Share

Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio
Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio
Penulis: Shofie Widdianto

Sandal Jepit

Sore ini kulihat seorang laki-laki memakai hodie hitam membeli bunga mawar di toko bibiku. Romantis sekali lelaki itu. Dia pasti akan memberikan bunga itu kepada kekasihnya.

“Buruan, Ma. Udah ditungguin sama Gita!”

Ucapan bibi membuyarkanku dari lamunan. Bisa-bisanya aku berpikir Erick akan membelikanku bunga. Aku menggeleng berulang-ulang. Dia tidak seromantis itu, Gita!

Erik adalah kekasihku. Kami mulai dekat semenjak aku duduk di kelas satu SMK. Kami jadian semenjak tujuh bulan yang lalu ketika aku naik kelas dua. Dia kakak kelas satu angkatan yang sebentar lagi akan ujian. Mungkin karena itulah aku jarang bertemu dengannya. Akhir-akhir ini dia sibuk belajar dan mengikuti les.

“Sayang, mungkin mulai saat ini kita akan jarang bertemu, tetapi aku janji usai ujian nanti kita akan jalan-jalan keliling kota,” ucapnya sambil mengelus ujung kepalaku.

“Janji?” Aku mengulurkan jari kelingking meminta sebuah persetujuan. Awalnya dia tampak ragu, tetapi dia mulai menautkan jarinya.

Tentu saja aku mempercayainya. Meskipun awal kedekatan kami ditentang oleh beberapa sahabatku. Mereka bilang Erick itu playboy. Namun, semenjak dekat denganku, tidak sekali pun aku melihatnya bersama wanita lain. Dia lelaki pintar, kaya dan ganteng. Dia memperlakukanku dengan sangat baik hingga membuatku meleleh. Aku yakin teman dan sahabatku hanya iri denganku karena bisa menjadi pacar Erick.

“Ta! Aku sering melihat dia sama cewek pas malam minggu. Kamu aja mainnya yang kurang jauh, malam minggu ngadepin radio ama laptop. Pantes aja lah cowok kamu cari kehangatan di luar.” Linda teman sebangkuku, mengatakan dia sering melihat Erick bersama wanita lain bahkan sering bergonta-ganti teman kencan.

Terkadang aku berpikir, mungkin aku yang salah karena tidak bisa memberikan apa yang Erick mau. Aku menolak memberikan ciuman pertamaku meski dia sering merayu. Aku terlalu mencintainya karena dia adalah cinta pertamaku. Meski beberapa kali aku terhasut dengan ucapan temanku, tidak sekalipun aku curiga kepada Erick. Aku takut terluka jika memang semua itu nyata.

Malam ini adalah malam minggu, aku dan Isma akan pergi ke masjid. Selain sibuk di sekolah, kami juga sering mengikuti pengajian.

IRMAS atau ikatan remaja masjid di kompleks perumahan ini mengadakan kegiatan kajian khusus untuk anak muda. Ustaz dan ustazah muda yang mengisi acara tersebut, dan kali ini Ustazah Aisya yang akan mengisi kajian. Beliau adalah seorang hafizah Al-Qur’an, santri lulusan pondok pesantren Al-Falah. Pondok pesantren terbesar di kota kami.

“Ta, kamu nggak bawa mukena?” tanya Isma. Dia keluar dari kamarnya membawa tas yang berisikan sajadah, mukena dan tidak ketinggalan ponsel. Aku sudah hafal kebiasaan sepupuku itu.

“Aku lagi uzur. Aku nunggu di luar aja pas salat.” Padahal sebenarnya aku malas salat.

Malam ini kami datang lebih awal, yakni setengah jam sebelum acara dimulai supaya bisa mendapat tempat paling depan. Kami berjalan berdua menuju masjid setelah berpamitan kepada Bibi. Jarak rumah sampai ke masjid tidak terlalu jauh, hanya sekitar 500 meter. Kami lebih suka berjalan kaki sambil berbincang-bincang.

Kulihat Isma tampak sangat bahagia, dia yang mengajakku mengikuti kajian ini. Awalnya dia hanya tertarik dengan ustaznya yang katanya ganteng-ganteng bak opa-opa Korea. Namun, setelah aku bergabung selama satu bulan ini belum pernah bertemu dengan ustaz yang digandrungi oleh Isma.

“Kaya apa, sih, Ustaz Ilham itu?”

“Nanti kamu juga bakal tahu sendiri. Ingat, ya! Kamu sudah punya Erick! Jangan coba-coba berani menikungku.”

“Enggak, lah. Aku tidak tertarik dengan uztaz.” Aku tertawa hingga memegangi perut.

Bisa-bisanya Isma berpikiran seperti itu. Dia bahkan tahu aku lebih mengidolakan Kak Aril daripada Erick. Dia yang selalu menemani malamku hingga tertidur, meskipun hanya lewat udara. Ya, dia adalah penyiar radio nomor satu di kota Kretek.

Sesaat kemudian Isma berhenti dan membekap mulutku. Dia menunjuk ke arah taman kota di seberang jalan. Ada seorang laki-laki dengan postur tubuh yang tidak asing bagiku. Dia merangkul wanita dan duduk di bangku taman. Sebuah motor gede yang biasa digunakan untuk memboncengku terparkir di bawah pohon ketapang.

“Erick!”

Aku melepaskan tangan Isma dari mulutku. Tidak salah lagi. Dia memang Erick, dasar cowok brengsek! Mengapa aku bisa tertipu olehnya?

Aku mengepalkan tangan hingga kuku jariku memutih. Aku bersiap memberikan pelajaran kepadanya.

“Gita! Kamu mau ngapain?” Isma memegang tanganku. Dia menggeleng. “Kumohon, jangan lakukan apa pun! Kamu sudah melihatnya sendiri, Allah sudah menunjukkan keburukannya padamu. Ayo! Sebaiknya kita ke masjid saja.”

Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan. Dada ini sesak melihatnya bersama wanita lain. Selama ini dia selalu mengelak dan aku selalu mempercayainya, tetapi sekarang aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.

“Aku harus memberikan pelajaran kepadanya!”

“Istighfar, Ta! Kamu boleh deh, gebet Ustaz Ilham. Aku mau ngalah aja sama kamu.”

Langkah kakiku terayun menyeberangi jalan raya. Tidak kuhiraukan ucapan Isma. Bisa-bisanya dia bercanda di saat seperti ini.

Beberapa kendaraan berhenti karena aku tidak mau mengalah. Kalaupun tertabrak mungkin akan lebih baik. Rasa sakit ini membuat darahku naik ke ubun-ubun. Kuhapus sisa air mata karena tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Perlahan tapi pasti, aku sampai di depan Erick.

Bola mata Erick membulat seolah ia ingin keluar dari tempatnya. Begitu juga wanita di sampingnya, ternyata perempuan itu adalah teman sekelasnya. Aku merasa benar-benar dipermainkan. Aku melihat tangan Erick gemetar memegangi sebuah cup es boba.

“Dasar murahan!” Kuambil es boba dari tangan Erick lalu menuangkannya ke muka wanita di sebelahnya.

Ingin rasanya aku menampar Erick, tetapi kuurungkan niat itu. Tanganku terlalu suci untuk lelaki sepertinya, lantas kuambil sandal jepit warna kuning yang mereknya seperti agar-agar untuk memukulnya hingga dia mengaduh kesakitan.

“Dasar buaya darat! Mulai saat ini kita putus!” Kulemparkan sandalku yang satu ke mukanya.

“Gita, tunggu! Aku bisa jelasin semuanya.” Dia berhasil menangkap sandalku. Wajah gantengnya selamat kali ini.

“Tidak perlu! Pergi dari sini atau kulempar kau dengan—“

“Dengan apa? Kau tidak membawa apa-apa, Sayang.” Dia mendekat dan memegang tanganku yang mengepal sambil tersenyum licik.

Sial! Aku tidak membawa apa-apa. Bagaimana ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status