Erick mendekat dan memegang tanganku yang mengepal sambil tersenyum licik.
Aku menoleh ke arah jalan raya. Isma belum juga menyusulku. Seharusnya aku menuruti perkataan sahabat sekaligus saudaraku itu.“Kamu tidak membawa apa-apa, Gita. Kamu sudah tidak memiliki apa pun untuk memukulku.”Aku mundur selangkah, tetapi Erick semakin mendekat. Wanita selingkuhannya masih membersihkan bajunya yang kotor terkena siraman es boba.“Kenapa mundur? Selama ini kutahan untuk tidak menyentuhmu. Jangan harap aku bisa melepaskanmu sebelum mencicipinya.” Aku menggeleng. Aku tidak mau disentuh oleh lelaki sepertinya.“Lepas! Jangan sentuh aku!” Dengan sekuat tenaga aku melepaskan tanganku darinya.Namun nahas, tangannya terlalu kuat. Kini dia semakin mendekat dan mulai mengikis jarak di antara kami.“Lepaskan aku, Erick!” Tangisku pecah kala dia melepas jilbabku.Aku memang tidak pernah memakai jilbab kecuali jika datang ke pengajian, tetapi aku tidak sudi disentuh olehnya. Ya Allah, selamatkan aku dari lelaki ini.“Tidak semudah itu, Gita. Bukankah kamu bilang akan melemparku dengan kecupan manis bibirmu?” bisiknya di samping telingaku.Cuih! Aku meludah ke samping. Tidak sudi melihat wajahnya.“Aku akan melemparmu dengan doa. Bismillahirrohmaanirrohiim.” Dengan sekali gerakan aku berhasil menendang pusakanya.Setelah dia melepaskan tangan, kuinjak kakinya dan segera melarikan diri. Dia tidak bisa mengejarku karena sedang kesakitan. Pasti sangat sakit. Teman wanitanya membantu Erick berdiri dan duduk kembali di bangku taman.Aku berlari dengan napas terengah-engah tanpa arah dan tujuan. Air mata ini menjadi saksi betapa bejatnya kelakuan Erick. Aku berhenti setelah memastikan mereka tidak mengejarku. Ya Allah, gini amat nasib hamba. Patah hati, diselingkuhin, dan hampir dinodai. Aku menangis sejadi-jadinya. Menyesal karena telah mencintainya.Aku duduk dan bersandar di bawah pohon kersen. Kuluruskan kaki supaya ototnya tidak tegang. Telapak kakiku sakit, lupa mengambil sandal jepit swallow. Padahal aku baru membelinya tadi sore. Jilbabku tertinggal di sana, masih di tangan Erick ketika aku kabur darinya.Ponsel di saku gamisku berdering. Kulihat ada panggilan dari Isma. Ya Allah, aku melupakannya. Segera kuangkat telepon darinya.“Gita, kamu di mana? Kamu apain Erick? Dia sampai nggak bisa jalan.”Aku bingung harus tertawa atau sedih. “Aku di ujung utara jalan, dekat penjual bubur kacang ijo. Di bawah pohon kersen. Aku tunggu di sini kalau kamu udah selesai pengajian.”“Kamu nangis, Ta? Ayo kita pulang saja!”“Hatiku sedang kacau, Ma. Aku mau nenangin diri dulu. Kamu ke masjid aja, aku tunggu kamu di sini.”Aku tidak mungkin pulang tanpa jilbab dan sandal. Bibi Lia pasti akan sangat sedih melihat keadaanku yang kacau seperti ini. Aku sudah seperti gelandangan yang biasanya tinggal di pinggir jalan.“Kamu yakin enggak mau pulang?”“Nanti saja setelah perasaanku tenang. Kamu ngaji aja dulu. Ustaz Ilham sudah menunggu.”Isma pasti sangat ingin bertemu Ustaz Ilham. Dia hanya datang sebulan satu kali ketika awal bulan. Meski tidak mengisi pengajian, Ustaz Ilham akan duduk di depan bersama ustaz lainnya.“Makasih, Gita. Kamu jangan ke mana-mana. Aku akan segera kembali setelah pengajian.”Telepon kumatikan setelah azan Isya berkumandang. Kutangkupkan kedua tangan, menunduk dan menangis. Aku berteriak sekencang-kencangnya meluapkan semua sesak di dada. “Ya Allah, aku menyesal telah mencintainya.”Lelaki yang selama ini kubanggakan, cinta pertamaku sekaligus menjadi orang yang pertama membuatku patah hati. Lengkap sudah deritaku. Mungkin setelah ini aku tidak akan mau lagi dekat dengan lelaki. Mereka semua sama saja, buaya darat.“Ibu, pulanglah! Gita kangen sama Ibu.”Di saat seperti ini aku butuh sandaran selain pohon kersen. Tidak ada yang lebih nyaman selain pundak Ibu.Daun kersen berguguran diterpa angin, sesekali buahnya yang bulat jatuh di depanku. Mereka menjadi saksi betapa gundahnya hatiku, tangis, dan sesal menjadi satu.Orang tuaku pergi merantau ke Negeri Jiran untuk mengais rezeki. Kak Sari sudah cukup dewasa untuk menjaga adiknya. Padahal kenyataan tidak seperti apa yang mereka harapkan. Kami memang bisa sekolah tinggi, tetapi aku selalu keluyuran dan jarang tidur di rumah. Apalagi Kak Sari, dia bahkan tidak mempedulikanku.“Kamu main saja ke rumah Bibi Lia, belajar sama Isma. Enggak usah keluyuran,” ucap Kak Sari ketika aku melihatnya membawa ransel dan mengemasi pakaian.Dia tidak pernah menjagaku hingga aku terjebak cinta dengan lelaki yang bejat seperti Erick. Untung hanya hatiku yang retak, kesucianku masih terjaga.Lama aku menangis membuatku kehausan. Belum sempat aku berdiri, seorang laki-laki memberikanku sebotol air mineral alami yang ada manis-manisnya.“Minumlah, menangis butuh tenaga.”Aku menatapnya heran. Aku sepertinya pernah melihatnya, tetapi di mana? Saat aku masih sibuk dengan pemikiranku, dia kembali berucap.“Jangan mencintai sesuatu secara berlebihan hingga kita tak sadar sudah menduakan Allah.”Aku terpengarah mendengarnya, lelaki yang kutaksir berusia 20 tahun ini sudah seperti ustaz saja.Setelah kuperhatikan penampilannya, sepertinya dia bukan orang biasa. Dia memakai baju koko dan sarung. Pecinya sedikit basah. Sepertinya dia habis wudu.“Jangan menatapku seperti itu. Aku manusia, bukan setan.”Astaghfirullah, baru saja aku berjanji untuk tidak menjalin hubungan dengan lelaki. Allah sudah mengujiku dengan bertemu makhluk seindah ini. Dia seperti malaikat.Aku meminum air putih pemberiannya. Masih bersegel, semoga tidak ada guna-gunanya.“Terima kasih, Mas.” Aku mengembalikan botol minuman transparan yang isinya masih setengah.Dia tidak lekas menjawab, tetapi malah menatapku penuh keheranan. Dia mengerutkan dahinya hingga wajahnya tampak lucu.“Bayar! Tiga ribu harganya. Aku jualan minuman.” Dia menunjuk ke arah gerobak yang tepat berada di belakangku.What? Ternyata dia penjual minuman? Dengan kesal aku melemparinya dengan buah kersen yang jatuh di sekelilingku.Semilir angin berembus bersama daun kersen yang berguguran. Bintang di langit seakan ikut tertawa melihatku membayar minuman seharga tiga ribu rupiah. Di dunia ini mana ada yang gratis, Gita! WC umum saja bayar.Aku segera mengambil uang dari saku gamis. Kebetulan sebelum pergi aku membawa selembar uang kertas warna hijau. Aku menyerahkannya kepada penjual minuman itu. “Ini kembaliannya. Lain kali jangan tanggung-tanggung kalau mau mukul cowok,” ucapnya sambil memberikan uang kembalian.Eh, bagaimana dia bisa tahu? “Mas ngintip, ya?”“Idih, kagak ada kerjaan. Semua orang di taman juga pada lihat kamu mukulin tuh cowok.”Aku melihat sekeliling, memang benar banyak sekali orang di taman ini. Malam minggu adalah malam yang panjang, sangat cocok untuk muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Ya Allah, malu banget aku. Pasti banyak yang menggunjingku. “Sini botolnya. Sekarang jadi milikku karena udah bayar.” Lelaki di depanku menyerahkan botol air mineral itu sambil tersenyum kemudian kemb
Anak kecil yang kutahu bernama Bian ini tiba-tiba memeluk erat kakiku. Dia meminta kugendong dan tidak mau pulang bersama orang tuanya. Menyebalkan sekali! Memangnya apa yang dia inginkan dariku?“Atu maunya puang sama tatak cantik,” teriak Bian. Kedua orang tuanya sudah lelah membujuknya hingga menawarkanku untuk pulang bareng. “Pulanglah bersama kami, setelah Bian tidur kamu akan kami antar pulang.””Saya lagi nungguin teman, lagi ngikutin pengajian di masjid. Kalau nanti saya dicari bagaimana?” Aku sedang menunggu Isma, bagaimana bisa aku meninggalkannya?“Telepon aja, kami jamin akan mengantarkanmu pulang sampai rumah.”Aku segera mengangguk karena tidak enak menolak, lumayan mumpung ada tumpangan gratis. Masih dalam pelukanku, balita itu tertidur. Sandal jepit warna kuning sudah lepas dari tangan. Pusaka paling ampuh untuk cowok lucknut seperti Erick.Aku duduk di belakang bersama Bian, sedangkan ayah dan ibunya di depan. Sebenarnya di mana, sih, rumah mereka? Sudah hampir seten
Faiha datang dan menjatuhkan teh yang dia bawa hingga gelasnya pecah dan membuat keributan di kamar Faiha. Mampus aku! Kini kami sudah seperti pasangan mesum yang digerebek Pak RT.Apakah kakaknya Faiha ini adalah seorang ustaz yang digandrungi Isma?Lelaki yang bernama Ilham menatapku terkejut. “Bukankah kamu wanita yang semedi di bawah pohon kersen tadi?”Ah, iya, aku ingat. Dia adalah lelaki penjual minuman di taman. Kuambil bunga mawar dan melemparkan ke mukanya. “Semedi? Kamu pikir aku dukun?”“Wanita gila, barbar, dan aneh.” Ilham memicingkan matanya. “Kalian sudah saling kenal?” tanya Faiha.Aku dan Ilham sontak menjawab dengan kompak, “Tidak!”Aku berdiri dan berkacak pinggang, siap-siap meninjunya. Lemes sekali mulutnya. Sepertinya dia tidak pernah makan bangku sekolah. Aku bersiap melayangkan tinju ke mukanya, tetapi dia segera mengambil bantal untuk berlindung.“Dasar pengecut!” Aku naik ke kasur untuk memukulnya, tetapi malah terjatuh di atasnya. Dia memegang kedua tangan
Ilham menatapku aneh. Apa dia mulai terpesona denganku? Haish! Pikiranku malah traveling.Faiha mengantarkanku sampai depan rumah sedangkan Ilham sudah siap dengan motor scoopy-nya. Wah, dia bukan termasuk anak muda zaman now yang suka dengan motor gede. Motornya masih standar.“Ngapain lihat-lihat? Naksir, ya?” ucapnya ketus. “Buruan naik atau kutinggal!”Menyebalkan sekali lelaki itu. Aku segera duduk di belakangnya tanpa pegangan. Meski bagaimana pun dia lelaki normal, takut digoda setan.Dia melajukan motor dengan kecepatan sedang. Rumah Bibi Lia tidak terlalu jauh sini, tetapi aku tidak enak jika pulang ke sana. Apalagi diantarkan sama laki-laki. Jadi kuputuskan untuk pulang ke rumah. Aku melihat kakiku, masih menawan meski hanya memakai sandal jepit. Aku memakainya mumpung anak bernama Bian itu tidur. “Rumah kamu di mana?” Pertanyaannya membuatku kaget. Aku lupa, dia kan tidak tahu rumahku. “Karangmalang.” Aku tidak perlu menjelaskannya tinggal di mana, sepertinya dia sedang
Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid. Tubuhku terasa kaku dan kedinginan. Aku duduk dan bersandar di ranjang mengecek ponsel yang berkedip-kedip. Banyak sekali pesan yang masuk. Kak Sari menghubungiku? Aku segera membuka pesan darinya. “Ta, kamu di mana? Kakak pulang kok kamu malah nggak di rumah?”Benarkah dia mengkhawatirkanku? Ternyata tidak hanya satu pesan yang dikirimkan. Baru kali ini aku merasa memiliki seorang kakak. Ada juga sebuah pesan dari Erick. Buat apa lagi dia masih menghubungiku? Tidak cukup puaskah dia menyakiti perasaanku? “Gita! Aku bisa jelasin semuanya. Aku khilaf, Ta. Kumohon percayalah padaku.”Kututup mulutku kala membacanya. Ya Allah, haruskah aku mempercayainya? Rasanya terlalu sakit. Namun, jauh di lubuk hati masih tersimpan namanya. Dia yang pertama di hatiku, tidak akan mungkin semudah itu melupakannya. Mas Aril hanyalah tameng untuk mengelabuhi orang supaya tidak tahu betapa hancurnya perasaanku. Aku meringkuk, me
Suasana di sekolah sudah lengang. Hanya anak yang mengikuti ekstra kurikuler yang masih di kelas. Sudah hampir satu jam aku bersembunyi di kelas. Kupikir Erick sudah pulang karena sudah sore. Namun, Erick tiba-tiba datang menghadang. “Turun, Ta! Aku capek nungguin kamu.”Jadi, sedari tadi dia menungguku? Bodoh sekali aku! Kupikir dia sudah pulang.“Aku tidak memintamu untuk menungguku.”Erick menarik tanganku hingga hampir terjatuh. “Lepas, Rick! Jangan sentuh aku. Aku bisa teriak jika kamu memaksa.”Erick akhirnya melepaskan tanganku. Di sini masih ada Pak Satpam, aku akan meminta perlindungan jika dia nekat. “Aku minta maaf, Ta! Aku sudah putusin Meyda. Kita masih bisa bersama lagi.”Aku menggeleng. “Tidak semudah itu Bambang! Setelah apa yang kamu lakukan padaku tadi malam dengan semudah itu kamu minta maaf?”“Aku memang salah, Ta! Allah saja mau memaafkan hambanya. Kenapa kamu tidak bisa?”Aku terdiam, hatiku tidak sekuat itu, Rick. Terlalu dalam luka yang kau torehkan. Dengan m
“Ketika tidak ada siapa pun yang menolongmu, ingatlah kamu masih punya Allah.ان الله معناSesungguhnya Allah bersama kita”***Aku baru ingat, apa benar dia mencintaiku? Jika seorang laki-laki mencintai perempuan, dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya terluka dan akan menjaganya. Namun, Erick tidak seperti itu. Sepertinya dia hanya terobsesi denganku. “Erick! Jangan lakukan ini padaku!” Aku terus berteriak meminta diturunkan tetapi dia tidak menghiraukan. Kini sampailah kami di depan pintu rumahnya. Orang tua Erick adalah pengusaha sukses. Mereka sering pergi ke luar kota. Mereka biasanya pulang pada hari weekend, tetapi aku berharap keajaiban datang. Semoga mereka datang menolongku.“Di mana, sih, Abang naruh kuncinya? Biasanya juga enggak pernah dikunci.” Erick mengomel mencari kunci rumah yang tidak tahu di mana keberadaannya. Abang? Jangan-jangan lelaki yang bersama Kak Sari adalah abangnya Erick. Astaghfirullah, aku baru ingat perkataan Erick tadi siang. Berart
Mataku terbuka kala mendengar sayup-sayup suara azan. Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Badanku sakit dan pegal-pegal. Saat aku hendak bangun, kepalaku terasa berat. Di keningku ada sebuah benda basah seperti es. Ada yang sedang mengompresku, apakah aku demam?Tembok bernuansa abu menjadi pemandanganku. Di manakah aku? Aku segera membuang kompresan di kepala. Ini bukan kamarku, bukan kamar Isma atau pun rumah sakit. Jangan-jangan Erick menyekapku. Aku segera mengecek bajuku dan oh tidak! Aku sudah berganti pakaian. Astaga, apakah aku sudah tidak perawan? Aku mencoba berdiri dan ternyata aku terjatuh. Kakiku sakit, ada sebuah perban putih di lutut. Namun aku tidak merasa ada suatu keanehan di bawah sana. Sepertinya semua itu hanya kekhawatiranku saja.Aku kembali duduk di ranjang, masih menerka-nerka di manakah diriku berada. Kamar berukuran 3x3 meter dengan tempat tidur yang cukup nyaman meskipun sempit. Hanya cukup untuk tidur berdua. Lemari pakaian yang cukup kecil s