Seminggu sebelum pernikahan, Isabella Clark justru menemukan tunangannya berkhianat dengan kakak tirinya. Bahkan, Bella diusir dari rumah dan perusahaan warisan ibu kandungnya diambil paksa! Hal ini membuat kesedihan yang mendalam, hingga Bella berakhir menghabiskan malam dengan pria misterius bernama Giovanni Estes di sebuah bar. Namun, Giovanni justru menawarkan bantuan pada Bella untuk merebut kembali haknya, dengan syarat gadis itu bersedia menikah dengannya. Lantas, bagaimana nasib Bella? Terlebih, identitas Giovanni tidak sesederhana yang ia pikirkan ... dan tak mau melepasnya!
Lihat lebih banyak**Giovanni akhirnya kembali ke rumah setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Keputusan itu bukan karena izin dokter, melainkan paksaan dari dirinya sendiri. Ia tidak tahan dengan suasana rumah sakit yang membatasi gerak, membatasi waktunya, dan terutama membatasi pikirannya. Dengan alasan merasa sudah cukup kuat, ia bersikeras keluar meskipun dokter berulang kali mengingatkan bahwa luka yang ia derita belum sepenuhnya pulih. tulang selangkanya yang retak belum sepenuhnya sembuh.“Tubuhmu belum siap. Kalau kau memaksa, risikonya bisa fatal, Tuan,” kata dokter dengan nada keras waktu itu.Namun Giovanni hanya menanggapi dengan senyum kaku. “Aku lebih baik mati di rumah sendiri daripada terkurung di ruangan ini,” ujarnya singkat, lalu menandatangani surat pernyataan pulang atas tanggungannya sendiri. “Jangan mengatur-aturku, Dokter!”“Kau adalah pasien kami. Bagaimana mungkin kami membiarkanmu bersikap seenaknya seperti itu? Kau harus menurut sampai setidaknya kami memiliki catat
**Malam di San Diego General Hospital terasa panjang. Lampu kamar perawatan menyala temaram, menimbulkan suasana tenang sekaligus penuh kecemasan. Bella duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Giovanni yang masih terbaring tidak sadar akibat anestesi.Felix berdiri di sudut ruangan, matanya awas mengamati setiap pergerakan perawat yang masuk dan keluar. Namun Bella menoleh kepadanya dengan tatapan tegas.“Felix, kau harus beristirahat. Kau sudah menemaninya sejak pagi. Biarkan aku yang menjaganya sekarang.”“Tapi, Nyonya—”“Aku istrinya,” Bella memotong dengan suara yang lembut namun penuh penekanan. “Tidak ada yang lebih berhak berada di sisinya selain aku. Pergilah, tidurlah sebentar. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Giovanni sedetik pun. Kau juga harus memikirkan dirimu, Felix.”Felix menahan napas, menatap Bella beberapa saat. Wajah perempuan itu pucat, tetapi sorot matanya menunjukkan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. Akhirnya Felix mengangguk pelan. “Baiklah. Jika ada
**Malam sudah tiba dalam waktu yang begitu singkat.Lorong Unit Gawat Darurat San Diego General Hospital malam itu terasa begitu panjang dan sunyi. Hanya bunyi langkah kaki perawat serta dengungan mesin pendingin udara yang menemani Felix. Ia duduk di kursi tunggu, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggenggam erat hingga buku jarinya memutih.Matanya tak pernah lepas dari pintu ruang operasi yang tertutup rapat. Lampu merah di atasnya menyala, tanda operasi sedang berlangsung. Waktu berjalan lambat, seolah setiap menit adalah ujian kesabaran.Felix mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Berkali-kali ia merogoh saku untuk mengambil ponsel, berniat menekan nomor Bella. Namun setiap kali jempolnya menyentuh layar, ia ragu dan membatalkan niatnya itu.“Jika aku mengabarkannya sekarang ....” gumamnya dalam hati, “Nyonya Bella pasti panik. Ia bisa hancur sebelum tahu hasilnya. Tidak ... aku tidak boleh membuatnya lebih cemas.”Felix mengembuskan napas panjang, kembali menatap p
**“Kita harus segera ke rumah sakit,Tuan!” Felix menginjak pedal gas dalam-dalam sementara melirik sesekali melalui kaca spion. Gurat kecemasan tergambar jelas pada raut wajahnya, mematai sang tuan yang tampak mengernyit. Jalanan hening, tidak ada kendaraan lain yang melintas. Mungkin karena tempat itu agak terpencil.Giovanni menggenggam bahu kirinya. Jelas sekali, darah merembes melalui sela-sela jemari besarnya. menetes hingga membasahi manset jas.“Aku baik-baik saja.” Namun sang tuan masih sempat berkilah. “Bawa aku pulang saja.”“Tidak. Kita harus ke rumah sakit dulu.”Kali ini, Felix mengambil resiko dengan tidak menurut. Ia tak peduli sekalipun sang tuan akan murka. Baginya, keselamatan Giovanni jauh lebih penting. Dan ternyata Giovanni tidak lagi membantah. Entah karena ia terlalu kesakitan, atau memang berpikir sang bawahan ada benarnya. Pria itu hanya melirik ke luar jendela dengan kesal, mengabaikan kucuran darah yang kian deras.Felix mempercepat laju mobilnya ketika me
**Damian menyeringai lebar ketika mendengar ancaman itu. Alih-alih merasa terancam, ia semakin senang. Bukankah Giovanni justru menunjukkan titik lemahnya dengan berkata seperti itu? Dan titik lemah itu, bernama Bella."Aku sedang tidak mengajakmu bercanda!" geram Giovanni lagi. "Memangnya apa yang kau pikir lucu sehingga kau tersenyum lebar seperti keledai begitu?""Aku suka temperamenmu," tukas Damian, "Kau tahu, Giovanni? Sepotong kayu akan segera menjadi arang akibat bara api yang dia sebabkan oleh gesekan-gesekannya sendiri."Giovanni mengatupkan rahang. Murka benar-benar hampir melahapnya seperti bara api yang dikatakan Damian barusan. Ia diam, namun sepasang mata serigalanya berkilat. Giovanni sedang menahan diri untuk tidak menerkam adik sepupunya saat iru juga."Ini adalah peringatan terakhir untukmu, Damian ...." ujar Giovanni akhirnya. "JIka sekali lagi kau membuat perkara denganku, akan kuhancurkan kau beserta semua antek-antekmu.""Apa menurutmu aku akan berhenti dengan
**Di ruang kendali yang dipenuhi cahaya remang-remang, hanya diterangi nyala biru dari layar monitor, Damian Estes duduk tegak di kursinya. Tatapannya terarah pada satu layar besar di hadapannya, menyorot sebuah sedan hitam yang berhenti tepat di depan gerbang kastil. Mesin mobil itu masih menyala, lampu depannya memancarkan sinar dingin yang membelah pekatnya pagi di tengah hutan yang basah berembun.“Sudah berapa lama dia di sana?” tanya Damian tanpa mengalihkan pandangannya.Matteo, lelaki berpostur tegap dengan tatapan tajam, berdiri di belakang Damian. Ia melipat tangannya di dada, menatap layar yang sama. “Baru sepuluh menit. Tapi aku rasa dia tidak berniat pergi begitu saja.”Damian menghela napas panjang, lalu bersandar sedikit ke kursinya. Senyum tipis terbit di wajahnya, senyum yang mengandung arti lebih dalam daripada sekadar keramahtamahan.Matteo mengerutkan kening. “Apakah kau akan membiarkan hal itu? Kau tahu siapa yang ada di dalam mobil itu, bukan?”Damian menoleh se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen