Indana tersedak mendengar pertanyaan dokter muda itu. Apa dia tidak salah dengar?
"Sebaiknya Nak Dokter tanyakan sendiri dengan orangnya." Mama tersenyum menggoda, memberi isyarat agar Dokter Utsman bertanya kepada sang putri.Loh, kok Aku? batinya bertanya.Indana tergagap saat dr. Utsman menoleh dan kedapatan dirinya sedang mencuri pandang. Indana refleks berpura-pura mengecek selang infus. Pemuda yang berprofresi dokter itu tersenyum melihat aksi konyolnya."Bagaimana, Inda?" Suara lembutnya sungguh sangat mengusik naluri.Indana menegang. Oh, Tuhan. Memangnya kamu mau apa jadi tanya-tanya begitu? Namun, itu hanya berani dia ungkapkan dalam hati saja."Eeemmm, saya … masih sendiri, Dok. Belum ada yang mau," jawabnya cengengesan."Kalau ada cowok yang mau, kamu mau, nggak?""Gimana?" Indana mengerutkan kening meminta penjelasan sekali lagi. Biasa, wanita memang butuh penjelasan dan pengakuan berkali-kali.Dokter Utsman tersenyum lebar. "Maksudnya, kalau ada yang suka sama kamu, dan serius mau menjalin hubungan, kamu mau terima tidak?""Memangnya siapa orangnya?"Pura-pura belagak pilon sajalah Aku.Lelaki bertubuh atletis itu kembali tertawa. Kali ini diiringi tawa oleh kedua orang tua Indana."Om, Tante, kalau diizinkan, nanti saya mau silaturrahmi ke rumah Om dan Tante."Demi apa? Hati perempuan itu serasa meloncat dari tempatnya. Indana girang bukan main. Dokter tampan itu akan berkunjung ke rumah. Itu artinya …. Namun, dia harus menjaga imej dan tetap bersikap tenang. "Oh. Silakan. Dengan senang hati, Nak Dokter. Selama ini ayahmu saja yang pernah datang ke rumah. Sekarang gantian, putranya pula yang datang," jawab papa bersemangat."Ah, iya. Baik. Nanti saya kabari waktunya."Setelah mengecek keadaan, pemuda itu memberitahu bahwa Indana sudah bisa pulang dalam waktu beberapa menit lagi. Karena tidak ada luka serius dan kondisinya baik-baik saja. Hanya syok sementara.Kedua orang tua Indana tampak lega. Dalam perjalanan pulang, Indana tersenyum sendiri mengingat dokter tadi. Namun, senyumnya pudar saat kembali mengingat tentang kesucian dirinya. ***Tak lama setelah pertemuan di rumah sakit itu, Dokter Utsman benar-benar memenuhi janji. Dia datang ke rumah, sendirian.Papa Surya pernah bercerita jika salah satu alasan dr. Utsman terkesan kepada Indana yaitu ketika pemuda itu melihat Indana yang sedang menolong pedagang kaki lima yang ditabrak oleh pengendara motor, sementara si penabrak tak mau bertanggung jawab. Ya, Indana mengingatnya. Saat itu pedagang itu dia bawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama dan pengobatan. Syukurnya tak terjadi apa-apa. Sehingga hari itu juga dia bisa pulang. Tak lupa Indana juga memberi uang pesangon sebagai ganti dagangannya yang telah tumpah ke jalanan. Rupanya … saat itu dr. Utsman melihat.Seperti biasa, jika ada lelaki mapan yang ingin bertemu dengan sang putri, kedua orang tua Indana selalu antusias. Dia merasa tak enak hati. Karena selalunya, semua berakhir kandas. Ya, mereka memilih untuk tidak meneruskan hubungan setelah Indana mengatakan Indana sudah tidak perawan lagi.Mungkin, jika hal ini disampaikan dengan orang lain, bahkan Mahiya dulu sempat beranggapan dirinya wanita bodoh karena mau dirayu dengan iming-iming cinta. Namun ketika Indana menceritakan kejadian yang sebenarnya Mahiya justru menjadi satu-satunya orang mensupport. Indana terlalu takut bercerita kepada kedua orang tuanya hingga menjadikan Mahiya satu-satunya tempat bersandar. Wajar jika Indana dan Mahiya sangat dekat, bahkan Indana sudah menganggap Mahiya sebagai saudara. Biar sajalah orang tidak tahu mahkota Indana sudah terenggut. Toh, mereka tidak bertanya. Namun, baginya, kehidupan rumah tangga itu harus dimulai dengan kejujuran. Sehingga kelak kita menjalani dengan nyaman. Jika rumah tangga dimulai dengan kebohongan dan tipu muslihat, maka dalam menjalaninya nanti pun akan muncul kebohongan-kebohongan lain untuk menutupinya.Sering dia merasa kasihan terhadap mama dan papa. Kedua orang yang dia cintai itu selalu berharap ada lelaki yang benar-benar mempersunting Indana. Mereka tidak tahu, jika semua lelaki yang dekat dengan perempuan itu menjauh karena dia beritahu satu hal.Indana juga tak mengerti, mengapa peristiwa laknat itu bisa menghampiri dirinya. Padahal, dia adalah wanita yang selalu menjaga diri dengan menutup aurat. Peristiwa pahit beberapa tahun silam itu sungguh menjadi titik balik kehidupannya. Indana sempat trauma dan membenci pelaku yang sampai saat ini tak berani lagi menampakkan batang hidung di depannya.Indana menyeka air mata yang jatuh. Dengan mengucap basmalah, dia meyakinkan diri untuk bertemu Dokter Ustman. Indana melihat diri di pantulan kaca rias sekali lagi. Setelah yakin tidak ada sisa air mata, dia keluar kamar dengan membawa sejuta harap.Di ruang tamu, didapati sosok dokter tampan itu tengah duduk dan asyik berbincang dengan mama dan papa. Lelaki berkemeja hitam itu meliriknya dengan tatapan penuh pesona saat menyadari kedatangan perempuan itu. Indana meremas tepi gamis yang membalut tubuh untuk sedikit menyalurkan rasa gugup."Nah, yang ditunggu akhirnya datang juga," seru Mama Cahaya bersemangat.Dapat dia lihat meja ruang tamu. Penuh dengan kue-kue enak dan mahal. Seperti biasa, sang mama yang memesan. Tapi kali ini dia tak mengetahui terlebih dulu karena dipesan khusus untuk surprise. Itu kata mama sesaat sebelum kedatangan dr. Utsman."Maaf, Nak Dokter, jadi menunggu lama," sahut Papa Surya."Nggak apa-apa, Om. Wanita biasanya kan, suka dandan. Mungkin itu yang dilakukan Indana sebelum bertemu dengan saya." Dokter Utsman terlihat mencairkan suasana. Indana jadi tersipu-sipu."Biar lebih cantik, ya," celetuk Papa Surya tak kalah heboh. Akhirnya ruang tamu ini penuh dengan suara gelak tawa mereka bertiga.Indana duduk tepat di hadapan dr. Utsman. Tatapan mata keduanya saling memerangkap satu sama lain. Dirasakan dadanya berdegup lebih kencang. Dia rasa, ini normal karena lelaki di hadapannya ini memiliki paras yang paripurna."Mungkin, langsung saja, ya. Sebelum ke mari, saya sudah berdiskusi dengan kedua orang tua. Bahwa, niat saya bersilaturahmi ini adalah insya Allah ingin menjalin hubungan serius dengan putri dari Bapak Surya Bramasta. Karena tidak ingin berlama-lama menggantung hubungan, setelah ini saya akan datang secara resmi dengan membawa kedua orang tua. Semoga Bapak, Ibu, dan Indana berkenan."Kalimat padat dan jelas itu meluncur dari mulut dr. Utsman Al-Habsyi. Lelaki yang berprofesi sebagai dokter umum itu dengan mantap mengucapkan maksud dan tujuannya untuk menjalin hubungan yang serius dengannya. Indana kembali dilanda rasa haru. Baginya, ini adalah oase di tengah penantiannya beserta kedua orang tua menunggu sosok lelaki yang bersedia melamar.Mama terlihat berkaca-kaca. Indana akhirnya mengusap kedua matanya karena tak sanggup menahan tangis haru.Sejak pertemuan mereka di rumah sakit tempo hari, kedua orang tua Indana kompak menyukai dokter tampan itu. Apalagi dr. Utsman adalah anak dari rekan sang ayah yang sudah jelas asal dan nasabnya. Hal itu semakin menambah keyakinan kedua orang tuanya untuk menerima dr. Utsman menjadi bagian dari keluarga mereka.Indana tak menyangsikan hal ihwal mengenai dr. Utsman. Dia dokter yang baik, tampan, mapan, punya posisi yang prestisius, anak dari seorang dokter pula, berasal dari keluarga baik-baik. Ah, siapa wanita yang tak menerima pinangannya? Namun, perempuan itu tak pernah lupa tentang satu hal yang harus disampaikan dengan calon suaminya kelak. Meskipun, dia harus mempersiapkan diri jika hatinya kembali patah untuk kesekian kali.Setelah memakan jamuan, dr. Utsman meminta izin untuk berbicara berdua dengannya. Indana menyambut baik niat tersebut. Indana mengajak pemuda itu ke taman depan yang di sana terdapat kolam besar berisi ikan koi peliharaan Papa Surya. Indana mengajak dr. Utsman duduk di saung yang berdiri di tengah kolam."Saya boleh mengatakan sesuatu?" Indana memulai obrolan."Ya. Tentu saja. Tentang apa?" jawab pemuda itu lembut.Indana menghirup udara. "Saya sudah tidak perawan lagi. Apakah … dokter tetap bersedia menikahi saya?"Sesaat, lelaki itu kaget."Saya juga punya masa lalu yang kelam.""Apa?"Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik