Demi menyelamatkan sang adik, Chloe Lynn terpaksa menerima tawaran gila dari pria yang paling membencinya, Nash Sullivan. Sayangnya, Chloe tidak tahu jika pernikahannya bukan sekedar transaksi, namun juga awal balas dendam bagi CEO dingin itu. Lantas, bagaimana nasib Chloe?
View More“Aku menyukaimu!”
Chloe Lynn, gadis muda berusia 16 tahun membungkuk seraya mengulurkan sepucuk surat pada kakak kelasnya, Nash Sullivan. Suaranya terdengar tegas, meski kedua tangannya bergetar. Dia tahu resiko pengakuan ini. Nash bukan hanya terkenal tampan dan cerdas, tapi juga selalu menolak gadis mana pun yang menyatakan cinta padanya.
Namun, sekali lagi, Chloe tak peduli. Bukan sekali dua kali dia memikirkan resiko penolakan, tapi dia berpikir, lebih baik mengetahuinya –sekalipun dia ditolak- daripada tidak sama sekali. Yang dia tahu, dia menyukai Nash, ketika pertama kali melihat Nash bermain basket saat matahari senja membingkai sosoknya dalam cahaya keemasan.
Sejenak lapangan menjadi hening, lalu tawa meledak. Bukan sorakan bahagia, melainkan ejekan yang memekakkan telinga.
Ketika Chloe mengangkat wajahnya, dia menemukan senyum sinis dan menghina di bibir Nash, seolah dia melihat sesuatu yang menjijikkan pada diri Chloe. Senyum itu menyayat harga diri Chloe, sungguh!
“Apa kau sadar diri? Bagaimana bisa kau merasa jika Nash akan menerimamu?” Seseorang berteriak dari antara kerumunan.
“Hei, bahkan gadis yang selevel dengannya ditolak begitu saja. Dan kau?”
“Sepertinya dia memang tak tahu malu!”
Gelombang tawa dan tepukan menyebar sepereti racun. Mereka terbahak, mengejek dan sesekali menunjuk wajahnya. Tapi Chloe tetap berdiri, mencoba tegar, menatap Nash seolah masih berharap –hanya satu kata saja, bahkan jika itu adalah penolakan yang jujur.
Tapi yang dia dapat hanyalah suara datar yang menghujam. “Kembalilah ke rumah dan lihat dirimu sendiri di cermin!”
Tepat saat itu, diantara sorak ejekan, Chloe mendapati dirinya runtuh.
Dia menggigit bibir, menahan air mata yang akhirnya jatuh juga. Tanpa sepatah kata, dia berbalik, berlari meninggalkan lapangan basket dan membawa luka pertamanya: cinta pertama yang dibalas hinaan.
Langkahnya membawanya ke tempat yang selama ini menjadi pelariannya. Jembatan tua yang tak banyak diketahui orang. Hanya Chloe yang selalu ke sana, ketika dunia ini terasa bising di telinganya dan dia butuh ketenangan.
Namun hari itu agak berbeda.
Dari kejauhan, dia melihat dua wanita berdiri di bawah jembatan, terlihat mereka sedang bersitegang. Chloe menghela nafas kecewa karena sepertinya kali ini dia harus berbagi tempat dengan orang lain, padahal dia ke sana untuk menyendiri.
Tapi semakin Chloe mendekat, dia melihat situasi yang mencekam, matanya membelalak ngeri. Salah satu dari mereka –wanita yang lebih muda- mengayunkan benda tumpul ke kepala wanita yang lebih tua. Wanita itu terhuyung selama beberapa detik, lalu terjatuh. Detik berikutnya, tangan pelaku mencekik leher wanita itu dengan ganas dan tanpa ampun.
“Hentikan!” Chloe menjerit.
Gadis muda itu menoleh, matanya bertemu dengan Chloe dan bibirnya langsung mengumpat kasar selagi dia melarikan diri. Chloe berlari, namun ketika dia tiba, darah sudah mengalir membasahi tanah dan bebatuan. Tangan Chloe gemetar saat dia menempelkan jari ke hidung wanita itu, masih ada napas, meski sangat lemah.
Dengan panik dia membuka ponsel dan menghubungi nomor darurat. Lalu dia mencoba melakukan CPR seperti yang biasa dia lihat di televisi. Tangan mungilnya menekan dada wanita itu berulang kali sambil mengusap air matanya yang tak berhenti jatuh.
Dari kejauhan, gadis muda itu berdiri dibalik rumput liar, merekam semuanya diam-diam. Bibirnya melengkung membentuk senyum jahat. Jika wanita itu mati, maka bukti rekaman itu akan menunjukkan bahwa Chloe-lah pelakunya. Bahkan saat dia berusaha melenyapkan nyawa seseorang, tampaknya Tuhan masih memihak. Dia mengirim sosok gadis lain untuk dijadikan kambing hitam.
Ponselnya berdering, Chloe mengalihkan perhatiannya. “Ya?” katanya sambil terengah.
“Chloe... ayah dan ibumu... bunuh diri!”
Dunia seolah berhenti berputar. Tangan Chloe terkulai lemah, napasnya tercekat. Dia menatap wanita di hadapannya, lalu meraih tas dan berlari. Ambulans pasti akan segera datang. Tapi sekarang, ada hal yang lebih penting. Keluarganya.
Chloe tiba di rumah sakit dengan langkah terhuyung. Di sana, Alex Lynn, adiknya yang masih berusia sebelas tahun menunggunya dengan mata memerah dan tubuh gemetar.
“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Chloe nyaris tak bersuara.
“Entahlah!” Alex menggeleng. “Katakan mereka akan baik-baik saja, Chloe. Katakan kita tidak akan kehilangan mereka!”
“Ya.” Chloe mengangguk, dia mendekap Alex erat. “Mereka menyayangi kita. Mereka akan baik-baik saja!”
Tapi rupanya, kata ‘baik-baik saja’ yang dilontarkan Chloe memiliki makna terbalik. Ketika dokter keluar, dia mengatakan jika jantung orang tuanya tak lagi berdetak.
Berhenti berdetak.
Mati.
Dunia Chloe seketika runtuh, dia jatuh ke titik dasar paling rendah kehidupannya. “Tidak mungkin.” Dia menggeleng, air matanya meleleh. “Mereka tidak akan meninggalkan aku dan juga Alex! Tidak...”
Tapi dokter tidak bergeming. Dia menghela napasnya dalam-dalam, menatap Chloe dan Alex dengan tatapan penuh simpati. Saat itulah Chloe sadar jika sepertinya dokter tidak sedang bermain-main dengannya. Tangisannya pecah, suaranya memenuhi koridor.
Mimpi buruk itu datang sangat cepat dan hari itu dunia Chloe benar-benar berakhir.
Di sisi Barat rumah sakit yang sama, Nash berlari menyusuri lorong demi lorong. Dia terengah saat mendapati ayahnya, Foster Sullivan, terduduk di lantai, menatap kosong ke arah pintu ruang operasi.
“Dad, apa yang terjadi?” Nash mencoba menahan kepanikannya.
Foster Sullivan mengangkat wajah, terlihat keletihan dan kekhawatiran menumpuk di sana. “Entahlah,” katanya dengan gelengan kepala yang lambat. “Mereka menemukan ibumu di bawah jembatan,” Suara Foster bergetar, “dalam keadaan yang mengerikan.”
“Jembatan? Kenapa? Untuk apa Mom ke sana?”
Foster menggeleng lagi. “Ketika ambulans tiba, mereka tidak menemukan siapa-siapa kecuali ibumu.”
Nash duduk di samping Foster, sesekali dia menengok ke pintu, berharap dokter akan segera keluar. Telapak tangannya dingin karena panik dan rasa takut. Dan tak berapa lama, ponselnya berdering, sebuah pesan video masuk.
Tangannya bergetar saat melihat rekaman video di ponselnya. Detik pertama: seorang gadis, menekan dada –atau leher- ibunya yang terluka. Detik kedua: tas sekolah yang tergeletak di sampingnya, gantungan kunci itu. Wajah Nash mengeras, matanya menyipit, dia mengenalinya.
“Chloe?”
Suara itu terdengar lirih, tapi juga penuh amarah dan dendam.
Sepi menggantung ditengah mereka. Nash menggaruk kepalanya. “Benarkah? Aku tidak ingat bagian itu.”Chloe terhenyak, tangannya mengepal di balik gaun pendek yang dipakainya. Tapi tangan kekar Nash langsung menggenggamnya, diam-diam, tanpa melirik Chloe. Dia terus bertatap muka dengan Daisy seolah dia sedang memfokuskan dirinya pada wanita itu.Jangan bilang kau berbohong padaku, pinta Chloe dengan lirih dalam hati ketika dia menemukan ekspresi Nash yang datar. Jangan bilang keputusanku untuk memulai lagi sejak awal denganmu adalah sebuah kesalahan.Tolong, Nash.Jika kau menghancurkanku sekarang, aku tidak bisa percaya padamu lagi selamanya, dan aku akan bercerai darimu.“Kita bahkan ...” Daisy mulai bertingkah panik. “Kau ...”“Aku kenapa?” Nash mengangkat alis.Air mata Daisy kembali jatuh, dia menggeleng, menangis sesenggukan. Mila mengernyit, mulai merasa jengah dengan tingkah Daisy. Dan melihat Nash juga Adrian bahkan tidak melakukan apa pun pada wanita ular itu membuat emosi dal
Nash menyerbu masuk ketika Chloe hendak menutup pintu kamar mandi. Pria itu menatapnya dengan mata sensual, seolah sudah tidak sabar untuk menunggu hal yang ditahannya selama ini. Namun Chloe tahu, dia baru saja kehilangan janin dan melewati proses kuretase.Dia tidak bisa mewujudkan hasrat Nash, dan dia belum siap.“Kau mau apa?” Chloe mendelik.“Kita mandi berdua saja, lebih cepat!”“Kau mau cepat? Kau bisa mandi lebih dulu.”Nash berdecak, dia menyandarkan tubuhnya di sisi pintu kamar mandi. “Kau pikir aku buru-buru?”“Jadi?” Chloe pura-pura tidak mengerti. “Adrian dan yang lain ada di bawah. Kau ingin menemani mereka, kan?”“Mereka bisa menunggu, Chloe,” gumam Nash putus asa.“Lalu?” Alis Chloe naik.Nash mendorong Chloe lalu menutup pintu kamar mandi dengan cepat. Dia menangkup wajah gadis itu, menciumnya lagi dan mendorong tubuh Chloe hingga menempel di dinding. Tangannya dengan cepat meraih kancing gaun Chloe tapi gadis itu menghentikannya.“Kau tidak menginginkannya?” bisik Na
Petir menyambar cukup dekat, menciptakan cahaya lebih terang selama beberapa detik, mengalahkan sinar matahari yang terhalang awan-awan gelap. Chloe dan Nash masih berdiri berhadap-hadapan, jarak diantara mereka makin tertutup usai Chloe memberikan penawaran pada Nash.Tidak ada perceraian.Tidak ada perpisahan.Semuanya akan kembali seperti awal.“Tentu saja.” Chloe menghela napas, melihat Nash justru tidak bereaksi apa-apa. “Jika kau menginginkan Daisy, kau bisa menceraikanku secepatnya.”Nash mengernyit. “Kenapa kau membawa nama Daisy?”“Oh? Aku lupa, kau adalah tiang penyangga gadis itu. Aku tak bisa menyebut namanya tanpa izinmu,” dengus Chloe makin kesal.Nash tersenyum, untuk pertama kali sejak kemarin dia mengetahui kebenaran itu. Ditariknya pinggang Chloe untuk memupus jarak diantara mereka sampai tubuh gadis itu menempel padanya. Nash menatap wajah Chloe yang damai dan tenang, tangannya perlahan naik untuk menggantikan gadis itu memegang payung.Tangannya meraba punggung Chl
Gerimis perlahan turun. Bunyi guruh sahut menyahut di langit, awan hitam bergulung malas menaungi tempat pemakaman khusus yang telah disiapkan oleh Nash beberapa tahun lalu. Berada di atas perbukitan, hanya ada makam ibunya di sana, berikut makam dirinya sendiri yang juga telah disiapkan Nash.Foster dan Helena tidak terlihat di sana, hanya ada Eross, juga Alex, Adrian, Mila dan Chloe. Gadis itu memastikan dirinya tetap berada di sisi Nash, berusaha menjadi titik tumpuan pria itu di fase terendahnya.Nash tidak banyak bicara. Pun setelah peti diturunkan dan petugas menutup liang lahat, pria itu tetap diam. Namun sorot mata itu menceritakan semuanya. Bagaimana kepedihan hati Nash melepas ibunya, walau sejak beberapa tahun terakhir dia sudah mempersiapkan diri.“Kak ...” Eross berdiri di samping Nash, menatap batu nisan yang terpasang sempurna dan cantik. “Bibi Lori telah menemukan kehidupannya yang lebih baik. Aku ... minta maaf atas nama ibuku. Jika tidak ada kami, kau pasti masih mer
Nash tersenyum, dia mengangguk setuju alih-alih menolak. Adrian mengangkat alis, tidak percaya Nash justru memberinya reaksi santai seperti itu. “Kau bersedia?”“Kenapa tidak?”“Kau? Seorang Nash Sullivan?”“Jika menjadi pelayan Chloe, seumur hidup pun aku bersedia!”Adrian menggelengkan kepala sambil berdecak. “Kau sungguh tak tertolong lagi, Nash. Otakmu benar-benar sudah diekspansi oleh Chloe.”Nash tertawa pelan, keduanya saling berpandangan lagi ketika mendengar suara jerit Daisy lebih kencang. “Pria itu bermain cukup kasar sepertinya,” kelakar Adrian. “Daisy bahkan berteriak seperti itu.”Dia mengeluarkan ponselnya, mengatur sudut untuk menangkap dirinya dan Nash yang tergeletak di atas tempat tidur.“Kau mau apa?” lirik Nash tajam.“Tentu saja membuat bukti untuk mematahkan tuduhan Daisy,” sahutnya santai. “Kau tahu kan, dia pasti datang besok dan menangis tersedu-sedu. Dia akan mengatakan kau melecehkannya.”Nash tertawa kecil, dia mengangguk setuju. “Setelah ku pikir-pikir, d
Begitu Daisy pergi, Nash duduk dengan tegak. Diambilnya sapu tangan dari sakunya, lalu melap lehernya dengan kasar, begitu juga dengan kedua telapak tangannya. Dia memungut jasnya. Dengan tatapan dingin, pria itu turun dari ranjang dan keluar.Di ambang pintu, dia bertemu Adrian dan seorang pria yang perawakannya persis Nash. Sahabatnya itu tertawa kecil, dia menepuk lengan pria itu dan berkata, “Gantikan Nash untuk memuaskan nafsu wanita itu!”“Tapi bagaimana kalau ketahuan?” Pria itu sedikit khawatir.“Buat saja suara mendesah dan gumaman yang dibuat-buat, seolah kau mabuk berat. Katakan lampunya tidak boleh menyala, atau Daisy tak boleh menyentuh wajahmu. Bilang saja kau yang akan memuaskannya sendiri. Ingat, kau tak perlu banyak bicara jika tidak diperlukan,” sahut Adrian.“Aku akan menjaminmu,” tambah Nash lagi. “Dia tidak akan bisa menyentuhmu selama ada aku.”“Kalau begitu, aku akan masuk.” Pria itu bergumam riang dan nada bicaranya lebih santai.Adrian dan Nash mengangguk bers
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments