama setengah jam akhirnya Kak Sari sadar. Dia bingung melihat keadaan di sekelilingnya. “Aku di mana?” tanya Kak Sari. “Kamu di rumah sakit, Sayang.” Lelaki itu bersikap sangat lembut terhadap kakakku. Pantas saja Kak Sari terlena. “Apa yang terjadi?” Kak Sari memegang kepalanya. “Anak kita tidak bisa diselamatkan, maafkan aku.” Ucapan laki-laki itu membuat Kak Sari histeris. “Kamu jahat, Do! Kamu jahat! Aku benci sama kamu!” Kak Sari menangis histeris, d
Aku meminta izin kepada Kak Sari untuk mengangkat telepon. Namun, aku terkejut saat melihat Erick sudah duduk di kursi tunggu bersama kakaknya. Dia masih memakai pakaian osis dan sedikit berantakan. Sepertinya dia bolos sekolah. “Gita! Aku kangen sama kamu.” Tiba-tiba Erick berdiri dan memelukku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini. “Lepas, Rick! Aku akan membunuhmu jika kamu berani menyentuhku lagi.” Dengan sekuat tenaga aku melepaskan pelukannya. Aku merasa jijik melihatnya. Mendadak jantungku berdebar hebat, napasku terasa sesak. “Gita!” Bibi Lia berlari melihatku memegang dada. Tubuhku rasanya lemas, bersyukur bibi segera datang dan menolongku. Aldo dan Erick hendak menolong, tetapi kutolak. Aku tidak mau disentuh oleh mereka. Bibi memapahku sampai di kursi. Beliau membawakan sebotol air putih untukku. “Minum dulu, Gita.” Bibi membuka tutup botol kemudian menyodorkannya kepadaku. Aku mena
“Lama banget, Ta. Kamu berdoa apa saja? Jangan lupa doain aku biar lulus ujian, kuliah, kerja, sukses dan bisa melamarmu.” “Melamarku?” Aku berlalu meninggalkannya. Mimpi jika dia mau melamarku, aku tidak akan mau dilamar olehnya sekalipun menjadi perawan tua. Dia masih mengekoriku hingga di depan rumah sakit. “Tunggu, Gita! Kenapa kamu jadi begini, sih?” Erick mencengkeram tanganku. “Lepas, Rick. Sakit! Aku bisa teriak dan minta tolong Pak Satpam.” Akhirnya Erick melepas tanganku. Aku berlari ke arah parkiran. Di sana sudah ada Isma yang melambaikan tangan. Aku segera berlari menghampirinya. Aku pulang bersama Isma ke rumah Bibi Lia. Sore nanti Ilham akan datang. Aku tidak perlu pulang ke rumahnya lagi karena sudah berbaikan dengan Kak Sari. Aku tidak mau merepotkan keluarganya lagi. Sebelum benar-benar pergi, aku melihat ke belakang. Erick melambaikan tangannya kepadaku dan kiss bye. Aku menggelengkan kep
“Antarkan aku pulang. Kak Sari sudah boleh rawat jalan. Aku harus membersihkan kamarnya.”Tadi siang aku sudah menceritakan semuanya pada Isma tentang apa yang terjadi pada Kak Sari. Dia prihatin dan memaklumi jika aku tidak mau lagi kembali dengan Erick. “Aku salat Magrib dulu, ya!” Tunggu sebentar.”Sembari menunggu Isma, aku mengganti baju. Di sini masih ada beberapa pakaianku karena rumah ini bagaikan tempat tinggal kedua untukku. Bahkan seragam sekolah juga ada di sini. Kami tiba di rumah tepat setelah waktu salat Isya. Rumahku masih gelap karena lampu belum dinyalakan. Aku masih membawa kunci rumah di dalam tas, sehingga tidak perlu meminta kepada Kak Sari. Kami membagi kunci rumah supaya bisa masuk tanpa harus saling menunggu.“Masuk, yuk!”Aku mengajak Isma masuk. Kami langsung menuju ke kamar Kak Sari. Kamarnya sangat berantakan. Sepertinya habis terjadi sebuah pertempuran di sini. Aku mengganti sepra
“Ampun, Bibi!” Untuk kedua kalinya bibi menjewer Aldo kembali.“Sudah dilarang tidur bareng malah ciuman, di depan anak-anak pula. Pantas saja Gita minggat! Jaga sikapmu kalau tidak ingin kehilangan adikmu, Sari.” Bibi Lia menatap tajam Kak Sari. Bibi dan Isma harus pulang. Mereka pulang setelah memastikan Aldo pergi. Bibi tidak mau kecolongan lagi. “Bibi pulang, ya! Aldo sudah pergi. Setelah ini jangan buka pintu, Gita! Sudah jam 9 malam.”“Hati-hati, Gita. Aku tahu kenapa kamu pergi dari rumah. Jaga Kak Sari baik-baik.” Isma melambaikan tangan kemudian pulang bersama bibi.Aku menutup dan mengunci pintu rumah. Aku akan tidur di kamar Kak Sari supaya bisa membantunya. Segera kumatikan lampu dan menyusul kakakku.“Bibi sudah pulang, Gita?” tanya Kak Sari saat aku masuk ke kamarnya. “Sudah, Kak.”Aku langsung naik ke ranjang dan duduk bersandar di samping Kak Sari. “Maafin Kakak, Gita! Ka
“Ngapain teriak-teriak? Dasar cewek aneh!” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ilham pergi. Fakta membuktikan bahwa 70% bukti menunjukkan jika dia adalah Mas Aril. Aku tidak sabar pergi ke sekolah dan bertemu dengan Faiha. Aku segera memesan lauk dan sayur untuk sarapan. Kali ini aku membeli cukup banyak makanan karena ada Aldo yang akan menjaga Kak Sari saat aku sekolah nanti. Aku pulang membawa sebungkus makanan di dalam kresek berwarna merah. Dengan hati berbunga-bunga aku berjalan sambil bernyanyi. Sampai di rumah aku dikejutkan dengan kehadiran Aldo dan Erick. Mereka sudah duduk berdua di teras sambil minum kopi. “Kalian sudah datang? Cepat sekali,” tanyaku setelah mengucapkan salam. “Sudah dari tadi, kamu pagi-pagi malah keluyuran. Bukannya nungguin Sari malah pergi,” omel Aldo.“Aku beli lauk di warung, hidupku keras. Kudu usaha kalau mau makan. Makanan gak bisa datang sendiri atau jatuh dari langit.”