**
Hanya saja, semua terlupa saat kasur king size di ruangan itu membuatnya terlelap. Gadis itu jatuh tertidur lebih cepat sebab semua yang terjadi pada hari ini membuatnya sangat lelah.
Terlebih, Bella panik kala mengingat rencana keduanya keesokan paginya. Apakah semuanya akan berjalan seperti yang ia harapkan?
“Apakah kau gugup?” tanya Giovanni yang baru turun dari mobil. Pria itu menyadari gerak-gerik wanitanya.
Wanita itu sontak mengangguk menatap lobby Paradise Hotel.
“Kau bisa melakukan ini.” Tanpa basa-basi, ia meraih jemari Bella dan menarik tangan sang istri untuk memasuki hall Paradise Hotel yang saat itu didekorasi dengan mewah.
Tamu-tamu berbusana indah dan mahal bertebaran di penjuru ruangan.
Mereka semua seperti ikut merayakan luka hati Isabella yang berdarah-darah. Dan oleh sebab itu, rasa gugup gadis itu mendadak lenyap. Digantikan dengan api yang membara di dalam dadanya.
“Mereka bersenang-senang di atas penderitaanku,” desis Bella. “Sama sekali tidak bisa dibiarkan.”
Gadis itu mengeratkan pegangannya di lengan Giovanni. Kini tidak ada gugup atau takut, hanya kemarahan membara yang tergambar jelas di kedua matanya.
Dan Giovanni menyukai itu. Seringainya terbit. Ia mengecup puncak kepala Bella dengan sayang. Yeah, sejujurnya Giovanni tidak suka perempuan yang terlalu lembut.
“Selamat untuk pernikahan kalian.” Bella berujar dengan percaya diri ketika sampai di depan pelaminan. “Aku turut berbahagia.”
“Oh, baguslah,” timpal Tracy dengan muak. Pandangan gadis itu jatuh kepada Giovanni, yang pagi itu jujur saja jauh lebih tampan daripada Andrew Harper, sang mempelai pria. “Siapa yang kau bawa ini, ngomong-ngomong? Kau menyewanya di mana?”
“Jaga mulutmu, Tracy,” sahut Isabella, “Aku tidak akan memaafkan siapapun yang menghina suamiku.”
“Suami, katamu?” Gadis yang lebih tua daripada Bella itu berdecih mengejek. “Kau sefrustasi itu sampai mengada-ada? Kau pikir kami semua bodoh?”
“Terserah. Kau bisa memeriksanya sendiri di catatan sipil nanti. Oh, selain untuk memberi kalian selamat, kedatanganku kemari juga untuk mengingatkan. Aku menikah kemarin,
sebelum kau. Maka hak waris tetap menjadi milikku.”
“Apa?”
“Jangan lupa membayar sewa jika acara kalian berakhir nanti. Kau bukan lagi Corporate Owner hotel ini. Oh, dan satu lagi, Andrew, kau dipecat dari posisimu sebagai General Manager. Segera kemasi barang-barangmu di kantor besok. Perusahaan tidak bisa terus mempekerjakan orang yang tidak punya pendirian seperti dirimu.”
Tentu saja semua hadirin yang datang mendengar kata-kata Bella. Mereka semua sedang tercengang sekarang. Memandang penuh rasa ingin tahu kepada perempuan yang masih berdiri penuh percaya diri di depan pelaminan itu. Semua kegiatan dihentikan karena pemandangan di depan lebih menarik. Sementara sepasang mempelai berdiri seperti patung. Tampak begitu terguncang dengan kejutan yang mereka dapatkan. Rencana Tracy dan Andrew gagal total, ditambah lagi keduanya dipermalukan dengan telak di hadapan publik.
“Ka-kau ….” Tracy tercengang. Wajahnya tampak memucat. “Omong kosong apa yang kau katakan ini, sialan?”
“Aku hanya mengatakan kebenaran, bukan omong kosong.” Bella mengangkat bahu. “Jika kau mengambil sesuatu yang bukan hakmu, maka semesta akan mengambil milikmu dengan lebih banyak. Paham, Sista?”
“Keparat kau, jalang!”
“Kau yang jalang.”
“Menyingkir dari sini, Bella!”
Sesungguhnya, Bella tersentak kaget mendengar kata-kata itu. Ia menoleh kepada sang mantan tunangan yang sedang memandangnya dengan dingin. Ia tahu keadaan dirinya dengan Andrew kini sudah lain, namun mendengar pria itu berkata kasar kepadanya, rasanya benar-benar menyakitkan. Kendati demikian, Bella berusaha menutupi lukanya dengan tetap bersikap seperti sebelumnya. Satu sudut bibirnya terangkat sementara ia mematai Andrew Harper yang pucat pasi saking marahnya.
“Jangan khawatir, Andrew. Aku akan pergi tanpa harus kau usir. Lagi pula misiku sudah selesai sekarang. Silahkan lanjutkan pernikahanmu.”
“Apa yang terjadi? Apa ada sesuatu? Astaga, kau benar-benar datang?” Tergopoh-gopoh keluar dari balik stage, Marita menghampiri putrinya yang berdiri gemetaran dan nyaris menangis. Wanita itu mendelik murka kepada Bella.
“Kau masih bisa bertingkah, Bella? Seharusnya kau tahu diri! Aku sudah memperingatkanmu dari kemarin! Apa yang kau lakukan kepada putriku, ha?”
“Wah, sepertinya ibumu ketinggalan pertunjukan, Tracy,” ejek Bella dengan decih tawa pelan. “Tapi tidak apa-apa, aku akan menjelaskannya lagi dengan senang hati.”
“Aku bilang menyingkir dari sini, Bella! Apa kau tuli? Pergi, atau aku akan mendorongmu keluar?”
Sebelum Bella bisa melanjutkan berkata-kata, Andrew mengulangi gertakannya. Pria itu melangkah maju untuk mendekati Bella, namun dengan sigap Giovanni menghalangi.
“Kau tidak diizinkan menyentuh istriku,” katanya dengan suara dingin yang mengandung maut. Pria itu membungkuk dan berbisik di telinga Andrew sehingga yang lain tidak bisa mendengarnya. “Akan kupatahkan lehermu sekaligus jika kau berani menyentuh Isabella, walau hanya seujung kuku, asshole!”
***
**Giovanni akhirnya kembali ke rumah setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Keputusan itu bukan karena izin dokter, melainkan paksaan dari dirinya sendiri. Ia tidak tahan dengan suasana rumah sakit yang membatasi gerak, membatasi waktunya, dan terutama membatasi pikirannya. Dengan alasan merasa sudah cukup kuat, ia bersikeras keluar meskipun dokter berulang kali mengingatkan bahwa luka yang ia derita belum sepenuhnya pulih. tulang selangkanya yang retak belum sepenuhnya sembuh.“Tubuhmu belum siap. Kalau kau memaksa, risikonya bisa fatal, Tuan,” kata dokter dengan nada keras waktu itu.Namun Giovanni hanya menanggapi dengan senyum kaku. “Aku lebih baik mati di rumah sendiri daripada terkurung di ruangan ini,” ujarnya singkat, lalu menandatangani surat pernyataan pulang atas tanggungannya sendiri. “Jangan mengatur-aturku, Dokter!”“Kau adalah pasien kami. Bagaimana mungkin kami membiarkanmu bersikap seenaknya seperti itu? Kau harus menurut sampai setidaknya kami memiliki catat
**Malam di San Diego General Hospital terasa panjang. Lampu kamar perawatan menyala temaram, menimbulkan suasana tenang sekaligus penuh kecemasan. Bella duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Giovanni yang masih terbaring tidak sadar akibat anestesi.Felix berdiri di sudut ruangan, matanya awas mengamati setiap pergerakan perawat yang masuk dan keluar. Namun Bella menoleh kepadanya dengan tatapan tegas.“Felix, kau harus beristirahat. Kau sudah menemaninya sejak pagi. Biarkan aku yang menjaganya sekarang.”“Tapi, Nyonya—”“Aku istrinya,” Bella memotong dengan suara yang lembut namun penuh penekanan. “Tidak ada yang lebih berhak berada di sisinya selain aku. Pergilah, tidurlah sebentar. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Giovanni sedetik pun. Kau juga harus memikirkan dirimu, Felix.”Felix menahan napas, menatap Bella beberapa saat. Wajah perempuan itu pucat, tetapi sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. Akhirnya Felix mengangguk pelan. “Baiklah. Jika ada
**Malam sudah tiba dalam waktu yang begitu singkat.Lorong Unit Gawat Darurat San Diego General Hospital malam itu terasa begitu panjang dan sunyi. Hanya bunyi langkah kaki perawat serta dengungan mesin pendingin udara yang menemani Felix. Ia duduk di kursi tunggu, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggenggam erat hingga buku jarinya memutih.Matanya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Lampu merah di atasnya menyala, tanda operasi sedang berlangsung. Waktu berjalan lambat, seolah setiap menit adalah ujian kesabaran.Felix mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Berkali-kali ia merogoh saku untuk mengambil ponsel, berniat menekan nomor Bella. Namun setiap kali jempolnya menyentuh layar, ia ragu dan membatalkan niatnya itu.“Jika aku mengabarkannya sekarang ....” gumamnya dalam hati, “Nyonya Bella pasti panik. Ia bisa hancur sebelum tahu hasilnya. Tidak ... aku tidak boleh membuatnya lebih cemas.”Felix mengembuskan napas panjang, kembali menatap p
**“Kita harus segera ke rumah sakit,Tuan!” Felix menginjak pedal gas dalam-dalam sementara melirik sesekali melalui kaca spion. Gurat kecemasan tergambar jelas pada raut wajahnya, mematai sang tuan yang tampak mengernyit. Jalanan hening, tidak ada kendaraan lain yang melintas. Mungkin karena tempat itu agak terpencil.Giovanni menggenggam bahu kirinya. Jelas sekali, darah merembes melalui sela-sela jemari besarnya. menetes hingga membasahi manset jas.“Aku baik-baik saja.” Namun sang tuan masih sempat berkilah. “Bawa aku pulang saja.”“Tidak. Kita harus ke rumah sakit dulu.”Kali ini, Felix mengambil resiko dengan tidak menurut. Ia tak peduli sekalipun sang tuan akan murka. Baginya, keselamatan Giovanni jauh lebih penting. Dan ternyata Giovanni tidak lagi membantah. Entah karena ia terlalu kesakitan, atau memang berpikir sang bawahan ada benarnya. Pria itu hanya melirik ke luar jendela dengan kesal, mengabaikan kucuran darah yang kian deras.Felix mempercepat laju mobilnya ketika me
**Damian menyeringai lebar ketika mendengar ancaman itu. Alih-alih merasa terancam, ia semakin senang. Bukankah Giovanni justru menunjukkan titik lemahnya dengan berkata seperti itu? Dan titik lemah itu, bernama Bella."Aku sedang tidak mengajakmu bercanda!" geram Giovanni lagi. "Memangnya apa yang kau pikir lucu sehingga kau tersenyum lebar seperti keledai begitu?""Aku suka temperamenmu," tukas Damian, "Kau tahu, Giovanni? Sepotong kayu akan segera menjadi arang akibat bara api yang dia sebabkan oleh gesekan-gesekannya sendiri."Giovanni mengatupkan rahang. Murka benar-benar hampir melahapnya seperti bara api yang dikatakan Damian barusan. Ia diam, namun sepasang mata serigalanya berkilat. Giovanni sedang menahan diri untuk tidak menerkam adik sepupunya saat iru juga."Ini adalah peringatan terakhir untukmu, Damian ...." ujar Giovanni akhirnya. "JIka sekali lagi kau membuat perkara denganku, akan kuhancurkan kau beserta semua antek-antekmu.""Apa menurutmu aku akan berhenti dengan
**Di ruang kendali yang dipenuhi cahaya remang-remang, hanya diterangi nyala biru dari layar monitor, Damian Estes duduk tegak di kursinya. Tatapannya terarah pada satu layar besar di hadapannya, menyorot sebuah sedan hitam yang berhenti tepat di depan gerbang kastil. Mesin mobil itu masih menyala, lampu depannya memancarkan sinar dingin yang membelah pekatnya pagi di tengah hutan yang basah berembun.“Sudah berapa lama dia di sana?” tanya Damian tanpa mengalihkan pandangannya.Matteo, lelaki berpostur tegap dengan tatapan tajam, berdiri di belakang Damian. Ia melipat tangannya di dada, menatap layar yang sama. “Baru sepuluh menit. Tapi aku rasa dia tidak berniat pergi begitu saja.”Damian menghela napas panjang, lalu bersandar sedikit ke kursinya. Senyum tipis terbit di wajahnya, senyum yang mengandung arti lebih dalam daripada sekadar keramahtamahan.Matteo mengerutkan kening. “Apakah kau akan membiarkan hal itu? Kau tahu siapa yang ada di dalam mobil itu, bukan?”Damian menoleh se