Mata Indana membola. Dadanya bergemuruh. Pikirannya tertuju pada sesuatu yang dia rahasiakan selama ini. Bagaimana Mama bisa tahu?
"Mak-sud Mama?" tanyanya takut-takut."Kok, jadi grogi gitu, sih? Maksud Mama, tentang undangan makan malam dari keluarga Dokter Ilyas, ayah Dokter Utsman."Indana mengembuskan napas lega. Dia kira Mama Cahaya mengetahui hal yang paling dia rahasiakan dari orang terkasihnya itu. Indana tidak bisa membayangkan apa jadinya jika kedua orang tuanya tahu.Indana mencerna sekali lagi ucapan sang ibu. Undangan makan malam?"Tadi, Dokter Utsman nggak ada bilang tentang makan malam, Ma." Kali ini Mama Cahaya yang kaget."Oh, ya? Apa mungkin Mama dan Papa yang dikasih tahu duluan, ya?""Emmm, bisa jadi, Ma. Memangnya kapan?""Besok malam.""Wah, mendadak banget, ya, Ma. Mana Inda lagi banyak urusan di kantor." Mama mendekat, lalu meremas kedua lengan putrinya. "Kan, ada asisten kamu di kantor. Atau, jika ada meeting, batalkan sementara. Ini acara yang penting bagimu dan keluarga kita, Inda. Banyak hal yang bisa dibicarakan di sana. Sekaligus, perkenalan kita dengan keluarga Utsman."Indana mengangguk pelan. Semakin berdebar rasanya jika sudah menyangkut tentang pembicaraan dua keluarga. Karena bagi Indana, ini momen yang tak main-main."Mama harus pastikan kamu pakai gaun terbaik." Mama Cahaya memang begitu. Selalu harus tampil perfeksionis di segala acara. Sangat jauh berbeda dengan Indana yang lebih suka memakai dress yang simpel dengan warna-warna kalem."Memangnya harus, Ma?""Iya, dong. Untuk menghargai diri sendiri sehingga orang lain yang memandang akan senang dan segan kepada kita. Ada falsafah Jawa yang terkenal, yaitu ajining diri soko lathi, ajining raga soko busono. Yang artinya harga diri seseorang bisa dinilai dari cara bicaranya, penampilan seseorang mencerminkan kepribadiannya."Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu lalu melangkah menuju lemari besar berwarna putih yang di dalamnya berisi baju dan aksesoris milik Indana. Wanita paruh baya itu membukanya, lalu memilih gaun yang menurutnya pantas dipakai di acara makan malam. Indana merasa beruntung terlahir dari rahim wanita hebat tersebut. Di sela-sela kesibukan, ibunya tak pernah sekalipun mengabaikan Indana, meskipun itu hal-hal yang remeh."Nah, ini cocok buatmu. Warna kalem, tapi elegan. Tinggal kamu cocokkan dengan kerudung yang senada. Ah, Mama bahkan lupa kapan Mama memesan ini secara khusus untukmu karena nggak pernah kamu pakai." Mama Cahaya menenteng gaun berwarna ungu taro yang di lengannya dilapisi brukat premium dan bagian pinggangnya terdapat belt pita. "Cantik, ya, Ma." Indana baru menyadari bahwa dia punya baju secantik ini.Mama Cahaya memutar bola mata dan memandangnya gemas. "Ya, karena kamu nggak pernah make baju-baju kayak gini. Sukanya gamis polos tanpa pernak-pernik dan motif.""Ya, kan keseharian Inda kerja, Ma. Dan … nggak pernah punya acara spesial dengan laki-laki. Palingan hang out sama Mahiya."Indana mengambil gaun itu, lalu meletakkannya di ranjang. Setelah itu, dirinya memilih kerudung dengan warna yang pas. Dia tunjukkan perpaduan gaun dan kerudung itu kepada sang ibu. Mata wanita paruh baya itu berbinar yang berarti setuju."Semoga dilancarkan semuanya. Mama berdoa yang terbaik untukmu."Sebelum meninggalkan kamar, sang ibu memeluknya sangat lama. Hingga terdengar suara sesenggukan. Indana tahu orang tuanya begitu menginginkan dan merindukan momen ini. Indana juga berharap semuanya berjalan lancar. Meskipun, sejujurnya dirinya masih setengah hati menerima.***Makan malam keluarga yang direncanakan oleh dr. Ilyas akhirnya terlaksana. Indana bersama kedua orang tuanya memasuki tempat khusus di hotel bintang lima yang sudah dipesan sebelumnya. Tak butuh waktu lama, mereka memasuki ruangan eksklusif dengan interior mewah yang keseluruhannya berwarna cokelat keemasan. Mereka segera menghampiri meja tempat keluarga dr. Utsman berada.Mata dr. Ustman berbinar begitu melihat Indana. Mata pemuda itu terlalu jujur untuk menunjukkan bahwa ia terpesona. Dr. Utsman juga kelihatan sangat tampan memakai kemeja hitam. Indana hanya tersenyum simpul sembari menunduk. Malu terlalu lama dilihat begitu.Indana duduk tepat di hadapan dr. Ustman. Di sana hadir ayah, ibu, beserta saudara perempuan pemuda itu. "Senang bisa bertemu di situasi baik seperti ini, Ilyas," ucap ."Sudah semestinya. Ayo, boleh kita kenalan dulu." Dokter Ilyas memulai pembicaraan. Secara bergantian Indana menyalami dr. Ilyas, istrinya, dan saudara perempuan dr. Utsman."Saya Hawa. Adiknya Mas Utsman yang ganteng," ucap gadis itu dengan senyum jenaka. Dia tampaknya gadis yang periang. Indana membalasnya dengan senyum pula.Terhadap dr. Utsman, Indana hanya menangkupkan kedua telapak tangan di dada. Begitu pula dengan pemuda tersebut yang mengerti Indana sangat menjaga batasan hubungan dengan lelaki yang bukan mahram.Satu per satu pelayan membawa pesanan ke meja. Mulai dari minuman, sajian appetizer, main course, dan dessert. Indana sangat tergugah dengan menu main course yang disajikan. Menu favoritku, mashed potato with steak. "Saya tahu, ada menu favorit Nak Indana di sini." Ibu Hafsa, ibu dr. Utsman berkata semringah seraya melihat Indana."Iya, benar." Indana tersenyum dan tersipu. Dari mana tahu?"Jangan tanyakan dari mana saya tahu. Saya punya agen mata-mata yang handal."Tak ayal mereka tertawa bersama. Di antara semuanya, Mama Cahaya yang paling tergelak. Indana jadi curiga kalau Mama Cahaya yang memberitahu."Mari, sambil kita berbincang, sambil dimakan jamuannya." Ibu Hafsa mempersilakan."Mau kupesankan mashed potato steak-nya lima porsi, Inda?" canda dr. Utsman. Indana menegaskan wajah dan melotot ke arah pemuda itu. Sementara Utsman membalas dengan tatapan menggoda. Kontan saja itu membuat Indana menunduk sambil tertawa. Indana jadi banyak pemalu di acara itu.Mereka berkenalan satu sama lain. Lalu, membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan keluarga masing-masing. Keluarga dr. Utsman, meskipun memiliki status sosial yang tinggi, mereka keluarga yang ramah. Terutama dr. Ilyas dan Ibu Hafsa, kedua orang tua itu sangat perhatian dan kelihatan memiliki pemikiran yang kompak. Sementara Hawa, cenderung lucu. Makan malam yang sebenarnya formal itu mereka lalui dengan sangat menyenangkan. Baru dia ketahui ternyata dr. Ilyas adalah dokter bedah senior yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan dr. Utsman.Setelah ngobrol-ngobrol, dr. Utsman meminta izin kepada kedua orang tua Indana untuk membawanya jalan-jalan sejenak ke sebuah tempat yang tak jauh dari ruangan makan malam itu.Tak berapa lama, keduanya sampai di rooftop hotel yang didekor romantis. Kebanyakan di sina tempat nongkrong para kawula muda. Kemungkinan semuanya dari kalangan sultan, karena kata dr. Utsman menu-menu di tempat ini meskipun menu ala tongkrongan, harganya lumayan menguras dompet.keduanya berdiri di tepi rooftop. Dari atas tempat mereka berdiri tampak keindahan kerlap-kerlip lampu kota yang berwarna-warni. Indana jarang sekali menikmati pemandangan seperti ini, terlebih bersama seorang lelaki."Bagaimana, Inda?"Indana mengernyitkan kening, dengan ekspresi pura-pura bingung. "Bagaimana apanya?" "Hemmm, mulai, deh. Tentang hubungan kita." Wajah lelaki itu lucu jika tengah merajuk.Indana tertawa kecil. "Iya. Saya ngerti, kok.""Percayalah, nggak akan kubiarkan nama wanita lain berada di hatiku."Indana menatapnya tajam. "Bagaimana jika saya yang menyimpan nama lelaki lain?"Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita, Inda."Sebaris kalimat via chat WA itu perlahan mengusik. Mata gadis itu terasa panas oleh gumpalan air mata yang siap tumpah. Awalnya, sekuat tenaga dia membendung. Namun, rasa sebak di dada akhirnya meluluhlantakkan pertahanan. Akhirnya, satu per satu bulir bening itu jatuh membasahi kedua pipi. Dia bertanya mengapa selalu berakhir begini? Dan … sesakit ini?Sore yang hangat di musim kemarau. Indana memandang ke arah jendela kamar yang terbuka, angin bertiup pelan membuat dedaunan pohon mawar yang tumbuh di taman menari seirama. Indana berjalan mendekat ke sisi jendela. Dia metengadahkan wajah. Di langit, awan putih berarak indah membentuk pola abstrak yang memantik imajinasi bagi sesiapa yang memandang. Sementara itu, di ufuk barat, sinar jingga senja perlahan memerangkap langit turut menjadi panorama indah di sore hari. Namun, pemandangan yang sangat memikat ini tak lantas membuatnya terkesan. Indana tengah diserang rasa gundah. Sebab, b
Indana melihat deretan guci mewah di sebuah kastil yang megah. Guci-guci besar berwarna keemasan setinggi pinggang itu tampak mengkilap. Sangat memesona.Indana takjub, lalu membelai salah satunya menggunakan ujung jemari dengan penuh hati-hati. Namun, tiba-tiba secara tak sengaja, tangannya malah menyenggol benda itu hingga oleng dan pecah. Dapat dia saksikan serpihan-serpihannya yang berserakan di lantai. Perempuan itu kalut. Lantas, memunguti satu per satu serpihan itu dan mencoba menyatukannya kembali. Dahinya basah oleh peluh. Sementara, hari mulai gelap, tapi tak jua Indana berhasil menyatukan kembali serpihan itu kembali ke bentuk semula. Indana meraung dan menangis sejadi-jadinya dengan masih menggenggam serpihan-serpihan guci itu di telapak tangan hingga terdengar gema suaranya sendiri di dalam kastil.Suara itu beradu dengan tayangan cepat kilasan peristiwa saat dia pertama kali bertemu dengan Furqon. Lelaki yang mencintainya. Indana teramat sangsi, apakah Furqon bisa meneri
Indana tersedak mendengar pertanyaan dokter muda itu. Apa dia tidak salah dengar?"Sebaiknya Nak Dokter tanyakan sendiri dengan orangnya." Mama tersenyum menggoda, memberi isyarat agar Dokter Utsman bertanya kepada sang putri.Loh, kok Aku? batinya bertanya.Indana tergagap saat dr. Utsman menoleh dan kedapatan dirinya sedang mencuri pandang. Indana refleks berpura-pura mengecek selang infus. Pemuda yang berprofresi dokter itu tersenyum melihat aksi konyolnya."Bagaimana, Inda?" Suara lembutnya sungguh sangat mengusik naluri.Indana menegang. Oh, Tuhan. Memangnya kamu mau apa jadi tanya-tanya begitu? Namun, itu hanya berani dia ungkapkan dalam hati saja."Eeemmm, saya … masih sendiri, Dok. Belum ada yang mau," jawabnya cengengesan."Kalau ada cowok yang mau, kamu mau, nggak?""Gimana?" Indana mengerutkan kening meminta penjelasan sekali lagi. Biasa, wanita memang butuh penjelasan dan pengakuan berkali-kali.Dokter Utsman tersenyum lebar. "Maksudnya, kalau ada yang suka sama kamu, dan
Kali ini, Indana yang dikejutkan dengan pengakuan dr. Utsman. Tak lama, ia menyambung pembicaraan yang sempat terjeda."Bagaimana jika kamu mengetahui tentang diri saya di masa lalu? Saya yang bangsat, brengsek, bajingan. Tapi, kamu punya alasan untuk melupakan semuanya karena satu hal. Ibaratnya, tanganmu berlumuran lumpur. Tapi kamu menggenggam berlian yang berkilauan di sana. Lumpur itu akan kamu lupakan karena telah memandang berlian. Sama seperti sekarang. Aku akan menerima semua masa lalu kamu, karena semua tertutupi oleh sesuatu. Ya, sesuatu yang tak bisa ditukar dengan apapun. Sesuatu itu bernama … cinta."Indana tergemap mendengar pengakuan dr. Utsman. Tak menyangka, akhirnya ada lelaki yang tulus mencintai dan bersedia menerima masa lalunya.Indana diliputi rasa bimbang. Ya, Indana menanyakan hal itu kepada dr. Utsman untuk meyakinkan sekali lagi tentang kemantapan pemuda tampan itu sebelum meminang. Jujur saja, Indana tengah dilanda krisis kepercayaan diri. Setelah kegagal
"Aku akan terus berusaha meyakinkanmu dengan melakukan apa pun sampai kamu benar-benar yakin dan percaya seribu persen. Aku bersungguh-sungguh, Inda." Ucap pemuda itu."Apa pun?""Iya. Apa pun yang kamu mau. Kalau itu yang membuatmu yakin, Aku akan melakukannya."Tiba-tiba, Indana jadi iseng ingin mengerjai. Setelah tadi membahas hal-hal yang sensitif dan panas, pikirannya kini terasa lelah dan ingin sedikit merilekskan diri."Sekarang ayo berdiri," perintah Indana.Dr. Utsman, meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi bingung, dia tetap menjalankan instruksi. Pemuda tampan itu berdiri tegap. Lalu, mengangkat kedua alis, menunggu perintah Indana selanjutnya."Tangan kanan jewer telinga kiri," ucap Indana sambil cekikikan. Kini perempuan berhijab itu ikut berdiri dan berada di samping dr. Utsman. Ada yang membuatnya takjub sekaligus miris. Duh, seperti ayah dan anak saja. Tinggi badanku hanya sebatas dadanya. Batin Indana. Kini, lelaki itu mulai terkekeh sambil menjewer telinganya sendir