Aku masih punya waktu dua hari untuk bisa menyelesaikan masalahku dan pergi dari kota ini. Memang benar ucapan Kak Syifa, aku harus menghubungi keluargaku. Minimal aku berpamitan dengan Bibi Lia dan Isma. “Heh, kamu mau ke mana? Motorku di sini!”Aku berhenti dan berbalik arah. Ilham sudah duduk di motornya dan mengenakan helm. Namun, kenapa helmnya cuma satu?“Helmku mana?”“Memangnya kamu punya helm?” tanya Ilham. Menyebalkan sekali, ditanya malah balik nanya. “Kagak! Udah ayo cepetan pulang.” Aku segera mengangkat rokku tinggi-tinggi kemudian duduk di belakangnya.“Idih, kamu cewek jadi-jadian, ya? Wanita kok nggak ada anggun-anggunnya.” Aku mencubit pinggangnya, “Buruan jalan. Jangan banyak komentar. Nanti kamu naksir!”Motor melaju dengan pelan meninggalkan rumah Mas Arfan. Ilham tidak bicara sepatah kata pun. Tiba-tiba sampai di jalan raya dia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Apakah le
Malam ini aku membantu Faiha berjualan. Kepala sudah tidak pusing lagi dan badanku terasa lebih segar. Aku meminta Faiha menghidupkan radio supaya aku bisa mendengar suara Mas Aril. Sudah dua hari aku tidak mendengar suaranya, rasanya seperti ada sesuatu yang kurang.Aku tidak tahu bagaimana awalnya bisa kecanduan radio. Semasa SMP, aku dan Isma suka membantu Bibi Lia di toko. Bibi sering menghidupkan radio supaya suasana toko tidak sepi. Pelanggan bunga di toko Bibi sering berkirim salam di radio dan menyebut nama toko bunga milik Bibi sehingga membuat toko semakin ramai pelanggan.Awalnya aku hanya menikmati lagu yang diputar di radio tersebut hingga suatu hari aku mendengar seorang teman sekolahku berkirim salam. Aku yang penasaran langsung menemui dan memintanya untuk mengajarkan bagaimana cara berkirim salam di radio. “Ren, kemarin aku denger kamu kirim salam di radio. Ajarin aku, dong!” “Boleh, tapi jangan lupa kirim salam buat aku. Biar namaku makin mengudara di radio.”Rendy
Aku mencoba menahan sekuat tenaga agar air mataku tidak luruh. Aku harus tegar menghadapi semua ini meskipun sebenarnya hatiku kacau. “Kamu enggak apa-apa, Ta?”“Enggak! Tenang saja, Fai. Aku wanita yang kuat. Kamu tahu ‘kan bagaimana aku di sekolah?”Di sekolah aku tidak pernah menampakkan kesedihanku meski keluargaku berantakan. Aku menjadi Gita yang ceria, kuat, galak dan disegani. Apalagi semenjak berpacaran dengan Erick. Tidak ada yang berani mengusikku. Resiko menjadi pacar anak konglomerat.Beberapa saat kemudian terdengar sebuah alunan lagu ‘Bidadari Cinta' yang dinyanyikan oleh Adibal Sahrul dan Novi Ayla. Lagu yang aku minta sudah diplay di radio.“Sampai ajal menjemputkuKu selalu mencintamuMenyayangmuEngkau tulang rusukkuHingga di surga-Nya AllahKuingin bersamamuDan menjadi bidadari cintamu.”Penulis lagu: Adi Sahrul HartonoAku terenyuh mendengar lagu ini. Pesanku belum dibaca tetapi lagunya sudah diputar. Itulah salah satu alasanku mengagumi Mas Aril, dia ter
“Kamu cari apa, Ta?” Faiha datang dengan membawa sajadah dan mukena di tangan. Aku sangat gugup hingga menjatuhkan beberapa buku. Faiha cepat sekali perginya, hingga membuatku kelabakan. Aku segera merapikan buku-buku yang jatuh di lantai. Faiha sudah di depanku, bagaimana ini?“Emmm ... aku sudah terbiasa nulis diari. Aku mau cari buku yang kosong.” Aku menggaruk kepalaku. Duh, nih mulut asal jeplak. Bukunya kan kosong semua, bakal ketahuan kalau bohong. Aku tidak sepenuhnya berbohong, aku suka menulis diari semenjak kelas 1 SMP. Orang tuaku pergi merantau waktu itu, membuatku menuliskan segala keluh kesahku di buku. Aku berharap mereka akan membaca semua catatanku saat pulang. Namun, sampai saat ini mereka belum pernah kembali ke tanah air. Aku sudah menghabiskan banyak buku, mungkin bisa menjadi novel jika aku tuliskan semua kisah hidupku. Namun, mungkin tidak akan ada yang membacanya karena bukan ala ikan terbang.Faiha membantu merapikan buku-buku kakaknya kemudian memberikank
“Sorry!” Dia melotot dan langsung membanting pintunya. Aku kembali merapatkan piama. Semoga saja dia tidak melihatnya. Aku berjalan ke arah pintu dan bersandar dibaliknya memastikan dia sudah pergi. Kudengar langkah kakinya sudah menjauh. Aku bernapas lega. Astaga, jantungku kenapa ini? Ia seperti mau lompat dari tempatnya.“Buruan woy! Aku mau ambil baju,” teriak Ilham dari luar. Benar, kamar ini adalah milik Ilham. Faiha meletakkan bajunya di kamar kakaknya. Lagipula aku memang tidur di kamar ini. Ilham yang salah, dia ‘kan tidur di kamar Faiha? Seharusnya dia mengetuk pintu dahulu sebelum masuk karena ada gadis di kamarnya.Aku segera keluar setelah berganti pakaian. Duduk di kursi ruang tamu sembari menunggu Ilham mandi. Ternyata lelaki itu mandinya lama sekali. Menunggunya membuatku menguap hingga beberapa kali. Aku bisa ketiduran jika dia tidak segera keluar, apalagi semalam kurang tidur. “Lama nunggunya?” tanya Ilham
Kecanggunganku dengan Ilham berlangsung lama hingga akhirnya dia membuka obrolan. Dia menanyakan kenapa aku mengaku sebagai adiknya. Karena rasa penasaranku, kutanyakan juga mengenai Mas Aril. Bukankah lebih baik bertanya daripada menduga-duga?“Kamu kenal Mas Aril?”Ilham mengerem motor secara mendadak hingga membuat helmku terbentur helmnya dengan keras. “Tuh, kan? Kepalaku sudah dua kali terbentur. Lama-lama bisa gagar otak.” Sepertinya dia terkejut mendengar pertanyaanku. aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu. “Dari mana kamu tahu tentang Mas Aril?”“Aku ngefans sama dia. Aku melihat trofinya di kamarmu. Helm dan jaketmu juga ada logo di tempat dia siaran. Aku jadi penasaran, kamu temennya, ya?”Dia tidak menjawab dan kembali melajukan motornya. Padahal aku sungguh penasaran. Aku tidak ingin mati penasaran hanya karena menunggu jawaban darinya. “Atau jangan-jangan kamu itu Mas Aril?” Aku masih mengomel sepanjang perjalanan hingga sampailah di rumah Bibi Lia, tetapi tidak
“Ada apa, Bi?”Bibi menutup mulut dengan tangan kiri dan memberikan telepon kepadaku. Aku segera berbicara dengan orang yang ada di ujung telepon. “Halo!”“Maaf, Sari sedang di rumah sakit, dia pendarahan.” Suara laki-laki ini sama dengan yang mengangkat teleponku.Astaghfirullah ... Kak Sari, mengapa sampai sejauh ini? Aku tidak menyangka mereka bisa melakukannya. “Di rumah sakit mana?”“RSU,” jawabnya singkat. Aku segera mengakhiri telepon dan menenangkan Bibi. Bibi menangis dan memelukku erat. “Maafkan Bibi, Gita! Bibi tidak bisa menjaga kalian.”Dulu ketika Ayah dan Ibuku pergi, mereka menitipkan kami kepada bibi supaya mau menjaga kami. Namun Kak Sari menolak. “Tenang aja, Buk! Sari sudah gede, sudah bisa menjaga Gita.”Padahal saat itu aku baru kelas satu SMP. Aku dipaksa menjadi anak yang lebih dewasa daripada seusiaku. Kak Sari awalnya Menjadi kakak yang penuh tanggung jawab, hingga akhirnya setelah semester dua dia berubah menjadi pendiam. Kak Sari jarang di rumah dan s
Bibi menatapku seolah meminta persetujuan dan aku mengangguk. Biar bagaimana pun aku melihat ada ketulusan di mata lelaki itu. Sepertinya dia benar-benar ingin bertanggung jawab. Namun, apakah orang tuanya akan menyetujui? Sebentar lagi Kak Sari akan lulus dan menjadi sarjana, sepertinya tidak masalah. Melihat orang tua Erick adalah seorang pengusaha ternama, apakah Kak Sari akan diterima di keluarganya? Kak Sari sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Semua biaya administrasi ditanggung oleh pacarnya, Aldo. Setelah menunggu selama setengah jam akhirnya Kak Sari sadar. Dia bingung melihat keadaan di sekelilingnya. “Aku di mana?” tanya Kak Sari. “Kamu di rumah sakit, Sayang.” Lelaki itu bersikap sangat lembut terhadap kakakku. Pantas saja Kak Sari terlena. “Apa yang terjadi?” Kak Sari memegang kepalanya. “Anak kita tidak bisa diselamatkan, maafkan aku.” Ucapan laki-laki itu membuat Kak Sari histeris. “Kamu jahat, Do! Kamu jahat! Aku benci sama kamu!” Kak Sari menangis histeris, d