Beberapa detik berlalu dengan kesunyian yang aneh. Hangat alkohol dari napas Nash menguar di udara dan matanya tampak berkaca-kaca. Chloe menyipitkan mata, mencoba mencari tahu kenapa Nash bertingkah lain malam ini.“Aku ... mendengar sesi terapimu,” katanya pelan. Suaranya serak, seperti baru saja menahan tangis selama berjam-jam. “Aku mendengar semuanya.”“Kau tahu itu ilegal, bukan?” ujar Chloe.Nash tersenyum, dia mengangguk. “Ya. Tapi Bibi Mika ingin aku mendengar semuanya. Awalnya aku tak tahu tujuannya, tapi saat aku melihatmu dan mendengar semuanya, aku tahu, dia sedang memberiku hukuman!”“Bibi Mika?” Chloe menaikkan alis. Dia mendesah, sekarang dia tahu kenapa beberapa waktu yang lalu Dr. Mikaila mengirimnya pesan secara pribadi. Ternyata, dia adalah salah satu bibi Nash. Tapi kenapa Chloe tidak melihatnya di pertemuan peringatan kematian kakek Nash waktu itu?“Aku ... aku tak tahu jika kau terluka sedalam itu, Chloe. Selama ini aku menganggap diriku adalah orang yang paling
Nash menatap satu map yang tergeletak di atas meja panjang di ruangannya. Map itu berisi kontrak pernikahan antara dirinya dan Chloe. Dia berdiri, lebih dekat, kedua tangan diselipkan ke kantong celana. Tarikan napasnya berat, otaknya tak henti-hentinya memikirkan sesi terapi Chloe.Dia duduk dengan lemah setelah berdiri cukup lama dan hanya diam memandangi kontrak itu. Nash mengusap kepalanya, merasakan denyutan yang makin intens menghantam. Gelombang kenangan itu kembali datang, ketika dia bertemu Chloe pertama kali setelah berpisah 10 tahun.Nash tahu, jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya ketika melihat wajah dewasa Chloe dalam balutan pakaian kantor sederhana. Dia merasakannya sejak dulu, namun ego yang tinggi menutupi semuanya.Dia tahu lebih baik dari siapa pun, jika tujuan pernikahan ini bukan hanya dendam, melainkan karena Nash ingin mengikat Chloe ke dalam dirinya.Pria itu meraih kertas kontrak dan membaca ulang. Tatapannya terhenti di area tanda tangan Chloe, menyap
Cahaya lembut matahari pagi menyusup melalui celah tirai yang setengah tertutup, menari pelan di dinding dan menyentuh dua tubuh yang masih terbaring di atas sofa yang sempit. Selimut tipis menyelimuti tubuh mereka seadanya, memperlihatkan sebagian kulit bersinggungan di bawahnya.Adrian masih memeluk tubuh Mila dari belakang, lengannya melingkari perut ramping gadis itu dengan posesif yang tenang. Napasnya teratur, menghangatkan kulit di tengkuk Mila. Hembusannya tidak lagi berat dan mengandung luka, tapi terasa damai. Seolah semalam, meski kabur dalam mabuk, menjadi satu-satunya waktu dia bisa benar-benar merasa hidup.Mila membuka matanya perlahan, membiarkan beberapa detik untuk menyatu kembali dengan kenyataan. Tubuhnya terasa ringan walau bagian bawahnya terasa amat perih, namun pikirannya mulai kembali bekerja.Tangannya meraba ke lantai, mengambil ponsel yang ternyata sudah mati karena kehabisan daya. Dia meletakkan ponsel di atas meja, melihat pakaian mereka berserak begitu s
Hujan deras merayap turun, memukul keras jendela kaca lantai atas apartemen. Kota di luar tampak kabur oleh tirai air yang tak henti, seolah ikut bersedih bersama seorang pria yang mengunci dirinya dalam sepi.Adrian duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin, dengan botol vodka setengah kosong tergenggam longgar di tangannya. Napasnya berat, matanya sembab oleh begadang dan alkohol, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang nama belakang yang akhirnya dia tinggalkan.Vellarco.Setelah memutuskan untuk meninggalkan keluarga Vellarco, Adrian tak kemana-mana. Dia hanya diam di rumah sepanjang hari, sesekali memeriksa aktivitas yayasan lewat email, tidur, minum alkohol, dan begitu seterusnya. Mila memang menawarkan untuk tetap tinggal di apartemennya, tapi Adrian tahu, wanita itu hanya ingin berusaha mendapatkan informasi darinya.Dia menghela napas, pikirannya teralih ketika seseorang mengetuk pintu. Lama. Berulang kali. Dia tidak bergerak, hanya memejamkan mat
Nash menunduk. Punggungnya bersandar ke lemari. Dia memejamkan mata. Hatinya bergemuruh.“Kalau kau diberi kesempatan untuk berbicara padanya, bukan sebagai orang yang sudah menyakitimu, tapi hanya sebagai Nash Sullivan. Apa yang ingin kau katakan?”Chloe diam, sangat lama, air matanya masih terus jatuh satu-satu.“Aku ... aku ingin tahu, kenapa dia tidak bertanya lebih dulu padaku. Kenapa dia tidak mencoba melihatku sebelum memutuskan bahwa aku bersalah ...”“Dan?” desak Dr. Mikaila dengan nada lembut.“Dan ... aku ingin dia tahu, bahwa yang paling menyakitkan bukan tuduhannya, tapi kenyataan bahwa dia menyeretku dalam pernikahan ini dengan memperalat Alex.”“Jika kau diberi kesempatan memutar waktu, akankah kau memilih untuk tidak jatuh cinta padanya?”Mulut Chloe terkunci rapat, namun perlahan, sangat halus, Chloe menggeleng. “Entahlah!”Suara Chloe pecah, tubuhnya membungkuk, dia tenggelam dalam tangis yang lebih dalam dari sebelumnya. Nash, yang sejak tadi hanya diam, kini berdir
“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” Nash duduk di depan meja Dr. Mikaila dengan perasaan was-was. Ketika pria itu menerima pesan Dr. Mikaila pagi tadi yang meminta dia datang ke klinik pukul dua sore, Nash nyaris tak bisa konsentrasi pada pekerjaannya.“Ini tentang Chloe? Dia mengalami sesuatu yang buruk? Atau ... kondisinya makin parah?”Dr. Mikaila meletakkan satu berkas di meja, dia duduk setelah mengamati Nash yang terlihat panik. “Sepertinya kau benar-benar mencintainya lebih gila lagi sekarang,” sungut Dr. Mikaila, “aku bahkan tak tahu harus menjawab pertanyaanmu yang mana.”Nash berdecak. “Bibi Mika, jangan bercanda padaku.”“Aku tak bercanda.” Dr. Mikaila mengamati Nash. “Hari ini adalah jadwal terapi lanjutan Chloe. Setelah beberapa kali pertemuan, dia sudah semakin lebih baik, tapi bukan berarti dia sudah sepenuhnya sembuh. Kau tahu kan luka akibat trauma tak bisa sembuh dengan cepat?”Nash mengangguk.“Aku akan membuat pengecualian padamu. Kau bisa mendengar dan melihat se