"Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu.
"Apa pun?""Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri."Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya."Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana.Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendiri. Dr. Utsman tertawa geli. Menggelengkan kepala dan menatap jenaka Indana."Apa ini Indaaa? Nggak sekalian Aku disuruh nyebur ke kolam?"Keduanya tertawa bersama. Ide bagus sebenarnya. Tapi nanti apa kata kedua orang tua Indana jika melihat tamu mereka pulang dalam keadaan basah kuyup."Nah, sekarang angkat dan tekuk kaki kiri. Bilang Aku mencintai Indana. Sebanyak lima kali. Oke?" Indana menahan senyum melihat dr. Utsman yang mau saja diperintah hal-hal aneh seperti itu. Bukan main."Itu aja?""Ehem.""Aku mencintai Indana." Pemuda itu menyatakan lebih dari lima kali. Lalu, menutup dengan satu kalimat, "Sangat-sangat mencintai Indana selamanya.""Weh, ada bonusnya?""Iya, dong. Gimana? Sekarang Aku boleh berdiri normal?"Indana hampir lupa. Sebab terlalu asyik melihat tingkah lucu dan wajah tampan pria dengan profesi dokter tersebut."Iya. Iya.""Kamu yakin sekarang?" tanya pemuda itu lembut. Dr. Utsman menatap wajah Indana. Ada binar kesungguhan di sana."Iya." Indana mengangguk mantap. Seulas senyum terkembang di kedua bibir dr. Utsman. Membuat Indana ikut tersenyum pula. Senyum bahagia.Setelah itu, keduanya kembali duduk. Indana pamit sebentar untuk mengambil kue dan minuman. Mereka nikmati bersama sambil berbicara tentang banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang berita viral, sampai gosip artis dan hal-hal absurd lainnya.Indana senang berada di dekat pemuda itu. Berbincang dengannya. Dr. Utsman selalu punya topik pembicaraan yang menarik untuk dibahas. Pun, juga seorang pendengar yang baik jika giliran Indana berbicara. Sepertinya, memang ada kecocokan di antara mereka.Tak terasa waktu berlalu. Dr. Utsman berpamitan pulang karena bersiap-siap untuk bertemu pasien-pasien di klinik.Indana melambaikan tangan saat dia sudah memasuki mobil dan duduk di kursi kemudi. Sementara dr. Utsman tersenyum manis sekali. Sehingga meninggalkan dentuman aneh di dalam hati perempuan yang sedang berbunga itu.***Menjadi hal yang tak mudah bagi Indana memiliki masa lalu yang kelam. Dia selalu menutup diri dan minder jika ada gelagat lelaki yang dekat dengannya. Padahal, dia sendiri tidak yakin tentang kronologi peristiwa yang terjadi di masa itu.Orang-orang di luar sana rata-rata menilainya memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bilang, dia cantik, kaya raya, pewaris tunggal perusahaan bonafit, didekati banyak pria keren, memiliki previllege yang memudahkan dirinya mengakses segala sesuatu, dan lain sebagainya. Namun, kenyataannya tak seindah yang mereka bayangkan.Seperti kata pepatah lama yang tak lekang oleh zaman. Hidup itu sawang sinawang. Artinya, yang kita lihat di depan mata, belum tentu begitu yang sebenarnya. Ada orang yang dititipi harta benda yang melimpah, akan tetapi dia tidak bisa menikmatinya karena hartanya dipakai seluruhnya untuk mengobati tubuhnya yang mengidap penyakit kronis. Ada pula di belahan bumi yang lain, keluarga miskin yang hidup di sebuah geribik kayu. Namun, gubuk mereka penuh oleh canda tawa setiap harinya meskipun secara ekonomi mereka kekurangan.Hal itu juga berlaku baginya. Indana yang dianggap wanita yang sempurna. Bertahun lamanya dia dibelenggu rasa trauma. Sehingga mengharuskannya rutin ke psikolog secara diam-diam, tanpa diketahui orang tua. Belum lagi muncul satu sikap negatif akibat peristiwa itu. Yakni, rasa tak percaya diri. Hal itu tentu sangat menghambat kehidupan sosial. Perlu waktu baginya untuk bisa bersahabat dan mempercayai Mahiya. Pun, kesungguhan cinta dr. Utsman yang sempat dia sangsikan karena dirinya merasa tak pantas untuk dicintai. Indana hanyalah wanita pendosa yang sudah tak suci. Begitu mengerikannya trauma itu sehingga merusak kepribadiannya.Setelah waktu-waktu yang dia lalui dengan sering mendatangi psikolog, lambat laun dirinya mulai sadar akan pentingnya berdamai dengan diri sendiri. Atas saran psikolog dia dianjurkan untuk banyak-banyak mendengar atau menonton hal-hal positif yang bisa memotivasinya untuk terus melangkah menatap masa depan. Indana juga banyak menonton ceramah-ceramah dari ustaz ustazah agar kehidupannya lebih terarah dan tidak terjerumus ke jalan atau pelampiasan yang salah.Semua hal itu tak mudah dia lakukan. Butuh proses panjang. Dan itu pun masih tersisa rasa trauma jika ada sesuatu yang memantik sehingga mengingatkannya pada luka itu. Namun, dengan segenap kesadaran, dirinya selalu berusaha untuk melupakan masa lalu dan berdamai. Itu semua sudah suratan takdir.Kondisinya yang sudah tak suci tak menjadi penghambat baginya untuk terus berkarir dan menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama. Itu yang selalu dia yakinkan dalam hati.Terkait dengan masa lalu, tak melulu dia hanya teringat oleh luka itu. Namun, kadang dia juga teringat akan kenangan dengan seseorang. Sosok lelaki yang berhasil membawa separuh hatinya dan tak mengembalikan lagi ke tempat asalnya. Entah lelaki itu sudah lupa atau memang sengaja melupakan. Di mana kamu sekarang, wahai seseorang di masa laluku? Tanya Indana dalam hati.Jujur saja, saat ada lelaki yang mendekatinya, tak lantas membuat Indana langsung membuka hati. Indana masih terngiang-ngiang oleh pria masa lalu, yang sering menjadi bunga dalam tidurnya.Dia tahu ini bodoh. Bagaimana mungkin dirinya terus memikirkan orang yang tak jelas apakah dia memikirkannya atau tidak. Namun, setidaknya dia punya alasan mengapa dirinya begini. Pemuda itu cinta pertamanya. Kata orang, cinta pertama adalah hal yang paling membekas dan tak pernah hilang sampai kapan pun. Benarkah? Jika benar demikian, bagaimana cara melupakannya? Indana benar-benar tersiksa oleh rasa itu.Lelaki itu meninggalkan luka dan cinta. Dua hal yang saling bertolak belakang. Kadang, dia berpikir, apakah pemuda itu dulu benar-benar mencintainya? Jika iya, mengapa dia melukainya? Bukankah, jika mencintai seharusnya menyayangi dan menjaga?Setelah peristiwa kelam itu, Indana benar-benar menghilang dari kehidupan pemuda tersebut dengan menyisakan luka dan rasa sakit yang merajam. Indana sudah memaafkannya. Hanya saja, dia masih belum rela dengan rasa cinta yang masih tersisa.Indana masih berharap, sebelum menikah, dia ingin dipertemukan kembali dengan cinta pertamanya. Indana ingin pemuda itu tahu bahwa dirinya yang terluka ini pun bisa bahagia. Indana juga ingin menunjukkan bahwa lelaki yang menikahinya adalah lelaki menerimanya dengan tulus, meskipun dia telah ternoda.Cukup lama dirinya merenung. Hingga tak sadar sang ibu telah berada di kamarnya yang pintunya hanya terbuka setengah."Inda, jawab dengan jujur. Apakah ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari Mama?"Pertemuan dengan Utsman hari itu rupanya telah membuka hati Indana kembali. Dia sepakat dengan Utsman bahwa hati tak pernah salah berbicara. Terbukti, seringkali jika mengikuti kata hati, kita takkan salah bertindak dan mengambil keputusan. Indana mulai memikirkan ucapan Utsman tentang kisah-kisah perihal Saddam. Dia berencana untuk menerima Saddam kembali. Karena hati kecilnya selama ini selalu berpihak kepada nama itu.Selepas pulang dari kantor, Indana pergi ke tempat praktek Utsman untuk mengeluhkan kondisi kesehatannya. Utsman memeriksa Indana menggunakan stetoskop dan mengukur suhu tubuh menggunakan thermogun. Utsman mencatat kondisi kesehatan Indana di buku rekam medik."Tekanan darah rendah. Suhu tubuh agak tinggi. Kamu demam juga?""Enggak sih, Mas. Ya, ada lah greges-greges dikit. Tapi diminumin obat biasanya pulih. Sama pegel-pegel gitu bawaannya.""Istirahat yang cukup. Jangan begadang. Jangan kebanyakan pikiran. Tuh, kamu sampe kurusan gini. Jelek.""Ih, apaan, sih Mas U
Mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya bukan berarti Indana telah benar-benar yakin sepenuhnya terhadap Saddam. Terkadang, rasa cinta yang masih tersisa untuk Saddam itu hadir begitu menggebu-gebu sehingga dia yakin sekali bahwa Saddam memang jodohnya. Namun, pada kesempatan lain, Indana justru dilanda kegamangan. Hal ini yang membuat Indana maju-mundur saat akan mengambil keputusan.Sebagai wujud terbukanya kembali sikap Indana, dia tak lagi membatasi Saddam. Dia membuka kembali blokiran akses media sosialnya terhadap Saddam. Pun, saat di kantor dia berpesan kepada sekuriti dan resepsionis, perintah tentang larangan Saddam untuk memasuki wilayah kantor telah dicabut.Seperti hari ini, Indana membiarkan bunga kiriman dari Saddam itu berada di kantornya. Dia juga tidak lagi membuang barang-barang yang telah diberikan Saddam. Indana memilih untuk memberikannya kepada karyawannya.Meskipun sikap Indana sudah mulai melunak, bukan berarti saat Saddam mengiriminya pesan atau mengajakn
Pernyataan Saddam ingin melamar Indana tak langsung mendapat jawaban. Kronologi kedatangan Saddam di kehidupan Indana saat ini yang tiba-tiba melamar Indana benar-benar suatu hal yang mengejutkan dan sempat membuat kedua orang tua Indana kebingungan, terutama mamanya.Setelah berbicara empat mata dengan Utsman di taman, Indana melunak. Dia secara baik-baik meminta Utsman dan Saddam untuk pulang. Indana mengatakan dalam beberapa hari akan menghubungi Saddam terkait jawaban atas lamarannya.Utsman dan Saddam pamit kepada Indana dan kedua orang tuanya. Saat bersalaman dengan Saddam, Papa Surya kembali menajamkan tatapannya dan menggenggam telapak tangan Saddam dengan keras. Tidak ada yang tahu bahwa Papa Surya memiliki rencana terselubung yang berkaitan dengan Saddam dan Indana.Malam hari setelah kedatangan Utsman dan Saddam, Indana sulit tidur. Dia memikirkan banyak hal. Tentang urusan kantor, bisnis, terlebih lagi tentang lamaran Saddam.Perlahan, Indana sudah mencoba melupakan Utsman
Saddam mengangguk mendengar pertanyaan Papa Surya. Seketika senyum kecil terkembang di bibir Papa Surya tanpa sepengetahuan siapa pun.Utsman berbisik kepada Saddam agar dia berbicara kepada orang tua Indana tentang maksud dan tujuannya datang ke rumah ini. Saddam mengangguk mantap."Bapak, Ibu. Utsman tadi telah menyatakan maksud kedatangannya ke mari. Sekarang, izinkan saya mengatakan maksud saya. Bahwa kedatangan saya adalah ingin melamar Indana."Mama Cahaya melihat ke arah putrinya. Tampak Indana dengan wajah yang ditekuk."Siapa lelaki ini, Inda? Apakah kamu mengenalnya?""Sahabatnya Mas Utsman," jawab Indana ketus. Sontak Mama Cahaya kaget."Jadi, apa maksud semua ini, Nak Saddam? Kamu mungkin telah tahu bahwa Nak Ustman hampir menikahi Indana. Namun, mendadak Nak Dokter itu memutuskan pinangan karena suatu alasan. Sekarang muncul lagi kamu sebagai sahabatnya Nak Utsman justru ingin melamar Inda. Apa kalian punya rencana terselubung?"Indana kentara sekali merasa tak nyaman. Me
Kerlap kerlip lampu jalanan kota tampak indah di malam hari. Kendaraan bermotor menyemut memadati pusat perbelanjaan dan area hiburan rakyat. Hal ini lumrah terjadi di setiap malam akhir pekan.Malam minggu, Saddam dan Utsman telah duduk berdua di sebuah kafe. Mereka telah bersepakat damai. Utsman telah sepenuhnya ikhlas melepaskan Indana untuk Saddam.Saddam mengaduk-aduk minuman di gelasnya sambil melihat lalu-lalang pengunjung kafe. Sementara Utsman sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon."Siapa, sih? Banyak banget yang nelpon. Cewek baru lu?" tanya Saddam usai Utsman mematikan panggilan.Utsman urung menyedot minumannya, lantas melihat Saddam dengan tatapan kesal. "Cewek apaan? Sembarangan, lu. Itu pasien gue. Kalau malam minggu, kan gue buka konsultasi via telepon. Tapi dibatasi hanya beberapa pasien aja.""Konsultasi masalah cinta ada, nggak?" tanya Saddam iseng. Kontan saja Utsman meletakkan gelasnya di atas punggung tangan Saddam yang ditelungkupkan di meja."Dingin!"
Indana duduk termenung sembari menatap langit malam yang tak diterangi cahaya bintang. Hari sudah larut, tapi sayang matanya masih sulit terpejam. Meski tubuh sudah lelah, tapi pikirannya masih melalang buana. Bayangan wajah Saddam terus mengusik. Semakin hari, Saddam membuatnya semakin gelisah."Apa yang sebenarnya terjadi di malam itu?" gumam Indana mencoba mengingat kembali hari kelam di mana Saddam menghancurkan masa depannya.Separuh hati dia meyakini kalau Saddam sudah menodai, tapi entah mengapa separuh hati yang lain merasa tak percaya Saddam sudah melakukan itu padanya. Namun, Indana terlalu takut untuk mencari tahu. Daripada melakukan visum, Indana lebih ingin mengandalkan ingatannya mengenai peristiwa malam naas tersebut.Sayang, peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Perempuan itu mulai ragu apakah dia masih bisa mengingatnya? Apa dia masih bisa mempercayai ingatannya?Indana sibuk memikirkannya semalaman. Tiba-tiba sajaperempuan itu mulai berpikir, bagaimana jik