Share

Bab 5.

"Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu.

"Apa pun?"

"Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."

Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri.

"Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.

Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya.

"Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana.

Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendiri. Dr. Utsman tertawa geli. Menggelengkan kepala dan menatap jenaka Indana.

"Apa ini Indaaa? Nggak sekalian Aku disuruh nyebur ke kolam?"

Keduanya tertawa bersama. Ide bagus sebenarnya. Tapi nanti apa kata kedua orang tua Indana jika melihat tamu mereka pulang dalam keadaan basah kuyup.

"Nah, sekarang angkat dan tekuk kaki kiri. Bilang Aku mencintai Indana. Sebanyak lima kali. Oke?" Indana menahan senyum melihat dr. Utsman yang mau saja diperintah hal-hal aneh seperti itu. Bukan main.

"Itu aja?"

"Ehem."

"Aku mencintai Indana." Pemuda itu menyatakan lebih dari lima kali. Lalu, menutup dengan satu kalimat, "Sangat-sangat mencintai Indana selamanya."

"Weh, ada bonusnya?"

"Iya, dong. Gimana? Sekarang Aku boleh berdiri normal?"

Indana hampir lupa. Sebab terlalu asyik melihat tingkah lucu dan wajah tampan pria dengan profesi dokter tersebut.

"Iya. Iya."

"Kamu yakin sekarang?" tanya pemuda itu lembut. Dr. Utsman menatap wajah Indana. Ada binar kesungguhan di sana.

"Iya." Indana mengangguk mantap. Seulas senyum terkembang di kedua bibir dr. Utsman. Membuat Indana ikut tersenyum pula. Senyum bahagia.

Setelah itu, keduanya kembali duduk. Indana pamit sebentar untuk mengambil kue dan minuman. Mereka nikmati bersama sambil berbicara tentang banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang berita viral, sampai gosip artis dan hal-hal absurd lainnya.

Indana senang berada di dekat pemuda itu. Berbincang dengannya. Dr. Utsman selalu punya topik pembicaraan yang menarik untuk dibahas. Pun, juga seorang pendengar yang baik jika giliran Indana berbicara. Sepertinya, memang ada kecocokan di antara mereka.

Tak terasa waktu berlalu. Dr. Utsman berpamitan pulang karena bersiap-siap untuk bertemu pasien-pasien di klinik.

Indana melambaikan tangan saat dia sudah memasuki mobil dan duduk di kursi kemudi. Sementara dr. Utsman tersenyum manis sekali. Sehingga meninggalkan dentuman aneh di dalam hati perempuan yang sedang berbunga itu.

***

Menjadi hal yang tak mudah bagi Indana memiliki masa lalu yang kelam. Dia selalu menutup diri dan minder jika ada gelagat lelaki yang dekat dengannya. Padahal, dia sendiri tidak yakin tentang kronologi peristiwa yang terjadi di masa itu.

Orang-orang di luar sana rata-rata menilainya memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bilang, dia cantik, kaya raya, pewaris tunggal perusahaan bonafit, didekati banyak pria keren, memiliki previllege yang memudahkan dirinya mengakses segala sesuatu, dan lain sebagainya. Namun, kenyataannya tak seindah yang mereka bayangkan.

Seperti kata pepatah lama yang tak lekang oleh zaman. Hidup itu sawang sinawang. Artinya, yang kita lihat di depan mata, belum tentu begitu yang sebenarnya. Ada orang yang dititipi harta benda yang melimpah, akan tetapi dia tidak bisa menikmatinya karena hartanya dipakai seluruhnya untuk mengobati tubuhnya yang mengidap penyakit kronis. Ada pula di belahan bumi yang lain, keluarga miskin yang hidup di sebuah geribik kayu. Namun, gubuk mereka penuh oleh canda tawa setiap harinya meskipun secara ekonomi mereka kekurangan.

Hal itu juga berlaku baginya. Indana yang dianggap wanita yang sempurna. Bertahun lamanya dia dibelenggu rasa trauma. Sehingga mengharuskannya rutin ke psikolog secara diam-diam, tanpa diketahui orang tua. Belum lagi muncul satu sikap negatif akibat peristiwa itu. Yakni, rasa tak percaya diri. Hal itu tentu sangat menghambat kehidupan sosial. Perlu waktu baginya untuk bisa bersahabat dan mempercayai Mahiya. Pun, kesungguhan cinta dr. Utsman yang sempat dia sangsikan karena dirinya merasa tak pantas untuk dicintai. Indana hanyalah wanita pendosa yang sudah tak suci. Begitu mengerikannya trauma itu sehingga merusak kepribadiannya.

Setelah waktu-waktu yang dia lalui dengan sering mendatangi psikolog, lambat laun dirinya mulai sadar akan pentingnya berdamai dengan diri sendiri. Atas saran psikolog dia dianjurkan untuk banyak-banyak mendengar atau menonton hal-hal positif yang bisa memotivasinya untuk terus melangkah menatap masa depan. Indana juga banyak menonton ceramah-ceramah dari ustaz ustazah agar kehidupannya lebih terarah dan tidak terjerumus ke jalan atau pelampiasan yang salah.

Semua hal itu tak mudah dia lakukan. Butuh proses panjang. Dan itu pun masih tersisa rasa trauma jika ada sesuatu yang memantik sehingga mengingatkannya pada luka itu. Namun, dengan segenap kesadaran, dirinya selalu berusaha untuk melupakan masa lalu dan berdamai. Itu semua sudah suratan takdir.

Kondisinya yang sudah tak suci tak menjadi penghambat baginya untuk terus berkarir dan menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama. Itu yang selalu dia yakinkan dalam hati.

Terkait dengan masa lalu, tak melulu dia hanya teringat oleh luka itu. Namun, kadang dia juga teringat akan kenangan dengan seseorang. Sosok lelaki yang berhasil membawa separuh hatinya dan tak mengembalikan lagi ke tempat asalnya. Entah lelaki itu sudah lupa atau memang sengaja melupakan. Di mana kamu sekarang, wahai seseorang di masa laluku? Tanya Indana dalam hati.

Jujur saja, saat ada lelaki yang mendekatinya, tak lantas membuat Indana langsung membuka hati. Indana masih terngiang-ngiang oleh pria masa lalu, yang sering menjadi bunga dalam tidurnya.

Dia tahu ini bodoh. Bagaimana mungkin dirinya terus memikirkan orang yang tak jelas apakah dia memikirkannya atau tidak. Namun, setidaknya dia punya alasan mengapa dirinya begini. Pemuda itu cinta pertamanya. Kata orang, cinta pertama adalah hal yang paling membekas dan tak pernah hilang sampai kapan pun. Benarkah? Jika benar demikian, bagaimana cara melupakannya? Indana benar-benar tersiksa oleh rasa itu.

Lelaki itu meninggalkan luka dan cinta. Dua hal yang saling bertolak belakang. Kadang, dia berpikir, apakah pemuda itu dulu benar-benar mencintainya? Jika iya, mengapa dia melukainya? Bukankah, jika mencintai seharusnya menyayangi dan menjaga?

Setelah peristiwa kelam itu, Indana benar-benar menghilang dari kehidupan pemuda tersebut dengan menyisakan luka dan rasa sakit yang merajam. Indana sudah memaafkannya. Hanya saja, dia masih belum rela dengan rasa cinta yang masih tersisa.

Indana masih berharap, sebelum menikah, dia ingin dipertemukan kembali dengan cinta pertamanya. Indana ingin pemuda itu tahu bahwa dirinya yang terluka ini pun bisa bahagia. Indana juga ingin menunjukkan bahwa lelaki yang menikahinya adalah lelaki menerimanya dengan tulus, meskipun dia telah ternoda.

Cukup lama dirinya merenung. Hingga tak sadar sang ibu telah berada di kamarnya yang pintunya hanya terbuka setengah.

"Inda, jawab dengan jujur. Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari Mama?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status