Share

Bab 4.

last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-03 15:56:42

Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda.

"Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."

Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.

Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang.

Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagalan membina hubungan dengan Furqon, Indana menjadi lebih tertutup dan tidak yakin dengan keadaan dirinya sendiri. Indana selalu merasa bahwa dia adalah wanita yang tak pantas untuk dinikahi oleh siapa pun.

Apalagi, sekarang yang berniat meminang adalah lelaki yang boleh dibilang memiliki kasta tinggi. Dia lebih pantas meminang wanita terhormat yang lebih segalanya dibanding dengan perempuan yang tak sempurna sepertinya.

"Apa yang kamu risaukan, Inda?"

Pemuda itu menatapnya tajam. Namun, Indana tidak sedikitpun merasa terintimidasi karena matanya yang teduh. Indana membenamkan wajah pada setangkup tangan. Berusaha menyembunyikan kesedihan dan air mata yang siap tumpah.

Indana mengusap wajah kasar. "Saya merasa tidak pantas untuk dokter."

"Kenapa?"

"Karena masa lalu saya. Dokter berhak menikahi gadis lain yang lebih baik dari saya."

"Indana, andai kamu tahu, betapa beratnya seorang lelaki jika wanitanya berkata begitu. Kamu pikir itu mudah?"

"Maksudnya?"

"Kamu pikir, jika kamu berkisah tentang semua keburukanmu dan berharap lelaki yang mencintaimu itu memilih wanita lain, apa itu hal yang mudah baginya?"

"Ya. Saya pikir itu hal yang sangat mudah. Tinggal cari saja wanita lain yang lebih cantik, lebih pintar, dan lebih segalanya. Beres. Toh, ada banyak wanita di dunia ini."

Lelaki berkulit putih itu mengangkat satu bibirnya seraya menggeleng. Dokter Utsman menatap gerombolan ikan koi yang berada di bawah saung. Sesaat, rahang pemuda itu mengeras diikuti tatapan tajam lurus ke depan.

"Itu menurutmu, Inda. Sebagian lelaki, khususnya Aku, tidak seperti itu."

Indana terdiam, lalu kembali menundukkan wajah. Dia merasa bersalah karena telah terlalu dini menghakimi dengan pernyataan yang berdasarkan opininya sendiri.

"Butuh waktu bagiku untuk tumbuh rasa cinta. Dan kamu tahu? Saat benih-benih cinta itu tersemai, aku selamanya akan menjaga dan merawatnya. Tak peduli jika yang tumbuh itu tanaman berdaun cacat atau tanaman cebol yang sungguh tak menarik dipandang. Namun, dengan kesetiaan dan keikhlasan, aku akan menjaganya. Karena cinta. Ya, cinta memang sekonyol itu." Pemuda itu menjeda kalimatnya.

"Apalagi yang kudapatkan adalah ternyata mawar merah yang ranum. Tentu aku tidak akan melepaskan begitu saja. Mawar merah itu kamu, Inda. Aku tak mungkin berpaling hanya karena satu ketidaksempurnaan yang ada pada dirimu. Sementara, aku pun manusia biasa yang penuh kekurangan. Yang bisa jadi lebih tidak sempurna dibanding dirimu."

Perlahan, air mata Indana jatuh. Dirinya sungguh terharu dengan kesungguhan dr. Utsman. Namun, entah mengapa, Indana terus saja dihantui oleh masa lalu. Sesuatu yang terus membenamkannya pada jurang kesedihan. Sehingga binar kebahagiaan tak tampak olehnya sedikitpun.

Masih dengan perasaan sesak dan isak tangis, Indana mencoba meyakinkan sekali lagi. Apakah pemuda itu benar-benar mencintainya.

Indana beranjak dari saung tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan dr. Utsman yang masih duduk termangu.

Indana menuju taman untuk mengambil sekuntum mawar merah yang tengah merekah. Dihirup aromanya dalam-dalam. Lalu, dia kembali menemui lelaki itu dengan membawa mawar merah di tangan.

Indana duduk berhadapan dengan pemuda itu. Dia memberi isyarat untuk melihat bunga mawar yang berada di telapak tangannya yang terbuka. Wajah dr. Utsman menyiratkan kebingungan. Tapi, tak mengapa. Setelah ini pemuda itu akan menemukan jawaban. Pikir Indana.

"Apa yang dokter lihat tentang mawar ini?" Indana bertanya sambil menatap kedua mata dr. Utsman.

"Indah."

"Apa yang membuatnya indah?"

"Bentuk dan warnanya."

Perlahan, Indana mulai melepas satu per satu mahkota bunga itu. Dr. Utsman memilih diam. Tak bertanya apa pun tentang yang di lakukan Indana.

Perempuan itu terus melepas mahkota bunga berwarna merah itu dari kelopak hingga ke atas sampai habis tak bersisa. Tak hanya itu, dia menghancurkan bagian benang sari dan putik hingga bunga yang tadinya menawan itu kini menjadi mengerikan.

"Mahkota bunga ini adalah ibarat diri saya. Sekarang, beginilah keadaan saya. Tak punya sesuatu yang istimewa. Begitu mengerikan. Mahkota yang seharusnya saya persembahkan untuk Anda, kini sudah tiada lagi. Dengan keadaan demikian, apa saya masih pantas untuk dimiliki?" Indana mengatakan hal ini dengan rasa sebak.

Lelaki bermata teduh itu memandangnya dengan tatapan iba. Dr. Utsman mengerjapkan kedua kelopak mata, lalu mengembuskan napas panjang.

"Indana, Aku yakin kamu wanita baik-baik. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu sehingga kamu kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirimu. Seperti mawar tadi. Sebelum terlepas mahkotanya, ia pun sudah berusaha melindungi dirinya dengan duri-duri tajam yang tertancap di pohonnya. Aku tidak berhak menghakimi. Namun, satu yang kupahami. Itu adalah masa lalu. Semua orang memiliki masa lalu. Tak peduli baik atau buruk. Yang terpenting adalah masa kini dan mendatang. Aku sangat yakin, kamu berusaha untuk memperbaiki diri dengan berkaca pada masa lalu. Sangat tidak adil jika aku menghakimimu berdasarkan masa lalu saja."

Ah, mengapa semua yang kamu katakan sangat mengena di hatiku?batin Indana.

"Aku menerima kamu, Indana. Apa adanya kamu. Aku tidak akan menuntut macam-macam. Karena Aku mencintaimu. Percayalah, Aku tidak pernah peduli dengan apa pun tentang masa lalumu. Yang Aku pedulikan hanya keinginan untuk membina bahtera rumah tangga denganmu."

Sekali lagi, kalimat-kalimat itu beruntun membuat Indana terharu sekaligus meruntuhkan pertahanan. Seandainya sudah halal, tentu Indana akan memeluk pemuda itu erat dan berbisik di telinganya, "Terima kasih, Sayang."

Setelah itu keduanya diam. Hanya terdengar suara gemericik air yang berasal dari kolam ikan. Sesekali, Indana menatap dr. Utsman. Lelaki tampan itu terlihat asyik melihat ikan berlalu lalang dengan wajah datar yang mungkin menyimpan sesuatu di pikiran.

"Bagaimana, Inda? Apa Indana sudah cukup meyakinkanmu?"

Indana masih terdiam. Rasanya masih tidak percaya ada lelaki sebaik Utsman. Dia lelaki sempurna yang banyak diidam-idamkan wanita, tapi dia justru lebih memilihnya.

Entah, apakah Indana harus bersuka cita atau sebaliknya. Karena, jujur saja, dirinya masih gamang dan mengkhawatirkan kehidupan rumah tangga yang akan mereka bina.

"Bagaimana jika semua yang Anda katakan belum membuat saya yakin?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tertawan Masa Lalu   Bab 42

    Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U

  • Tertawan Masa Lalu   Bab 41

    Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn

  • Tertawan Masa Lalu   Bab 40

    Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman

  • Tertawan Masa Lalu   Bab 39

    Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me

  • Tertawan Masa Lalu   Bab 38

    Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"

  • Tertawan Masa Lalu   Bab 37

    Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status